Senin, 25 Juli 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (IV)

Geliat Para Pembangkang
Oleh : Jaludieko Pramono


Coenraad Lourens Coolen bergeming. Tuan tanah, pemimpin rakyat sekaligus pasamuwan Kristen Jawa di Ngoro itu tak mau mengubah keputusannya, meski koleganya di Surabaya, Johannes Emde telah memohonkan pengampunan.
Hatinya terlanjur sakit. Pemimpin umat yang dipanggil Kiai Kolem itu merasa dikhianati. Karena itu ia tetap tak mau menerima kembali jemaatnya yang dianggap membangkang perintahnya, yakni menerima sakramen pembaptisan di GPI Surabaya.
Dalam pengajarannya, Coolen memang tidak memperbolehkan jemaatnya dibaptis. Alasannya, ia khawatir, usai dibaptis dan mendapatkan nama baptis, orang-orang Kristen Jawa itu akan menjadi sombong, bertingkah laku dan berbusana seperti layaknya orang Eropa dan meninggalkan akar budayanya.
Sikap tegas ini membuat Yakobus Singotruno, Paulus Tosari, Eliasar Kunto dan teman-temannya seperti anak ayam kehilangan induknya. Mereka yang tertolak itu terpaksa harus kehilangan, rumah, mata pencaharian sekaligus sumber pendapatan karena selama ini mereka juga menjadi pekerja di Ngoro.
Kini justru Emde yang kebingungan. Orang Jerman yang telah lama tinggal di Surabaya itu merasa harus ikut bertanggungjawab atas nasib Singotruno dan teman-temannya. Ia coba menghubungi seorang tuan tanah di Sidokare Sidoarjo, Meneer W. Gunsch agar mau menampung orang-orang buangan tersebut.
Gayung pun bersambut. Kebetulan ia memang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk perkebunan sewaannya di Sidokare. Saat ini lokasinya kira-kira berada di sisi barat Stasiun Kota Sidoarjo.
Kala itu, pada 1844, sebagian besar daerah Sidokare yang masuk dalam wilayah administratif Karesidenan Surabaya masih berupa hutan belantara yang terkenal angker. Hanya sebagian kecil lainnya yang sudah diupayakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan tebu.
Maka sejak saat itu, orang-orang buangan Ngoro dibawah kepemimpinan Yakobus Singotruno itu bedol deso ke Sidokare. Mereka tinggal, bekerja dan mendirikan persekutuan Kristen yang dipimpin oleh Singotruno sendiri di sekitar areal persil yang disewa Gunsch dari pemerintah colonial Belanda.
Mereka hidup berdampingan dengan orang-orang yang lebih dulu tinggal disitu. Pekerjaan mereka bertani dan membuat tembikar. Namun mereka bukan Kristen.
Persekutuan Kristen yang dipimpin Singotruno berada di bawah kontrol NZG. Rencananya, nantinya di tempat itu akan dibangun jemaat sekaligus gedung gereja yang akan menjadi role models gereja Jawa. Pengorganisasian, doktrin serta tata ibadahnya disesuaikan dengan gereja-gereja Protestan Eropa seperti di Surabaya, Semarang, Jakarta, Tugu dan juga Depok.
Sidokare menjadi permata baru yang sinarnya benderang di kalangan orang-orang Kristen Jawa yang dibangun dan dikembangkan Coolen. Bak paku besi yang terseret besi magnet, sedikit demi sedikit umat orang Ngoro pun boyongan ke Sidokare hingga terbangunlah persekutuan baru dikalangan buruh tani dan jumlahnya konon pernah mencapai 200 orang.
Setidaknya hal itu tercatat dalam buku Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab. Suatu Studi mengenai Pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan Kemerdekaan ±1835-1935 yang ditulis Nortier di tahun 1935.
Dalam buku itu disebutkan NZG berharap kelompok jemaat Kristen Jawa tersebut mampu hidup menurut aturan moral yang ketat yang sepenuhnya berbeda dengan konsep yang dikembangkan Coolen di Ngoro.
Untuk itu, tuan tanah asal Swiss itu memberikan pendidikan ala barat pada buruh-buruh tani yang dipekerjakannya, terutama bagi para petobat Kristen meski masih bersifat  non formal.

Perubahan yang Mengecewakan
Meski berada dibawah kendali NZG, Kiai Singotruno sebagai pengajar Injil sekaligus pemimpin kebaktian rutin tetap mempertahankan tata ibadah Kristen Jawa sebagaimana diajarkan oleh gurunya di Ngoro.
Kondisi ini membuat para misionaris Belanda di Surabaya gerah. Mereka kurang setuju dengan jemaat Kristen Sidokare yang melaksanakan kebaktian tanpa pendeta serta masih bernuansa Kejawen.
Hal ini disikapi secara radikal dan kaku oleh Emde yang memang beraliran ‘Kristen Londo’. Ia berpendapat bahwa seorang Kristen Jawa harus mengalami pengalihan budaya agar bisa menjadi Kristen sejati.
Maka iapun menerapkan aturan-aturan yang wajib ditaati oleh seluruh jemaat di Sidokare. Dalam komunitas yang ia dirikan itu orang Kristen jawa diharuskan meninggalkan kejawaan mereka untuk kemudian hidup sebagai ‘orang-orang barat’.
Aturan itu dirumuskannya dalam 10 perintah, yakni :
1) Potonglah rambutmu pendek-pendek.
2) Jangan memakai ikat kepala di gereja.
3) Jangan mendengarkan gamelan.
4) Jangan menonton wayang.
5) Jangan melakukan khitanan.
6) Jangan menyelenggarakan selamatan.
7) Jangan menyanyikan tembang Jawa.
8) Jangan merawat pekuburan.
9) Jangan menaburkan bunga di makam.
10) Jangan membiarkan anak-anakmu bermain permainan Jawa.
Sejak saat itu tak ada lagi blangkon dan keris dan berganti dengan pakaian ala Eropa. Syahdunya suara gending-gending sudah tak lagi bisa mereka nikmati. Apalagi gagahnya suluk yang keluar dari bibir para dalang.
Kini mereka telah berubah menjadi pribadi yang berbeda. Petani yang sederhana di hari-hari kerja yang tiba-tiba bermetaformosis menjadi Londo ireng saat hari kebaktian tiba. ‘Londo wurung, Jawa tanggung’.
Aturan radikal itu menimbulkan benih-benih kekecewaan di hati para jemaat Kiai Singotruno. Ada seberkas penyesalan yang terbit atas keputusan mereka meninggalkan Ngoro dan teduhnya pengajaran Coolen. Tapi nasi sudah menjadi bubur.
Seiring perjalanan waktu, makin banyak diantara mereka yang sudah tak mampu lagi  bertahan. Kerinduan akan akar budayanya yang dicabut secara paksa oleh Emde mendorong mereka untuk segera hengkang.
Apalagi telah terdengar di telinga mereka bahwa sebagian teman mereka di Ngoro sudah mulai membuka alas Kracil untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru yang kemudian menjadi desa Mojowarno.
Dibawah komando Eliasar Kunto, mereka kemudian memilih Mojowarno sebagai ‘tanah harapan’ baru, sebab Kiai Coolen di Ngoro sudah tak mau lagi menerima orang Kristen Jawa yang telah dibaptis. Apalagi dengan penampilan baru mereka saat ini yang sudah ‘ilang jawane’.
Sedikit demi sedikit, jemaat Sidokare pun mulai terkikis. Meski begitu Kiai Singotruno yang dibantu Kiai Paulus Tosari memilih untuk tetap bertahan di Sidokare bersama orang buangan Ngoro lainnya.
Akhirnya pertahanan para pembangkang itu jebol juga tatkala Gunsch juga mulai ikut-ikutan mencabuti akar budaya mereka. Menjelang pergantian tahun 1849, Gunsch mendesak bahkan sedikit memaksa Singotruno dan kawan-kawan untuk mencabut kaki mereka dari lembut dinginnya tanah sawah.
Ia mengarahkan orang-orangnya itu menjadi pedagang. Sedang sebagian lainnya dimintanya belajar menjadi tukang tembikar, tukang kayu, tukang batu dan lain sebagainya.
Perintah itu dipatuhi meski sebelumnya harus bersitegang dulu dengan sang tuan tanah. Perubahan mata pencaharian ini ternyata tidak semudah omongan Meener Gunsch. Banyak diantara mereka yang kemudian tidak mendapat hasil yang diharapkan.
Dalam bukunya Nortier mencatat, pada saat itu terkuaklah motivasi asli Gunsch yang tidak pernah sepenuhnya membantu mereka dengan sukarela. Namun ada sebuah niat untuk memanfaatkan orang-orang buangan itu untuk meraih keuntungan pribadinya.

Kristen Bukan Eropa
Kesadaran baru kembali timbul. Bahwa sekalipun telah menjadi Kristen, mereka tidak harus berganti profesi apalagi sampai membuang budaya leluhur yang telah menyatu dalam darah dan dagingnya melalui pekerjaan, busana, seni maupun bahasa.
Bagaimana pun mereka adalah Wong Jowo sekalipun telah mempercaya Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Mereka bukan Belanda, Jerman, Rusia atau kelompok orang Eropa lainnya. Bukan pula Arab, Tionghoa dan orang timur jauh yang punya budaya dan keyakinannya sendiri.
Sikap itu sama persis dengan pandangan Inspektur NZG di Jawa, Pdt. J.E Jellesma. Baginya, petobat Jawa harus tetap berada pada roh kejawaannya saat menjalankan ajaran Kristus dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurutnya, petobat-petobat Jawa adalah orang yang paling tepat untuk menjalankan misi pekabaran Injil di tanahnya sendiri. Aktifitas penginjilan yang mereka lakukan bisa mengeliminir gesekan kepentingan dengan pemerintah kolonial maupun sentimen negatif kaum pribumi yang beragama Islam maupun penganut aliran kejawen.
Lantaran itulah, sejak kedatangannya di Surabaya pada 1849, ia mendidik beberapa pemuda Jawa untuk menjadi penginjil. Selain itu ia menyuruh 4 orang pemuda Kristen potensial dari Sidokare untuk pergi ke jemaat-jemaat yang tersebar itu. Aktifitas mereka dibiayai oleh ‘Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil’ di Surabaya.
Gara-gara pandangannya itu, Jellesma harus bersitegang dengan kelompok ‘Kesalihan Surabaya’ yang diikuti Emde dan juga Gunsch. Keduanya bahkan melarang Jellesma menginjakkan kaki ke Sidokare apalagi menemui anggota jemaat.
Bisul ketegangan ini akhirnya meledak juga di tahun 1850. Tekad Kiai Singotruno dan Kiai Paulus Tosari sudah semakin bulat untuk meninggalkan Sidokare. Bukan hanya berdua, mereka membawa serta orang-orang Ngoro yang tersisa beserta petobat-petobat baru.
Persil Sidokare yang riuh rendah dengan aktivitas perkebunan dan nyanyian pujian bagi Tuhan itu kembali sepi seperti sedia kala. Semuanya hilang tak berbekas, tinggal kisah masa lalunya saja yang masih tersisa.

Mereka yang Terserak
Pertengahan abad ke 19 adalah masa keemasan industri gula di Sidoarjo seiring munculnya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Dan Sidoarjo adalah daerah yang potensial untuk pembudidayaan tanaman tebu sebagai bahan utama industri gula. Karenanya lahan-lahan persawahan yang ada sebagian besar diubah menjadi kebun-kebun tebu. Pun demikian dengan pepohonan hutan yang dibabat agar tanahnya bisa dipakai untuk menanam lahan perkebunan baru.
Di masa itu, Sidoarjo pun riuh dengan pembangunan pabrik-pabrik gula di berbagai sudut daerahnya. Sejarah mencatat ada sekitar 10 pabrik tebu yang pernah berdiri di Sidoarjo. Mulai dari Ketegan – Taman, Sruni – Gedangan, Buduran, Candi, Tulangan, Krembung, Wonoayu, Krian hingga Watu Tulis – Prambon.
Ada yang menyebut, industri gula di sioarjo pada masa itu merupakan yang paling potensial dari industri serupa di Nusantara. Pasalnya hanya Sidoarjo yang memiliki pabrik gula sebanyak itu setelah pabrik-pabrik gula di kawasan Batavia dan sekitarnya runtuh satu persatu.
Bukan hanya itu, pemerintah kolonial juga membangun jaringan rel kereta api yang menghubungkan Surabaya dengan lokasi pabrik-pabrik gula itu. Bantalan besi itu juga ditanam disekitar ladang perkebunan untuk memudahkan mengangkut hasil panen.
Geliat ekonomi itu tentu saja membutuhkan banyak sumber daya manusia sebagai tenaga kerjanya. Dan hal itulah yang kemudian menjadikan alasan bagi sebagian jemaat Sidokare untuk meneruskan langkahnya menuju Mojowarno.
Sebagian dari mereka memilih untuk menuntaskan perjalanannya di desa Wonomlati. Disana mereka bekerja sebagai buruh tani di perkebunan-perkebunan tebu atau di pabrik gula Kremboong yang didirikan N.V. Cooy dan Coster Van Voor Hout pada tahun 1847.
Selain itu, diantara mereka ada pula yang tertarik untuk membantu proses produksi di Pabrik Gula Toelangan yang didirikan pada 1850 oleh N.V. Matsechappy Tot Exploitatie  de Suiker Ondernamingen Kremboong en Toelangan.
Tersedianya lapangan kerja membuat mereka nyaman disana hingga akhirnya mereka yang terserak itu kembali diikat dalam sebuah persekutuan warga Kristen Jawa yang berpusat di Wonomlati atau biasa disebut Mlaten.
Pasamuwan itu kemudian diorganisasi menjadi sebuah gereja setelah adanya petobat-petobat baru yang dibaptiskan pada 1875. Dan lantaran jumlah jemaatnya semakin besar, merekapun mendirikan tempat ibadah permanen pada 1883.
Tempat ibadah yang saat ini bernama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mlaten itu sudah mengalami beberapa kali pemugaran. Terakhir pada 1996 lalu. Bangunan aslinya sudah tak ada lagi kecuali sebatang kayu jati yang jadi blandar.
Sumber sejarah lainnya menyebutkan, sebagian jemaat keluaran Sidokare itu ada yang berhenti di desa Bogem di wilayah kecamatan Balongbendo saat ini. Anak cucu dan keturunan merekalah yang kemudian membidani pendirian GKJW Luwung pada 1923.
Gereja asri itu berdiri di tengah pemukiman penduduk yang majemuk. Setiap minggunya gereja ini menjadi tempat ibadah bagi 125 keluarga Kristen Jawa yang menetap di Luwung, Desa Sumokembangsri, Sunggatblijo, Ciro, Bureng serta desa-desa lainnya di wilayah kecamatan Krian, Balongbendo, Tarik dan Wringinanom-Gresik.
Sementara mereka yang teguh pada tujuan awalnya juga menggapai masa depan yang gemilang di Mojowarno. Setelah membantu membuka hutan, akhirnya Kyai Singotruno ditetapkan menjadi pemimpin di desa Mojotengah. Sedangkan Paulus Tosari menjadi guru Injil di Gereja Mojowarno.*(bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar