Kamis, 08 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 3)

Buatan Tionghoa Dijual Belanda 
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber

Sejak pertama kali merambah Nusantara, para pedagang dan kaum imperialis Eropa belum terlalu tertarik untuk mengembangkan industri gula di Indonesia. Sama dengan pedagang-pedagang asing lainnya yang datang dari Tiongkok dan Arab, orang-orang Portugis, Inggris dan Belanda lebih tertarik untuk meraup komoditas lokal yang juga dibutuhkan dan memiliki nilai tinggi di perdagangan internasional kala itu, diantaranya lada, cengkeh dan rempah-rempah lainnya.
Lada menjadi daya tarik utama Nusantara sehingga Belanda mengirim Cornelis de Houtman dengan 4 kapal ke Banten yang tiba tanggal 15 Juni 1595 dan mulai menancapkan dominasinya dalam perdagangan disana melalui sebuah wadah bernama Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
Namun saat itu kegiatan mereka semata-mata dipusatkan pada perdagangan saja karena Belanda adalah bangsa merkantilis dan bukan industrialis. Benteng-benteng serta armada kapal VOC disiagakan untuk menjaga keamanan sumber komoditas, menjaga jalur perdagangannya serta menjaga hegemoni monopoli perdagangan. Aksi imperialisme Belanda dimulai setelah kedatangan Jan Pieterszoon Coen pada Mei 1619. Ia memindahkan kantor dagang VOC dari Banten ke Sunda Kelapa. Dari sanalah ia membangun kekuatan yang kemudian menginvasi Jawa setelah menaklukan penguasa setempat  dan mengusir pedagang Eropa lainnya dan setelah itu kekuasaannya pun dipusatkan di Sunda Kelapa yang namanya diganti Batavia.
Budidaya tebu secara massal sekaligus industri gula di Jawa baru dimulai pada tahun 1636. Saat itu kantor pusat VOC di Belanda memerintahkan pada perwakilannya di Batavia untuk ikut menyediakan pasokan gula kristal sebagaimana yang telah mereka kembangkan di Tiongkok, Thailand, Bengala-India dan Brazil.
.

Perkebunan tebu milik pengusaha Tionghoa di Batavia pada tahun 1800-an
yang mempekerjakan orang-orang pribumi dari pesisir utara Jawa sebagai buruh
ditambah budak dari India dan tawanan dari Bali, Sulawesi serta Banda.
Namun mereka tidak memproduksinya sendiri, VOC melirik produksi gula kristal di sekitar Batavia yang sudah dikembangkan oleh orang-orang perantauan dari Tionghoa yang membuka usahanya di sepanjang aliran sungai Ciliwung. Selain gula, pemrosesan tebu tersebut juga menghasilkan arak yang dikonsumsi kelompok masyarakat itu sehari-hari.
Saat itu, pemrosesan tebu menjadi gula dilakukan dengan menggunakan teknologi yang masih sederhana. Yakni dengan menggunakan dua batu silinder yang menjadi ciri khusus teknologi Tiongkok dalam memerah nira tebu. Setelah itu nira tebu dimasak dengan memanfaatkan ketrampilan khusus orang Tionghoa hingga menjadi gula kristal yang siap dikonsumsi.
Dalam praktek dagangnya VOC lebih cenderung memaksa orang-orang Tionghoa perantauan di Batavia untuk meningkatkan kapasitas produksinya sekaligus menjual hasilnya yang memiliki kwalitas terbaik pada VOC  dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh mereka.
Untuk itu VOC mendukung perluasan perkebunan tebu di sekitar Batavia. Berhektar-hektar hutan pun dibabat sebagai lahan baru perkebunan, sedangkan batang-batang pohonnya digunakan sebagai kayu bakar dalam proses produksi gula.
Sedang pekerjanya didatangkan dari daerah-daerah pesisir pantai Utara Pulau Jawa seperti Cirebon, Tegal dan Pekalongan yang dibayar dengan upah rendah. Selain itu mereka juga mendatangkan budak-budak dari India dan Arakan serta mengerahkan tenaga tawanan dari Celebes, Bali dan Banda untuk dijadikan tenaga kerja di perkebunan tebu.
Kumpeni begitu orang Jawa menyebut VOC, juga menyediakan dana untuk uang panjar atau persekot sebesar 8.000 gulden setiap tahunnya yang bisa dipakai sebagai modal kerja para pengusaha gula tersebut.
Untuk semakin merangsang etos kerja para pengusaha Tionghoa itu, mereka diijinkan menetap di dalam kota Batavia dan ditempatkan sebagai penduduk kelas 2 setelah orang-orang Eropa yang bermukim disana. Hasilnya VOC sukses melakukan ekspor gula pertama dari hasil kerja orang-orang Tionghoa di Batavia ke Eropa pada tahun 1637 sebanyak 618 ton.
Produktivitas itu makin digenjot setelah pasokan gula dari koloni Belanda di Brazil mulai terganggu akibat pertikaiannya dengan orang-orang Portugis pada 1644-1645. Pada tahun 1652, ekspor gula dari Jawa meningkat menjadi 723 ton dari sentra penggilingan tebu yang jumlahnya mencapai 20 unit.
Namun gula-gula itu tak dikirim ke Eropa karena margin keuntungan yang mereka dapatkan relatif sedikit. Pasalnya harga jual gula di Eropa saat itu cenderung turun sedangkan biaya yang ditanggung VOC untuk ekspor justru naik karena kapal-kapal dagang mereka hanya bisa menjangkau Eropa melalui Tanjung Harapan sehingga patokan harga yang mereka tawarkan kalah bersaing dengan eksportir gula dari Amerika Selatan.
Untuk itu mereka mengalihkan pasar mereka ke Asia, yakni ke Malabar-India, Suratthani-Thailand dan Jepang. Keputusan ini tampaknya tepat. Pasalnya ekspor gula kristal putih VOC dari Batavia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dan di tahun 1700-an, volumenya melambung hingga lebih dari 1000 ton. (bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar