Jumat, 09 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 8)


Kisah Tragis Mandor Tebu Yang Baik Hati
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Selain itu ada juga kisah kepahlawan yang lain yang berlatar belakang industrialisasi gula, yakni perjuangan Sakera. Hanya saja setting peristiwa ini bukan di Sidoarjo, namun di Pasuruan.
Tidak ada dokumentasi tulisan yang otentik tentang sosok dan perjuangan sang tokoh. Kisah yang mengemuka di masyarakat itu hanya berasal dari sejarah lisan yang rentan diselewengkan oleh pihak-pihak lain untuk mengedepankan kepentingannya.
Berdasarkan kisah tutur, nama aslinya adalah Sadiman. Sakera adalah nama panggilannya sehari-hari yang maknanya adalah orang yang memiliki banyak teman karena suka menolong sesama.
Ia lahir dari keluarga ningrat keturunan Madura di Kelurahan Raci, Kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada abad 19 ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa dan industrialisasi gula di tanah Jawa. Meski begitu karena karakternya yang rendah hati, ia tak mau menggunakan gelar kebangsawanannya dan lebih nyaman dengan panggilan sakerah saja.
Sebagai orang yang berasal dari kalangan orang terpandang di lingkungannya, Sakerah mendapat kesempatan bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik Pabrik Gula Kancil Mas Bangil.

Meski kerap digambarkan berpenampilan sangar dengan kumis lebat dan udeng di kepala, namun ia memiliki hati yang penuh belas kasihan dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja perkebunan.
Ada kisah yang mengatakan, bahwa ia pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menderita kerugian yang sangat besar.
Kisah perlawanan Sakera bermula ketika pabrik gula tersebut membutuhkan tambahan lahan-lahan baru untuk memperluas areal perkebunan tebu milik mereka demi menambah kapasitas produksi di musim giling berikutnya. Karena kepentingan itu, orang Belanda pemimpin pabrik gula itu berniat membeli atau menyewa lahan perkebunan milik dengan harga semurah-murahnya.
Dengan cara licik pimpinan pabrik membujuk carik di Kampung Rembang agar menyediakan areal perkebunan baru yang cukup luas bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat.
Jika berhasil, sang perangkat desa diiming-imingi harta benda dalam jumlah yang besat. Nafsu untuk mendapatkan kekayaan yang berlimpah membuat si carik bersedia memenuhi keinginan tersebut.
Iapun menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengintimidasi masyarakat pemilik untuk menyerahkan lahan pertaniannya untuk dikelola pihak pabrik gula. Sakera yang melihat penyimpangan tersebut berusaha tampil sebagai pembela rakyat sehingga berkali kali upaya carik Rembang itu gagal.
Permasalahan itupun dilaporkan ke pemilik pabrik gula yang langsung disikapi dengan mengutus bawahannya untuk membunuh Sakera. Namun bukannya berhasil memenuhi order majikannya, sang bawahan beserta anak buahnya justru mati terbunuh di tangan sakera.
Akibat kejadian tersebut Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya berhasil ditangkap saat ia mengunjungi rumah ibunya. Ia memilih menyerah karena polisi Belanda dan juga Carik Rembang mengancam akan membunuh ibunya jika terus melakukan perlawanan.
Ia pun dihukum dan dikurung di penjara Bangil. Selama di rumah tahanan Sakera kerap mendapat siksaan yang kejam. Tapi kepedihan akibat luka di tubuhnya tak senyeri kesedihan hatinya saat mendengar praktek penindasan yang dilakukan oleh orang-orang Eropa yang didukung oleh kaum pribumi yang berkhianat demi harta dan status sosial iapun memutuskan melarikan diri.
Begitu berhasil lolos dari kungkungan tembok penjara, Sakera bertindak tegas dengan menghukum mati Carik Rembang beserta para petinggi perkebunan yang telah memeras rakyat. Bahkan para petugas polisi pun tak luput dari tebasan clurit saat berusaha menangkapnya.
Karena kehabisan akal menangkap Sakera, akhirnya Polisi Belanda meminta bantuan teman seperguruan Sakera untuk menangkap buronan tersebut. Dan upaya itupun berhasil dilakukan. Sakera tertangkap kembali dan diadili.
Dengan cara digantung seperti ini Sakera dihukum mati
di dalam penjara Bangil, pasuruan.
Sebagai hukumannya, Government Bangil memutuskan menggantung Sakera hingga mati. Pak Sakera gugur digantung di penjara Bangil. Dia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota Bangil.
Selanjutnya, Belanda memiliki kepentingan untuk mengaburkan kisah tersebut agar jangan sampai mengobarkan semangat juang masyarakat yang bersimpati dengan perjuangan Sakera. Maka diciptakan cerita baru yang menampilkan Sakera sebagai sosok yang bengis dan berangasan.
Dan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya sama sekali tak ada hubungannya dengan heroisme kebangsaan namun dilatar belakangi dendam karena adanya perselingkuhan yang dilakukan istrinya dengan keponakan Sakera. Karena itulah Sakera sangat pantas dihukum mati karena tindakannya telah mengganggu ketertiban umum dan menyebabkan kematian orang lain.
Makam Sakera di bekacak, Bangil
Agar cerita rekayasa itu bisa cepat diketahui dan mampu membentuk opini publik secara meluas maka penyebarannya dilakukan melalui pementasan-pementasan ludruk, kesenian tradisional warga Jawa Timur yang dilakukan oleh orang-orang suruhan pemerintah kolonial Belanda.
Strategi itu ternyata cukup jitu. Karena kisah itu kemudian diduplikasi sepenuhnya oleh kelompok-kelompok ludruk yang lain hingga masyarakat awampun mengenal Sakera sebagai buronan dan bukan orang yang telah mengorbankan jiwa raganya demi membela kepentingan rakyat terhadap perilaku menyimpang pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan pribadi atas penerapan sistem tanam paksa. (bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

1 komentar: