Senin, 25 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (IV)

Geliat Para Pembangkang
Oleh : Jaludieko Pramono


Coenraad Lourens Coolen bergeming. Tuan tanah, pemimpin rakyat sekaligus pasamuwan Kristen Jawa di Ngoro itu tak mau mengubah keputusannya, meski koleganya di Surabaya, Johannes Emde telah memohonkan pengampunan.
Hatinya terlanjur sakit. Pemimpin umat yang dipanggil Kiai Kolem itu merasa dikhianati. Karena itu ia tetap tak mau menerima kembali jemaatnya yang dianggap membangkang perintahnya, yakni menerima sakramen pembaptisan di GPI Surabaya.
Dalam pengajarannya, Coolen memang tidak memperbolehkan jemaatnya dibaptis. Alasannya, ia khawatir, usai dibaptis dan mendapatkan nama baptis, orang-orang Kristen Jawa itu akan menjadi sombong, bertingkah laku dan berbusana seperti layaknya orang Eropa dan meninggalkan akar budayanya.

Rabu, 20 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (III)

Benih Iman di Tlatah Surabaya
Oleh : Jaludieko Pramono


Desa Wiung Surabaya sekitar tahun 1826-1827, Kyai Dasimah membolak-balik buku tipis yang diterimanya dari Pak Midah. Lalu modin desa Wiung itu mencoba membaca kalimat pertama, “Purwane Ewanggelion saking Yesus Kristus, Putrane Allah……”, (Inilah permulaan tentang Injil Yesus Kristus, Anak Allah).
Dahinya mengernyit, sebelah alisnya ikut terangkat pertanda ada rasa heran yang berkecamuk di benaknya. Lalu iapun meneruskan membaca kalimat selanjutnya dengan suara agak keras supaya kenalan yang membawakan buku itu bisa ikut mendengarkan.
Dan setelah hampir selembar, Kyai Dasimah pun mengatakan bahwa ia sama sekali tak mengerti dengan makna yang tersirat dari suratan kalimat yang baru saja dibacanya itu. Dan iapun meminta agar Pak Midah bersedia meminjamkan buku tersebut padanya selama beberapa hari ke depan.

Senin, 18 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (2)

Dari Ngoro, Kristus Dikumandangkan
Oleh : Jaludieko Pramono        


Ngoro adalah sebuah wilayah yang kini berada di Kabupaten Jombang. Konon, di masa kejayaan Majapahit, tempat ini sudah berkembang menjadi desa yang cukup ramai. Namun seiring dengan runtuhnya permata nusantara itu, Ngoro pun ditinggalkan penduduknya yang menjadi daerah kosong yang tak berpenghuni.
Berabad kemudian, Ngoro kembali menjadi hutan belantara. Sebuah kawasan pedalaman yang sepi dan menakutkan hingga tak tersentuh program pembangunan pemerintah kolonial Belanda waktu itu.
Tapi penilaian itu tak berlaku bagi Coenraad Lourens Coolen, seorang sinder blandhong atau pengawas penebangan kayu di Wirosobo atau Mojoagung pada saat ini. Menurutnya, Ngoro adalah kawasan yang potensial untuk kawasan pertanian karena tanahnya yang subur dan kaya akan air.

KEKRISTENAN DI JAWA (I)

Dibuka Portugis, Dihadang Belanda

Sejarah mencatat, keberadaan gedung gereja di tanah Jawa sudah ada sejak akhir abad ke 17, yakni pada 1676 di Jakarta. Gereja berikutnya dibangun di Semarang pada 1753 dan di Surabaya pada 1785.
Di Jakarta, gereja tua tersebut ada di daerah Tugu yang sekarang bernama GPIB Tugu. Selain itu juga ada GPIB Sion yang berada di Jl. Pangeran Jayakarta. Gereja yang awalnya bernama Portugeesche Buitenkerk itu dibangun pada 1693 dan dipakai ibadah pertama kali oleh orang-orang Portugis pada 1695.
Di Semarang, gereja tertua ada di kawasan kota lama. Warga setempat menyebutnya mengenalnya dengan istilah gereja Blenduk karena beratapkan kubah besar bersegi delapan. Gereja ini awalnya bernama Nederlandsch Indische Kerk atau Koepelkerk. Kini bangunan yang berada di Jl Letjend. Suprapto 32 tersebut bernama GPIB Imanuel.