Kamis, 17 November 2016

Menjaga Kemurnian


Oleh : Jaludieko Pramono

Ketika mendengar istilah Protestan,maka yang pertama kali terbersit di otak saya adalah ‘protes’ sebagai kata dasarnya. Dan saat istilah itu dikaitkan dengan kata Kristen, maka munculnya sebuah pengertian dangkal di kepala saya tentang sekelompok penganut keimanan dalam kekristenan yang timbul karena adanya aksi protes itu tadi.
Penalaran sederhana itu seakan mendapat pembenaran setelah sekedar mengetahui latar belakang sejarah yang mengisahkan tentang gerakan sekelompok biarawan di Jerman pada tahun 1517 yang dimotori Martin Luther.
Dalam perkembangan berikutnya, aksi protes terhadap kebijakan-kebijakan gereja pada saat itu melahirkan denominasi baru di kelompok penganut ajaran Kristus yang disebut sebagai kaum protestan.

Jumat, 04 November 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (VIII)


Dirikan Pilar Pendidikan dan Sosial
Ditulis ulang oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Memasuki awal abad ke-20, strategi penginjilan di Jawa mulai berpindah haluan. Tak lagi secara langsung namun melalui pendirian lembaga-lembaga pelayanan masyarakat seperti sekolah, rumah sakit, rumah yatim piatu, dan beberapa kegiatan sosial lainnya.
Manuver di sektor bidang pendidikan dan sosial itu ternyata terbukti lebih bisa diterima dan sanggup memikat hati orang-orang Jawa di masa itu untuk mengenal pribadi, kasih dan karunia Kristus.
Strategi ini disebut pre-evangelisation, yaitu suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya mau menerima ajaran ke-Kristen-an. Meski membutuhkan biaya yang relatif lebih besar dan waktu yang lebih lama, Kristenisasi lewat pendidikan ini terbukti lebih berhasil ketimbang sebelumnya.
Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan, Jawa Tengah. Ia mendirikan sekolah dan bangunan gereja di desa kecil bernama Semampir. Mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906.

KEKRISTENAN DI JAWA (VII)


Kemerdekaan Ala Kiai Sadrach
Ditulis ulang oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Radin Abbas terperangah. Ia sama sekali tak menyangka gurunya, Pak Kurmen, telah menjadi penganut agamanya wong londo, Kristen. Padahal sebelumnya, lelaki yang tinggal di Semarang itu adalah orang yang mengajarinya membaca Al Quran serta ngelmu Jawa.
Berjuta pertanyaan bergelayut di kepalanya. Dan untuk menuntaskan rasa penasaran itu Pak Kurmen memperkenalkannya dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, penginjil Jawa yang mengkristenkannya.
Dalam buku Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Soetarman Soediman Partonadi menuliskan, Radin Abas langsung tertarik pada Kristen lantaran terkesan oleh Tunggul Wulung yang mengatakan orang Kristen Jawa tak harus meninggalkan adat Jawa.
Tunggul Wulung menegaskan keyakinannya bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi mereka sendiri.

KEKRISTENAN DI JAWA (VI)


Penginjil itu bernama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
Oleh Jaludieko Pramono

Seorang pria jawa datang ke Mojowarno di sekitar tahun 1853. J.D. Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul Babad Zending ing Tanah Jawi menggambarkan lelaki sebagai sosok yang tampan. Berhidung mancung dengan sorot mata yang tajam seakan bisa melihat isi hati orang yang dihadapinya. Tubuhnya tinggi ramping namun kuat dan pemberani.
Pada J.E. Jellesma, gembala sidang jemaat di Mojowarno pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Kiai Tunggul Wulung. Ia mengaku sebagai pertapa yang baru turun dari Gunung Lawu.
Namun Wolterbeek menyebut asal-usul Tunggul Wulung sangatlah buram lantaran sangat lekatnya antara fakta dan mitos yang menyelimutinya sebagai orang yang memiliki kemampuan olah batin.

KEKRISTENAN DI JAWA (V)


V.  Di Mojowarno Benih itu Ditumbuhkan
Oleh : Jaludieko Pramono


Memasuki 1844, gonjang-ganjing melanda komunitas Kristen pribumi di Ngoro. Kegaduhan internal ini dipicu keputusan pimpinan komunitas tersebut, Coenraad Lourens Coolen yang mengusir beberapa jemaatnya.
Pasalnya mereka dipergoki telah dibaptis di GPI Surabaya. Padahal Coolen dengan tegas melarang jemaatnya dibaptis. Alasannya, sakramen kudus itu hanya akan membuat jemaat Kristen Jawa akan tercerabut dari akar budayanya karena mereka telah memiliki nama barat, berpakaian barat dan berperilaku ala orang Eropa.
Dengan kejadian tersebut, Coolen pun mengancam akan memberikan sanksi serupa bagi jemaatnya yang ikut-ikutan berkhianat pada ajarannya. Padahal hampir sebagian besar pengikut jemaat pribumi mula-mula di tanah Jawa itu ingin dibaptis, termasuk Ditotruno.

Senin, 25 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (IV)

Geliat Para Pembangkang
Oleh : Jaludieko Pramono


Coenraad Lourens Coolen bergeming. Tuan tanah, pemimpin rakyat sekaligus pasamuwan Kristen Jawa di Ngoro itu tak mau mengubah keputusannya, meski koleganya di Surabaya, Johannes Emde telah memohonkan pengampunan.
Hatinya terlanjur sakit. Pemimpin umat yang dipanggil Kiai Kolem itu merasa dikhianati. Karena itu ia tetap tak mau menerima kembali jemaatnya yang dianggap membangkang perintahnya, yakni menerima sakramen pembaptisan di GPI Surabaya.
Dalam pengajarannya, Coolen memang tidak memperbolehkan jemaatnya dibaptis. Alasannya, ia khawatir, usai dibaptis dan mendapatkan nama baptis, orang-orang Kristen Jawa itu akan menjadi sombong, bertingkah laku dan berbusana seperti layaknya orang Eropa dan meninggalkan akar budayanya.

Rabu, 20 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (III)

Benih Iman di Tlatah Surabaya
Oleh : Jaludieko Pramono


Desa Wiung Surabaya sekitar tahun 1826-1827, Kyai Dasimah membolak-balik buku tipis yang diterimanya dari Pak Midah. Lalu modin desa Wiung itu mencoba membaca kalimat pertama, “Purwane Ewanggelion saking Yesus Kristus, Putrane Allah……”, (Inilah permulaan tentang Injil Yesus Kristus, Anak Allah).
Dahinya mengernyit, sebelah alisnya ikut terangkat pertanda ada rasa heran yang berkecamuk di benaknya. Lalu iapun meneruskan membaca kalimat selanjutnya dengan suara agak keras supaya kenalan yang membawakan buku itu bisa ikut mendengarkan.
Dan setelah hampir selembar, Kyai Dasimah pun mengatakan bahwa ia sama sekali tak mengerti dengan makna yang tersirat dari suratan kalimat yang baru saja dibacanya itu. Dan iapun meminta agar Pak Midah bersedia meminjamkan buku tersebut padanya selama beberapa hari ke depan.

Senin, 18 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (2)

Dari Ngoro, Kristus Dikumandangkan
Oleh : Jaludieko Pramono        


Ngoro adalah sebuah wilayah yang kini berada di Kabupaten Jombang. Konon, di masa kejayaan Majapahit, tempat ini sudah berkembang menjadi desa yang cukup ramai. Namun seiring dengan runtuhnya permata nusantara itu, Ngoro pun ditinggalkan penduduknya yang menjadi daerah kosong yang tak berpenghuni.
Berabad kemudian, Ngoro kembali menjadi hutan belantara. Sebuah kawasan pedalaman yang sepi dan menakutkan hingga tak tersentuh program pembangunan pemerintah kolonial Belanda waktu itu.
Tapi penilaian itu tak berlaku bagi Coenraad Lourens Coolen, seorang sinder blandhong atau pengawas penebangan kayu di Wirosobo atau Mojoagung pada saat ini. Menurutnya, Ngoro adalah kawasan yang potensial untuk kawasan pertanian karena tanahnya yang subur dan kaya akan air.

KEKRISTENAN DI JAWA (I)

Dibuka Portugis, Dihadang Belanda

Sejarah mencatat, keberadaan gedung gereja di tanah Jawa sudah ada sejak akhir abad ke 17, yakni pada 1676 di Jakarta. Gereja berikutnya dibangun di Semarang pada 1753 dan di Surabaya pada 1785.
Di Jakarta, gereja tua tersebut ada di daerah Tugu yang sekarang bernama GPIB Tugu. Selain itu juga ada GPIB Sion yang berada di Jl. Pangeran Jayakarta. Gereja yang awalnya bernama Portugeesche Buitenkerk itu dibangun pada 1693 dan dipakai ibadah pertama kali oleh orang-orang Portugis pada 1695.
Di Semarang, gereja tertua ada di kawasan kota lama. Warga setempat menyebutnya mengenalnya dengan istilah gereja Blenduk karena beratapkan kubah besar bersegi delapan. Gereja ini awalnya bernama Nederlandsch Indische Kerk atau Koepelkerk. Kini bangunan yang berada di Jl Letjend. Suprapto 32 tersebut bernama GPIB Imanuel.