Rabu, 11 April 2018

Menjaga Kemurnian



Oleh : Luddy Eko Pramono

Ketika mendengar istilah Protestan,maka yang pertama kali terbersit di otak saya adalah ‘protes’ sebagai kata dasarnya. Dan saat istilah itu dikaitkan dengan kata Kristen, maka munculnya sebuah pengertian dangkal di kepala saya tentang sekelompok penganut keimanan dalam kekristenan yang timbul karena adanya aksi protes itu tadi.
Penalaran sederhana itu seakan mendapat pembenaran setelah sekedar mengetahui latar belakang sejarah yang mengisahkan tentang gerakan sekelompok biarawan di Jerman pada tahun 1517 yang dimotori Martin Luther.
Dalam perkembangan berikutnya, aksi protes terhadap kebijakan-kebijakan gereja pada saat itu melahirkan denominasi baru di kelompok penganut ajaran Kristus yang disebut sebagai kaum protestan.
Gerakan tersebut sebenarnya juga bukan yang pertama. Pada pertengahan abad ke-12 aksi semacam itu sudah muncul di Perancis yang dihembuskan Peter Waldo. Lalu di awal tahun 1400, Jan Hust atau Yohanes Hust memimpin aksi protes serupa di kawasan Bohemia (daerah di Eropa Tengah yang meliputi Jerman, Austria, Polandia, Ceko dan Slovakia).
Namun gerakan keduanya patah di tengah jalan saat gereja memvonis aksi mereka sebagai pengajaran sesat sehingga Jan Hust pun dihukum mati. Pun demikian dengan nasib Waldo yang dikucilkan.
Namun hal ini tidak berlaku bagi Martin Luther. Walaupun idenya itu merupakan sesuatu yang kontroversial, tetapi ia mendapat dukungan kuat dari masyarakat dan sebagian kaum bangsawan Jerman yang sudah merasa jengah dengan terlalu dalamnya intervensi gereja terhadap kewenangan mereka.
Ucapan-ucapan Martin Luther justru menjadi kobaran api yang menyebar dengan sangat cepat ke sebagian besar kawasan Eropa. Dialah yang berhasil meledakkan dinamit pembaharuan dalam tubuh kekristenan yang kemudian diteruskan oleh John Calvin, Zwingli, John Knox dan lain-lain.
Konsekuensi yang paling kentara dari gerakan pembaharuan ini  adalah terbentuknya pelbagai macam sekte Protestan di kawasan Eropa, khususnya Jerman, Perancis, Inggris dan Belanda beberapa tahun kemudian.
Tapi pengetahuan yang hampir saja menjadi pemahaman itu mendadak buyar ketika saya ngobrol dengan  seorang teman menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif pada 2009 lalu.
Teman yang nggak perlu saya sebutkan namanya itu memberikan pencerahan bahwa kata dasar protestan adalah pro-testan. Ini merupakan kata serapan dari bahasa Yunani - pro testarum- atau jika dibahasa-inggriskan menjadi pro testament yang bermakna dukungan untuk kembali pada kemurnian Injil.
Dijelaskannya, semangat dari munculnya gerakan ini adalah upaya pemurnian kembali konsep keimanan Kristen dan tata kelola institusi gereja yang diselewengkan oleh oknum-oknum imam.
Ia tak menampik adanya kisah sejarah tentang 95 dalil yang dipakukan Martin Luther di pintu Gereja Wittenberg Jerman untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan yang harus diperbaiki gereja.
Menurut teman saya itu tadi, hakekat dari semua item penyimpangan tersebut adalah lantaran menempelnya gereja sebagai sebuah institusi keimanan dengan politik pemerintahan sipil saat itu.
Sehingga  gereja pun memiliki otoritas yang cukup besar untuk mengintrusi politik tata Negara yang dipegang para raja atau penguasa wilayah sejenisnya yang diwujudkan dengan kewenangannya dalam keputusan tentang pajak, agraria bahkan pernyataan perang.
Gerakan Pro-testan ini pun disebutnya sebagai aksi puritan untuk mengembalikan peran gereja sebagai penanggungjawab pembinaan rohani umat berdasarkan ajaran Kristus. Sedangkan urusan politik pemerintahan diserahkan sepenuhnya pada pihak lain di luar institusi gereja.
"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!," begitu katanya mengutip pengajaran Kristus sebagaimana tersurat dalam Injil Matius 22 : 21 ; Markus 12 : 17 dan Injil Lukas 20 : 25.
Hanya saja, ia mewanti-wanti jangan sampai hal ini dimaknai sebagai bentuk sikap gereja yang anti politik. Justru sebaliknya, ia menilai, gereja dan umat Kristen harus sadar dan paham politik. Pasalnya tak ada satupun dari hajat hidup masyarakat, termasuk jemaat Kristen, yang lepas dari pengaruh politik.
Pemahaman itulah yang kemudian menjadi landasan berpikir, bersikap dan bertindak bagi gereja terhadap kebijakan para pemimpin bangsa. “Naikkanlah selalu syafaat bagi para pemangku politik bangsa agar mereka diberi hikmat surgawi supaya bisa mensejahterakan rakyatnya. Inilah bentuk upaya yang harus dilakukan umat Kristen seperti yang diperintahkan Tuhan dalam Yeremia 29 : 7,” katanya lagi.
Upaya lain yang bisa dilakukan gereja di dunia politik adalah mempersiapkan umat yang memiliki talenta dan panggilan khusus dari Tuhan untuk terjun ke dunia politik praktis di pemerintahan.
Tujuannya, agar nantinya orang-orang itu benar-benar menjadi politisi yang memiliki karakter Kristus sehingga mampu jadi alatNya untuk menyampaikan kabar keselamatan bagi setiap orang.
Diharuskannya pula untuk selalu memonitor dan tak segan-segan memberi nasehat dan mendoakan umat yang memiliki kekuasaan politik pemerintahan itu agar tetap berada di rel kebenaran Allah sebagaimana digariskan dalam Alkitab.
Iapun menyebut nama Daud, Salomo dan tokoh-tokoh Alkitab lainnya yang justru jatuh dalam dosa saat mereka mendapat kepercayaan dari Tuhan untuk melayaniNya melalui khazanah politik pemerintahan.
“Cukup sampai disitu saja areal pergerakan gereja secara institusional di ranah politik. Tapi untuk personnya tidak terbatas karena semuanya sangat tergantung dari panggilan Tuhan yang sifatnya individu per individu.”
Dengan begitu maka gereja tetap berada di garis kemurniannya sebagai lembaga pembina kerohanian umat agar siap diterjunkan ke berbagai ranah sebagai pengerja di ladang penuaian jiwa-jiwa sesuai talenta dan panggilannya masing-masing. Baik di sektor bisnis, olahraga, sosial, pendidikan, profesional, seni dan budaya bahkan politik.
Sebaliknya gereja harus mewaspadai adanya gerakan yang dilakukan orang-orang di internalnya, baik jemaat maupun mereka yang menduduki posisi imam sekalipun, yang berusaha menjadikan lembaga gereja dan jemaat sebagai alat politiknya.
Karena kelompok orang semacam itu tidak akan segan-segan bahkan sangat fasih menggunakan ayat-ayat dalam Alkitab sebagai dalil pembenar dari perilaku politiknya, baik yang dilakukan secara terbuka maupun terselubung.
Sebelum mengakhiri obrolan ini, teman saya tadi mengatakan, “baca Matius 4 ayat 1 – 11,” dan sayapun sibuk membuka-buka halaman Alkitabku.*     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar