Kamis, 08 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 1)

Dari Eksportir Menjadi Importir
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber



Gula merupakan salah satu komoditas bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia di seluruh dunia. Sampai akhir 2017 konsumsi gula dunia berkisar 120 juta ton per tahun dan terus bertambah dengan laju sekitar 2 juta ton per tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut tanaman tebu dan juga industri gula dikembangkan di lebih dari 100 negara, namun perdagangan gula internasional dikuasai oleh Uni-Eropa, Brazil dan India sebagai produsen terbesar dunia. Ketiga negara tersebut menyumbang sekitar 40% dari kebutuhan gula dunia setiap tahunnya.
Dulu, dunia pernah mengenal Indonesia sebagai negara penghasil gula yang sangat potensial. Tidak hanya untuk memenuhi pasar lokal, namun juga menjadi komoditas ekspor yang menjadi pundi-pundi devisa bagi negara.
Puncak produksinya terjadi pada 1929-1930 lalu. Kala itu Indonesia, yang masih diidentifikasi sebagai Hindia Belanda, mampu memproduksi gula 3 juta ton per tahun sehingga tercatat sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Produksi tersebut mengalahkan Brazil, India, dan Thailand yang dikenal sebagai produsen gula dunia saat itu.

Predikat eksportir gula terbesar tersebut tak lepas dari banyaknya pabrik gula (PG) yang dibangun di jaman kolonial Belanda. Sejarah mencatat di tahun 1930 ada 179 PG yang pernah dibangun di pulau Jawa, yang sebagian besar berlokasi di Jawa Timur termasuk Sidoarjo.
Saat ini, kondisinya berbalik 180 derajat. Luasan perkebunan tebu yang dikelola pemerintah maupun masyarakat terus mengalami penyusutan akibat perubahan fungsi lahan.
Mengutip data data Dewan Gula Indonesia, Yanto Togi Ferdinand Marpaung dan kawan-kawan dalam publikasi ilmiah berjudul “Perkembangan Industri Gula Indonesia dan Urgensi Swasembada Gula Nasional”, pada 2010 luas perkebunan tebu di Indonesia mencapai 398,8 ha dengan produktivitas panen 31,8 juta ton tebu atau sekitar 5,74 ton/ha.
Angka ini  lebih kecil dibanding era 1930 yang bisa mencapai 14,79 ton/ha padahal luas areal lahan tebu saat itu baru ada setengah dari yang ada saat ini. Simatupang dkk dan Dewan Gula Indonesia mencatat, di tahun itu produksi tebu bisa menembus 25,6 juta ton yang dihasilkan dari lahan perkebunan seluas 196,592 ha.
Anjloknya bahan baku tersebut menimbulkan efek domino yang panjang. Satu persatu pabrik gula yang ada memilih menghentikan proses produksi alias gulung tikar. Buktinya menurut data Kemenperin 2015, jumlah pabrik gula Indonesia  hanya ada 62 unit pabrik. Rinciannya 50 unit dikelola BUMN dan 12 pabrik swasta.
Angka ini sepertinya juga bakal kembali turun setelah Holding Perkebunan Nusantara (PTPN III Persero) berencana akan menutup 11 pabrik gula yang dikelola pihaknya. Penutupan tiga pabrik gula di PTPN IX, tiga pabrik di PTPN X dan lima pabrik di PTPN XI akan dilakukan bertahap mulai  2018.
Direktur Utama Holding Perkebunan Nusantara Dasuki Amsir menjelaskan penutupan itu terpaksa dilakukan lantaran pabrik-pabrik gula tersebut dinilai tidak mampu berproduksi maksimal dan tidak efisien karena sudah berusia tua di atas 100 tahun.
Data dari Litbang Bappenas menyebut, di tahun 2016 lalu jumlah produksi gula nasional mencapai 2,6 juta ton. Disisi lain Kementerian Perindustrian menaksir kebutuhan gula nasional di tahun itu mencapai 5,7 juta ton dengan rincian 2,8 juta ton gula kristal putih konsumsi masyarakat dan 2,9 juta ton gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Perubahan kondisi tersebut membuat status Indonesia di tatanan perdagangan gula internasional pun berubah. Jika dulunya berposisi sebagai eksportir, namun sejak tahun 1967 hingga saat ini Indonesia menjadi negeri agraris yang bergantung pada impor gula.
Kebijakan ini berlanjut di setiap pemerintahan pascareformasi, termasuk di era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada 2015 lalu pemerintah mematok impor gula sebesar 3,13 juta ton.
Meski begitu pemerintah tetap percaya diri akan mampu lepas dari jerat impor tersebut. Dalam roadmap industri gula yang disusun oleh Kemenperin, Pemerintah Indonesia mentargetkan bisa menghapus kebijakan impor gula secara umum, kecuali bagi industri dengan persyaratan khusus pada 2015-2019.
Untuk mencapai target tersebut, pemerintah merencana akan membuka perkebunan tebu sekaligus dengan pabrik gula baru di luar Jawa, salah satunya di Gorontalo. Selain itu pemerintah juga akan melakukan penggantian mesin peralatan industri gula dengan teknologi proses produksi yang inovatif dan efisien.(bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar