Rabu, 14 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 9)


Industri Gula Jawa yang Apungkan Belanda
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber

Para administratoer PG. Ketegan - Taman - Sidoarjo.
(Foto: koleksi Tropen Museum)
Sejak jaman penjajahan, Sidoarjo sudah diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai salah satu kekuatan ekonomi. Salah satu indikatornya adalah banyaknya pabrik gula yang didirikan di sebuah kota kecil bernama Sidoarjo ini setelah pabrik-pabrik gula lainnya di kawasan Batavia dan sekitarnya runtuh satu persatu.
Dalam studinya di Karesidenan Pekalongan pada 1830-1870 yang dipublikasikan melalui buku "Kaum Tani dan Budidaya Tebu di Pulau Jawa Abad ke-19’, G.R Knight mengungkapkan sebelum era sistem tanam paksa, kegiatan pengolahan tebu menjadi gula untuk pasar ekspor masih sangat terbatas.“Pembuatan gula hanya dilakukan di perkebunan-perkebunan milik Tionghoa dan Belanda di Jawa Barat, diantaranya bertebaran di sekitar Batavia dan di Pasuruan.” 
Ada yang menyebut, industri gula di Sidoarjo pada masa itu cukup potensial daripada industri serupa di Nusantara. Selain Sidoarjo, daerah lain yang memiliki pabrik gula yang cukup banyak adalah Situbondo dan Bantul-DIY.
Tumbuhnya industrialisasi gula di Sidoarjo didorong berakhirnya penerapan sistem cuulturstelsel dan diganti dengan kebijakan politik ekonomi liberal melalui terbitnya UU Agraria pada 9 April 1870 sehingga mampu menarik usahawan swasta, khususnya dari kalangan etnis Tionghoa dan  Eropa untuk menanamkan modal.
Para pekerja di laboratorium PG. Ketegan - Taman
Di masa-masa awal penanaman tebu, masih di era tanam paksa, maskapai dagang Nederlandsche Handel Maatschappi (NHM) berjaya karena memasarkan komoditas tanam paksa. Kucuran pemasukan membuat maskapai ini kemudian ikut serta mendongkrak bisnis gula, dengan memberi modal kepada pabrik gula dan kontraktor pengolahan tebu partikelir.
Arus modal yang diinvestasikan pada industri gula di Sidoarjo dimulai di tahun 1832. Kala itu pengusaha Tionghoa bernama The Goen Tjing mendirikan pabrik pemerahan tebu di kawasan Candi. Dengan dukungan pemerintah kolonial Belanda, usaha baru itupun sukses meraup keuntungan yang dignifikan.
Keberhasilan itu seakan menjadi magnet yang memiliki daya kuat untuk menarik datangnya pemilik-pemilik modal yang lain untuk meramaikan ladang usaha tersebut. Terbukti pada 1835 telah dibuka 4 pabrik gula baru sekaligus di Waru, Buduran, Karangbong-Gedangan dan Tanggulangin.
Luasnya ladang perkebunan tebu yang terus menerus dibuka di Sidoarjo, termasuk pengalihan persawahan padi dan komoditas pangan lainnya menjadi kebun-kebun tebu baru membuat pasokan bahan baku untuk produksi gula kristal putih melimpah ruah.
Kondisi inipun ditangkap dengan cepat oleh pemilik modal lainnya dengan pendirian pabrik-pabrik gula baru di Watu Tulis, Balongbendo, Wonoayu dan Porong. Setahun berikutnya, firman-firma partikelir asal negeri Belanda mendirikan pabrik serupa di Bulang-Krembung, Ketegan-Taman dan Wonoayu.
aktivitas di PG. Boedoeran- Sidoarjo
Di pertengahan abad ke 19 itu, permintaan masyarakat Eropa untuk bahan pemanis ini meningkat drastis. Mereka benar-benar telah ‘terbelenggu’oleh gula kristal. Bukan saja sebagai teman minum kopi dan teh, tetapi kala itu gula juga dipercaya dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk penyakit tertentu.
Lantaran itulah, gulapun menjelma menjadi ‘emas putih’ yang sangat mahal harganya sehingga mampu mendatangkan keuntungan yang berlimpah-limpah bagi produsen maupun pedagangnya.
Catatan Inggris di akhir abad ke 18 menyatakan bahwa satu sendok gula berharga setara lima dollar. Pada saat itu empat pound atau dua kg gula dapat ditukar dengan seekor anak sapi.
Permintaan pasar yang seakan tak pernah cukup itu makin menggairahkan sehingga pemerintah kolonial Belanda sampai merasa perlu membuat lembaga bisnis plat merah untuk menangani produksi ‘pemanis yang dibuat tanpa bantuan lebah’ itu.
Aktivitas di PG. Boedoeran.
(Foto-foto: Koleksi Troppen Museum)
Perusahaan berlabel N.V. Matsechappy Tot Exploitatie de Suiker Ondernamingen Kremboong en Toelangan mendirikan pabrik gula di Krembung (1847) dan Tulangan (1850). Sebelumnya juga didirikan pabrik serupa di Sruni-Gedangan.
Dalam arsip-arsip yang tersimpan di pabrik-pabrik gula si Sidoarjo, setelah 1850, istilah fabriekant diganti menjadi ondernemer dikarenakan fabriekant telah lebih mendapat keleluasaan dari gubernemen dan lebih dilibatkan dalam pengolahan kebun-kebun.
Sebelum tahun 1830, hampir semua pabrik gula di kawasan perkebunan di Jawa Timur masih mengandalkan hewan ternak untuk menggerakkan mesin-mesinnya, yang tentu saja memperlambat proses produksi.
Namun ketika intensifikasi penanaman tebu didukung oleh kebijakan politik Tanam Paksa (cultuurstelsel), mesin-mesin penggilingan tebu juga dimodernisasi agar produksi gula sejalan dengan hasil penanaman tebu yang meningkat tajam.
Untuk lebih menggenjot hasil produksi, para pengusaha gula kristal yang memiliki modal besar mulai mendatangkan mesin-mesin impor yang sebelumnya tidak pernah digunakan di Jawa. Era ini bisa disebut sebagai awal terjadinya industrialisasi di Jawa Timur.
Dan untuk keperluan perbaikan-perbaikan pabrik, khususnya penyediaan suku cadang dan tempat perbengkelan mesin-mesin beratnya, didirikan pula bengkel besar dengan nama De Bromo.

Keluarga Eropa yang bersantai sambil
menikmati minuman dengan gula yang
dihasilkan orang-orang Jawa.
Ekspansi gula yang gila-gilaan tidak hanya menerpa Sidoarjo dan sekitarnya tetapi pulau Jawa secara keseluruhan. Hingga tahun 1929 sebanyak 179 pabrik yang mampu memproduksi 3 juta ton gula, mempekerjakan 60.000 buruh tetap dan 700.000 buruh musiman.
Bisa jadi ini salah satu efek dari berlakunya Agrarische Wet di tahun 1870 yang merombak Pulau Jawa sebagai hamparan kebun besar untuk kepentingan pemilik modal. Seperti pepatah dalam istilah mereka, ‘tanah Jawa adalah gabus yang membuat negeri Belanda tetap mengapung’. (bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

5 komentar:

  1. Om mbok sekalian kondisi terkini pabrik gulanya sekalian dialih fungsikan jadi apa....

    BalasHapus
  2. Saya tugas di pusdik Sabhara Porong adakah sedikit artikel tentang pabrik gula Porong yang sekarang jadi pusdik Sabhara Porong.... Trrima

    BalasHapus
  3. Lokasi ex PG Ketegan sekarang berubah menjadi Mako Brimob Taman dan rumah penduduk. Bekas dudukan cerobong uapnya masih ada di dalam pabrik rotan (area private)

    BalasHapus