Kamis, 08 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 5)


Harapan Baru Konglomet Gula di Kota Delta
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Hingga saat ini memang belum ada bukti sejarah yang dengan tegas menunjukkan sejak kapan tebu menjadi komoditas pertanian yang diusahakan oleh masyarakat di Sidoarjo. Pasalnya masyarakat Jawa, termasuk di Sidoarjo, saat itu belum menempatkan tebu sebagai bahan pangan pokok dalam kehidupan kesehariannya meski telah dibudidayakan dalam jumlah yang sangat terbatas di beberapa daerah.
Thomas Raffless dalam bukunya ‘History of Java’ menginformasikan, penduduk lokal hanya mengkonsumsi tebu sebagai makanan penutup atau kudapan yaitu dengan mengunyah langsung batangnya. Sedangkan untuk kebutuhan pemanis makanan maupun minuman, mereka lebih suka mengkonsumsi gula aren dan gula kelapa.
Berbeda dengan kebiasaan orang Tionghoa yang lebih akrab dengan penggunaan gula tebu sebagai bahan pemanis utama. Catatan sejarah yang ada menunjukkan masyarakat Tiongkok bahkan sudah menguasai teknologi pembuatan gula tebu sejak masa Dinasti Chin Timur pada tahun 317-420.
Teknologi tersebut berkembang terus dan pada masa Dinasti T’ang tahun 618-907 sudah terdapat industri gula kristal di Kwangtung dan Szechuan. Bahkan pada masa Dinasti Sung Selatan tahun 1127-1279, pendapatan pajak dan ekspor gula berperan besar dalam mendanai angkatan bersenjatanya. Hal ini menunjukkan tingkat kemajuan industri gula di Tiongkok.
          Selain mengambil gulanya, orang-orang Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa juga mengolah tetes tebu atau gula kental dengan teknik fermentasi khusus untuk arak untuk dikonsumsi di kelompok masyarakat itu sehari-hari.
Dalam bukunya yang ditulis di tahun 1817 tadi, Raffles memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan minuman memabukkan itu dengan arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa terkenal dengan julukan arak api.
Sementara itu orang-orang Eropa menggunakan madu sebagai bahan pemanis. Selanjutnya mereka lebih memilih menggunakan gula tebu karena rasa manis yang ditimbulkan tidak mengubah citarasa dasar makanan dan minuman yang dicampuri. Dan sebagai alternatif lainnya, terkadang mereka juga menggunakan gula bit.
Setelah mengetahui nikmatnya rasa gula kristal itu, orang Eropa mulai mencari tempat pembudidayaan tebu di belahan selatan dunia, termasuk Indonesia untuk diproduksi secara massal demi memenuhi kebutuhan orang-orang kulit putih.
Oei Tiong Ham,
Raja Gula dari Semarang yang
mengakuisis PG. Tanggulangin
di tahun 1880
Kisah sejarah yang tercatat tentang perkebunan tebu di Sidoarjo ada di sekitar tahun 1800-an. Di masa itu, para pengusaha Cina dari Semarang dan Batavia serta pemodal partikelir dari daratan Eropa yang didukung pemerintah kolonial Belanda mulai menjadikan Sidoarjo sebagai salah satu sentra produksi gula di tanah Jawa setelah usaha serupa mereka di Batavia dan Banten runtuh sejak akhir abad ke 18.
Perkembangan industri gula di sekitar Batavia saat itu memang sudah mengalami titik kulminasi. Pasalnya lahan perkebunan tebu yang mereka kelola telah sampai pada batas ekologinya.
Industri gula yang banyak berlokasi di sepanjang sungai Ciliwung telah menyebabkan makin kurusnya unsur hara dalam tanah. Belum lagi dengan aktivitas pembabatan hutan yang makin mempercepat proses tersebut. Akibatnya kualitas dan kuantitas panenan tebu semakin berkurang. Selain itu penggundulan hutan juga menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar yang merupakan bahan baku utama pemrosesan tebu menjadi gula.
Kendala itu coba diatasi dengan meningkatkan produksi Arak dan Rum sebagai hasil sampingan pemrosesan tebu. Namun produk minuman keras ini ternyata tidak menguntungkan sebagai komoditas ekspor karena harganya yang rendah di pasar internasional mengingat melimpahnya barang serupa yang diproduksi di Eropa.
Di Sidoarjo, para konglomerat gula itu seakan menemukan lahan dan pengharapan baru untuk menghidupkan usaha mereka yang mulai meredup. Mereka menyewa tanah dari pemerintah kolonial Belanda untuk dikelola sebagai perkebunan (onderneming) tebu.
Burger dalam buku Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels (1808-1811), sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi kebijakan ini hanya diterapkan pada desa-desa yang hasil produksi pertanian maupun perkebunannya tidak menguntungkan pemerintah kolonial Belanda. Sedang untuk desa-desa penghasil nila dan tebu gula tetap masih menggunakan sistem sewa desa.
Di Sidoarjo, areal persawahan bahkan lahan-lahan kering disulap menjadi kebun-kebun tebu. Berikutnya, pabrik-pabrik gula pun didirikan. Saking semangatnya, bibit-bibit tebu itu tidak hanya ditanamkan di lahan persawahan yang telah ada, namun juga di areal pertanian yang sama sekali baru. Di masa itu kawasan hutan yang masih cukup luas di Sidoarjo dibuka secara massal untuk dijadikan lahan perkebunan tebu.
Kala itu, tahun 1844, sebagian besar daerah Sidokare yang masuk dalam wilayah administratif Karesidenan Surabaya masih berupa hutan belantara yang dihuni aneka ragam satwa. Hanya sebagian kecil lainnya yang sudah diupayakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan tebu.
Pabrik gula di Ketegan, Taman, Sidoarjo di awal tahun 1900-an.
(Foto: koleksi Tropenmuseum)
Jelas sangatlah tidak mudah dan membutuhkan ketekunan tersendiri untuk mengubah tanah bekas hutan menjadi lahan produktif yang siap ditanam tebu. Apalagi tebu adalah tanaman manja yang menuntut irigasi dan drainase intensif. Meski begitu mereka tetap bersemangat karena sudah memiliki pengalaman yang cukup di bidang usaha tersebut.
Bertanam tebu di kala itu memang bukan persoalan mudah. Sempat muncul serangan hama penyakit terhadap tebu sehingga membuat Inspektur Jawatan Budidaya Tebu dan Padi pemerintah kolonial, Dr. IHF Sollewijn Gelpke harus memutar otak untuk mendongkrak industri gula di Hindia Belanda pada 1880.
Hasilnya, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu mendirikan Balai penelitian Gula atau Proofstation Van Ooc Java di Pasuruan untuk mengatasi masalah tersebut. Hingga kini, balai tersebut masih berfungsi dan diberi nama BP3G atau Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. (bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar