Rabu, 14 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 10)


Roller Coster Pabrik Gula
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Ada dugaan kuat orang-orang Tionghoalah yang menjadi pioner pemrosesan tebu di Indonesia. Perkiraan ini didasarkan pada kebutuhan para imigran dari daratan Tiongkok itu terhadap gula kristal dan arak tetes tebu yang menjadi konsumsi mereka sehari-hari. Apalagi mereka memang menguasai teknik pembuatan gula dan arak sejak berabad-abad silam.
Usaha produksi kedua komoditas itu dilakukan dengan pola home industri dengan kuantitas produk yang minim karena hanya untuk kalangan terbatas. Sayangnya, tak ada data kongkrit yang bisa menunjukkan mulai kapan usaha rumahan itu mulai dilakukan mengingat mingrasi suku bangsa berkulit kuning dan mata sipit itu ke berbagai wilayah di bentang nusantara sudah dilakukan sejak ribuan tahun sebelumnya.
Namun yang jelas ladang garapan itu sudah ada ketika VOC menancapkan kuku kekuasaannya di tanah Jawa pada 1619. Bahkan saat itu diketahui sudah banyak produsen gula kristal berskala kecil yang menjalankan usahanya di sepanjang sungai Ciliwung.
Selanjutnya, usaha ini mulai dikembangkan dalam skala yang lebih besar ketika VOC memutuskan untuk mengembangkan kawasan Hindia Belanda sebagai sentra produsen gula kristal hingga berhasil melakukan eksport pertama gula Jawa ke Eropa. Sayang tak jelaskan berapa banyak perusahaan penggilingan tebu yang menyokong ekspor bervolume 618 ton tersebut.
Berdasarkan keterangan yang dinukil dari Buku Jejak Sidoarjo dari Jenggala hingga ke Suriname, jumlah produsen gula di Batavia dan Banten yang tercatat di tahun 1652 ada 20 unit ‘pabrik’ gula yang beroperasi.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 9)


Industri Gula Jawa yang Apungkan Belanda
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber

Para administratoer PG. Ketegan - Taman - Sidoarjo.
(Foto: koleksi Tropen Museum)
Sejak jaman penjajahan, Sidoarjo sudah diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai salah satu kekuatan ekonomi. Salah satu indikatornya adalah banyaknya pabrik gula yang didirikan di sebuah kota kecil bernama Sidoarjo ini setelah pabrik-pabrik gula lainnya di kawasan Batavia dan sekitarnya runtuh satu persatu.
Dalam studinya di Karesidenan Pekalongan pada 1830-1870 yang dipublikasikan melalui buku "Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-19’, G.R Knight mengungkapkan sebelum era sistem tanam paksa, kegiatan pengolahan tebu menjadi gula untuk pasar ekspor masih sangat terbatas.“Pembuatan gula hanya dilakukan di perkebunan-perkebunan milik Tionghoa dan Belanda di Jawa Barat, diantaranya bertebaran di sekitar Batavia dan di Pasuruan.” 
Ada yang menyebut, industri gula di Sidoarjo pada masa itu cukup potensial daripada industri serupa di Nusantara. Selain Sidoarjo, daerah lain yang memiliki pabrik gula yang cukup banyak adalah Situbondo dan Bantul-DIY.

Jumat, 09 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 8)


Kisah Tragis Mandor Tebu Yang Baik Hati
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Selain itu ada juga kisah kepahlawan yang lain yang berlatar belakang industrialisasi gula, yakni perjuangan Sakera. Hanya saja setting peristiwa ini bukan di Sidoarjo, namun di Pasuruan.
Tidak ada dokumentasi tulisan yang otentik tentang sosok dan perjuangan sang tokoh. Kisah yang mengemuka di masyarakat itu hanya berasal dari sejarah lisan yang rentan diselewengkan oleh pihak-pihak lain untuk mengedepankan kepentingannya.
Berdasarkan kisah tutur, nama aslinya adalah Sadiman. Sakera adalah nama panggilannya sehari-hari yang maknanya adalah orang yang memiliki banyak teman karena suka menolong sesama.
Ia lahir dari keluarga ningrat keturunan Madura di Kelurahan Raci, Kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada abad 19 ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa dan industrialisasi gula di tanah Jawa. Meski begitu karena karakternya yang rendah hati, ia tak mau menggunakan gelar kebangsawanannya dan lebih nyaman dengan panggilan sakerah saja.
Sebagai orang yang berasal dari kalangan orang terpandang di lingkungannya, Sakerah mendapat kesempatan bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik Pabrik Gula Kancil Mas Bangil.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 7)


Kemarahan Kaum Tertindas
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Penerapan sistem tanam paksa di Indonesia benar-benar manjur untuk mendongkrak perekonomian kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda di akhir abad ke-19.
Sejak dicanangkan pada 1830 hingga 1834, para petani Indonesia ‘menyetorkan’ uang sebesar 3 juta gulden ke negeri Belanda tiap tahunnya. Setelah itu, tiap tahun 12-18 juta gulden yang dilayarkan ke negeri kincir angin tersebut. Jadi total semua uang yang masuk ke kas negeri Belanda dari Cultuurstelsel adalah 900 juta gulden.
Melalui hasil penjualan gula ke pasar internasional, bangsa imperialis itu bukan saja mampu menutup utang-utangnya, namun juga mendatangkan cadangan devisa yang melimpah ruah.
Sayangnya, industrialisasi gula ternyata belum mampu memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Surplus devisa itu nyaris tidak ada yang digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat Hindia Belanda.
Mereka terus menerus diperas tenaganya oleh keharusan menanam komoditas tertentu dan menyetorkan hasilnya. Sialnya, mereka tetap dibebani untuk membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda.

Kamis, 08 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 6)


Pahitnya Gula Lantaran Cultuurstelsel
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber



Jejak langkah pergulaan di Jawa, termasuk di Sidoarjo sangat erat kaitannya dengan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa, yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Kebijakan tersebut diberlakukan sebagai upaya menutup defisit kronis perekonomian Kerajaan Belanda yang memburuk setelah berakhirnya perang melawan Perancis  di Waterloo, 15 km arah Selatan dari ibukota Belgia, Brussel pada 18 Juni 1815.  
Kekalahan Napoleon Bonaparte itu mengakhir kekuasaan dan karier militernya. Bahkan ia harus diasingkan ke pulau St. Helena hingga meninggal dunia sebagai orang buangan pada 5 Mei 1821.
Selain masalah itu, Pemerintah Kolonial Belanda juga harus menguras pundi-pundi hartanya untuk membiayai perang besar melawan Pangeran Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830. Keuangan mereka juga semakin kering akibat bertempur melawan Belgia di awal tahun 1830.
Bukan hanya keuangan Kerajaan, bahkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang saat itu di bawah kendali Gubernur Jenderal Van der Capellen harus menanggung hutang sebesar 20 juta gulden pada firma Palmer and Co.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 5)


Harapan Baru Konglomet Gula di Kota Delta
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Hingga saat ini memang belum ada bukti sejarah yang dengan tegas menunjukkan sejak kapan tebu menjadi komoditas pertanian yang diusahakan oleh masyarakat di Sidoarjo. Pasalnya masyarakat Jawa, termasuk di Sidoarjo, saat itu belum menempatkan tebu sebagai bahan pangan pokok dalam kehidupan kesehariannya meski telah dibudidayakan dalam jumlah yang sangat terbatas di beberapa daerah.
Thomas Raffless dalam bukunya ‘History of Java’ menginformasikan, penduduk lokal hanya mengkonsumsi tebu sebagai makanan penutup atau kudapan yaitu dengan mengunyah langsung batangnya. Sedangkan untuk kebutuhan pemanis makanan maupun minuman, mereka lebih suka mengkonsumsi gula aren dan gula kelapa.
Berbeda dengan kebiasaan orang Tionghoa yang lebih akrab dengan penggunaan gula tebu sebagai bahan pemanis utama. Catatan sejarah yang ada menunjukkan masyarakat Tiongkok bahkan sudah menguasai teknologi pembuatan gula tebu sejak masa Dinasti Chin Timur pada tahun 317-420.
Teknologi tersebut berkembang terus dan pada masa Dinasti T’ang tahun 618-907 sudah terdapat industri gula kristal di Kwangtung dan Szechuan. Bahkan pada masa Dinasti Sung Selatan tahun 1127-1279, pendapatan pajak dan ekspor gula berperan besar dalam mendanai angkatan bersenjatanya. Hal ini menunjukkan tingkat kemajuan industri gula di Tiongkok.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 4)


Sidoarjo, Lahan Subur di Delta Sungai Brantas
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Jalan panjang industri gula kristal putih di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran Kabupaten Sidoarjo yang dikenal sebagai salah satu lumbung penghasil tebu berskala nasional. 
Sebagai kawasan yang terbentuk dari hasil pengendapan material sungai atau yang lebih akrab dengan sebutan delta Kali Brantas, Sidoarjo menjadi wilayah yang subur sehingga cocok untuk menjadi areal pertanian dan perkebunan.
Kondisi ini masih ditunjang dengan curah hujan yang mencapai 2717 mm mampu menyediakan ketersediaan air bagi lahan-lahan pembubidayaan tanaman pangan di wilayah Kabupaten Sidoarjo.
Salah satu bukti sejarah yang masih ada hingga kini adalah Candi Pari di Porong yang dibangun pada jaman Majapahit, tepatnya di tahun 1293 Caka atau 1371 M. Sebagaimana tertulis dalam Kitab Negara Krtagama, candi ini dibangun atas perintah Raja Hayam Wuruk sebagai bentuk ucapan syukur karena menjadikan kawasan di sekitarnya sebagai lumbung pangan bagi kerajaan Majapahit.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 3)

Buatan Tionghoa Dijual Belanda 
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber

Sejak pertama kali merambah Nusantara, para pedagang dan kaum imperialis Eropa belum terlalu tertarik untuk mengembangkan industri gula di Indonesia. Sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya yang datang dari Tiongkok dan Arab, orang-orang Portugis, Inggris dan Belanda lebih tertarik untuk meraup komoditas lokal yang juga dibutuhkan dan memiliki nilai tinggi di perdagangan internasional kala itu, diantaranya lada, cengkeh dan rempah-rempah lainnya.
Lada menjadi daya tarik utama Nusantara sehingga Belanda mengirim Cornelis de Houtman dengan 4 kapal ke Banten yang tiba tanggal 15 Juni 1595 dan mulai menancapkan dominasinya dalam perdagangan disana melalui sebuah wadah bernama Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
Namun saat itu kegiatan mereka semata-mata dipusatkan pada perdagangan saja karena Belanda adalah bangsa merkantilis dan bukan industrialis. Benteng-benteng serta armada kapal VOC disiagakan untuk menjaga keamanan sumber komoditas, menjaga jalur perdagangannya serta menjaga hegemoni monopoli perdagangan. Aksi imperialisme Belanda dimulai setelah kedatangan Jan Pieterszoon Coen pada Mei 1619. Ia memindahkan kantor dagang VOC dari Banten ke Sunda Kelapa. Dari sanalah ia membangun kekuatan yang kemudian menginvasi Jawa setelah menaklukan penguasa setempat  dan mengusir pedagang Eropa lainnya dan setelah itu kekuasaannya pun dipusatkan di Sunda Kelapa yang namanya diganti Batavia.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 2)


Sejarah Gula : Dari Papua ke Persia Hingga Eropa
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber

Ada banyak versi kisah tentang awal mula pemanfaatan tanaman tebu sebagai bahan pemanis makanan maupun minuman. Ada yang menyebut bangsa Polinesia (Persia) lah yang pertama kali memproduksi sekaligus mengkonsumsi gula tebu pada 510 tahun sebelum masehi.
Teknologi pemerahan tebu itu sendiri ditemukan oleh orang-orang Mesir yang memiliki ahli-ahli pertanian dan kimia. Mereka mengembangkan teknik penyaringan, pemurnian dan kristalisasi gula untuk kepentingan penguasa Kekaisaran Persia yang menjajah Mesir. Inovasi itupun dijaga ketat kerahasiaannya agar produknya bisa dijual dengan harga mahal kepada bangsa-bangsa lain.
Namun rahasia ini terbongkar saat orang-orang Arab menguasai Persia pada tahun 642. Mereka mulai mengenal tanaman tebu yang disebutnya sebagai ‘gelagah Persia’ dan juga gula yang kemudian diperkenalkan ke wilayah-wilayah lain yang mereka taklukkan. Para penguasa Arab mengambil ilmu tentang tata cara budidaya tebu hingga proses produksi gula yang kemudian dikembangkan di daerah-daerah lain yang mereka kuasai, termasuk di Afrika Utara dan Spanyol. Mereka membuat ladang tebu di Sisilia, Siprus, Malta, Maroko dan Spanyol.

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 1)

Dari Eksportir Menjadi Importir
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber



Gula merupakan salah satu komoditas bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia di seluruh dunia. Sampai akhir 2017 konsumsi gula dunia berkisar 120 juta ton per tahun dan terus bertambah dengan laju sekitar 2 juta ton per tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanaman tebu dan juga industri gula dikembangkan di lebih dari 100 negara, namun perdagangan gula internasional dikuasai oleh Uni-Eropa, Brazil dan India sebagai produsen terbesar dunia. Ketiga negara tersebut menyumbang sekitar 40% dari kebutuhan gula dunia setiap tahunnya.
Dulu, dunia pernah mengenal Indonesia sebagai negara penghasil gula yang sangat potensial. Tidak hanya untuk memenuhi pasar lokal, namun juga menjadi komoditas ekspor yang menjadi pundi-pundi devisa bagi negara.
Puncak produksinya terjadi pada 1929-1930 lalu. Kala itu Indonesia, yang masih diidentifikasi sebagai Hindia Belanda, mampu memproduksi gula 3 juta ton per tahun sehingga tercatat sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Produksi tersebut mengalahkan Brazil, India, dan Thailand yang dikenal sebagai produsen gula dunia saat itu.