Jumat, 04 November 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (V)


V.  Di Mojowarno Benih itu Ditumbuhkan
Oleh : Jaludieko Pramono


Memasuki 1844, gonjang-ganjing melanda komunitas Kristen pribumi di Ngoro. Kegaduhan internal ini dipicu keputusan pimpinan komunitas tersebut, Coenraad Lourens Coolen yang mengusir beberapa jemaatnya.
Pasalnya mereka dipergoki telah dibaptis di GPI Surabaya. Padahal Coolen dengan tegas melarang jemaatnya dibaptis. Alasannya, sakramen kudus itu hanya akan membuat jemaat Kristen Jawa akan tercerabut dari akar budayanya karena mereka telah memiliki nama barat, berpakaian barat dan berperilaku ala orang Eropa.
Dengan kejadian tersebut, Coolen pun mengancam akan memberikan sanksi serupa bagi jemaatnya yang ikut-ikutan berkhianat pada ajarannya. Padahal hampir sebagian besar pengikut jemaat pribumi mula-mula di tanah Jawa itu ingin dibaptis, termasuk Ditotruno.

Sewaktu beberapa orang temannya, sesama tokoh penting Ngoro, sibuk kasak-kusuk di belakang Coolen soal baptisan, Ditotruno tetap tenang. Begitu pula ketika rekan-rekannya itu – yang kemudian diikuti oleh sejumlah warga desa – memutuskan untuk dibaptiskan, ia tetap tenang dan tidak mengikuti jejak mereka.
Ia paham betul akan resiko pengusiran yang bakal dilakukan Coolen. Dan sebagai bekas prajurit Pangeran Diponegoro, Ditotruno memiliki perhitungan politis yang jauh lebih matang daripada teman-temannya.
Ia tahu, teman-temannya yang membelot telah mendapat induk semang baru di daerah Sidokare, Sidoarjo. Namun baginya, hal tersebut tidak memiliki nilai tambah karena hanya berpindah dari satu tuan kepada majikan lainnya. Ia ingin membuka hutan dan lahan sendiri sehingga tidak tergantung pada kepemimpinan orang lain.
Kebetulan tidak jauh dari Ngoro ada suatu daerah yang bernama hutan Kracil. Ia pun menyampaikan keinginannya pada Coolen. Ia juga memohon agar Coolen bersedia mengurusi segala syarat-syarat yang diperlukan bagi perizinan pembabatan hutan itu.
Sebagai seorang ‘buronan’ politik, Ditotruno tentu segan untuk berurusan secara langsung dengan pemerintah. Lagi pula ia tidak pandai berbahasa Melayu, yang saat itu merupakan bahasa pergaulan umum yang dipakai.
Ada ahli sejarah yang menduga adanya hubungan kekerabatan antara Ditotruno dengan Coolen yang memungkinkan salah satu perwira dalam perang Jawa itu bersikap lebih terbuka dalam hal tersebut.
Permohonan itupun dikabulkan. Tak perlu berlama-lama, Ditotruno bersama Karolus Wiryoguno dan puluhan penduduk Ngoro berangkat  menuju hutan Kracil. Bersama-sama mereka membuka hutan tersebut.
Lalu sesuai rencana, Ditotruno, Wiryoguno yang kemudian dibantu Eliasar Kunto, pimpinan pelarian dari Sidokare menjadikannya sebagai areal pertanian. Dan yang pasti pemukiman warga pun tumbuh di sekitarnya hingga akhirnya berdirilah tiga desa sekaligus diatas lahan bekas hutan tersebut pada 1845.
Yakni Mojowarno yang dipimpin Ditotruno, Mojowangi yang dipimpin Eliasar Kunto dan Mojoroto dengan pimpinannya Karolus Wiryoguno. Di desa-desa baru itu, mereka meneruskan pengajaran Collen, yakni Kristen Kejawen pada warganya masing-masing.

Saat Bandul Berubah Arah
Tahun-tahun berikutnya membawa sebuah angin perubahan yang begitu keras. Kekecewaan yang semakin dalam terhadap Coolen membuat semakin banyak para penganut Kristen Jawa yang bermigrasi keluar dari Ngoro.
Sebagian dari mereka mengikuti senior mereka, Yakobus Singotruno yang membuka lahan pertanian dan pasamuwan baru di Sidokare. Sedangkan sebagian lainnya pilih mencari ‘suaka’ ke Mojowarno dan menjadi jemaat Ditotruno, Wiryoguno atau Kunto. Sedangkan yang lainnya menyebar ke daerah-daerah di sekitar Ngoro dan berbaur dengan penduduk muslim atau penganut kejawen murni.
Mendengar keberhasilan rekan-rekannya dan didorong kekecewaan pada Johanes Emde, orang-orang buangan yang masih tersisa di Sidokare memutuskan hijrah ke Mojowarno, tak terkecuali Kiai Paulus Tosari dan Kiai Yakobus Singotruno pada 1850.
Eksodus besar-besaran ini membuat desa-desa baru itupun makin hidup. Dan dalam perkembangan berikutnya, sejarah perkembangan kekristenan pribumi di Jawa Timur telah berpindah ke Desa Mojowarno dan desa-desa baru di sekitarnya. Jadi catatan-catatan sejarah yang ada pada periode ini lebih banyak menyoroti Mojowarno ketimbang Ngoro atau Sidokare.
Beberapa hal yang pasti adalah bahwa Desa Mojowarno menjadi pusat kekristenan pribumi dan merupakan blueprint bagi keberadaan desa-desa Kristen di Jawa Timur. Diantaranya desa Swaru (1857), Peniwen (1880), Wonorejo (1884) dan
desa-desa lainnya. Desa-desa Kristen ini memiliki kesamaan, yaitu penduduknya adalah masyarakat petani.

Masuknya Si Kulit Pucat
Perkembangan komunitas Kristen pribumi di Mojowarno menjadi perhatian Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) saat mereka berhasil menginjak Surabaya di tahun 1849 setelah sukses mengantongi izin dari pemerintah Kolonial Belanda untuk melakukan aktifitas Pekabaran Injil di Jawa.
Dan adalah J.E. Jellesma yang dipanggil untuk memenuhi tugas tersebut. Pendeta Belanda itu ditempatkan di Surabaya. Sejak menginjakkan kaki di Surabaya misionaris yang pernah ditugaskan di Seram, Maluku itu terobsesi untuk mengembangkan jala pelayanannya di daerah pedalaman, terutama ke Mojowarno.
Surat permohonan izin pelayanan pun dilayangkan ke pemerintah kolonial Belanda. Dan baru dalam tahun 1851 izin tersebut diberikan. Tak mau menunggu terlalu lama, saat itupun Jelesma langsung berangkat ke Mojowarno.
Langkah pertama yang dilakukan disana adalah menetapkan komunitas komunitas Kristen pribumi disana sebagai jemaat yang ia gembalakan sendiri. Jelesma juga membaptis semua warga Mojowarno, termasuk sang pemimpin yang kemudian bernama Abisai Ditotruno.
Hal lain yang dilakukannya adalah pemisahan kekuasaan sosial-religius. Ditotruno tetap sebagai kepala desa sedangkan tanggung jawab atas persekutuan jemaat diserahkan pada Paulus Tosari sebagai guru Injil.
Pada tahun itu juga,  Jellesma mendirikan Kweekschool, salah satu jenjang pendidikan resmi untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda dengan pengantar Bahasa Belanda pada 1850. Namun delapan tahun kemudian sekolah tersebut terpaksa ditutup dan baru dibuka kembali pada 1900.
Bagian penting yang digarap Jellesma adalah membentuk sekaligus mengkonsolidasi jemaat-jemaat Kristen Jawa yang letaknya berjauhan. Untuk itu, ia kerap berbagi tugas dengan Paulus Tosari karena sering bepergian untuk mengunjungi ke berbagai wilayah di Jawa Timur.
Tahun 1858 pendeta Jellesma wafat di usia 41 tahun. Pimpinan gereja Mojowarno pun diserahkan pada Tosari. Selama karir pelayanannya di Mojowarno, Jellesma telah membaptis 2.500 orang Jawa, mendirikan sekolah, menerbitkan buku-buku rohani dari cerita Alkitab, mengumpulkan satu bundel nyanyian rohani dan mendirikan denominasi Gereja Kristen Jawa Wetan.
Jellesma telah mempersatukan kedua aliran kekristenan yang masih muda itu di pulau Jawa, yaitu aliran Barat dan aliran Jawa asli. Aliran Barat menghambat perkembangan Gereja sehingga Gereja menjadi lemah, sedangkan aliran Jawa bertumbuh dengan liarnya sehingga lenyaplah kekristenannya yang sejati. Sebenarnya Jellesma telah meletakkan dasar yang baik bagi Gereja Kristen serta Gereja Jawa yang sejati.
Atas usahanya pula, dibukalah di Mojowarno sebuah sekolah penginjil yang pertama di Jawa. Mereka yang sudah memperoleh didikan ditugaskan untuk memelihara jemaat-jemaat yang masih muda, serta mengadakan kunjungan sampai ke Jawa Utara dan Jawa Tengah guna menyebarkan Injil Kristus. Tidaklah sedikit manfaat daripada usaha-usaha mereka bagi Gereja Jawa yang masih amat muda itu.

Sinar yang Kian Benderang
Sebagai pusat pengembangan Kristen Jawa, gereja Mojowarno bergerak semakin maju. Gedung gereja dengan arsitektur Eropa nan megah pun dibangun dan diresmikan pada 3 Maret 1881.
NZG juga mendirikan rumah sakit pada 6 Juni 1894 yang diberinama Zendings Ziekenhuis te Mojowarno sebagai bagian penting yang dihasilkan oleh badan misi pekabaran injil ini.
Semenjak itu, orang Kristen Jawa dari kelas wong cilik dapat mengenal pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam pengertian Barat modern. Keberadaan dukun modern (para dokter dan mantri) dengan obat-obatan yang modern pula, mulai menggantikan kebiasaan penduduk di desa-desa Kristen untuk pergi ke tabib tradisional.
Dengan begitu, sedikit demi sedikit kepercayaan masyarakat Jawa terhadap keberadaan para roh gaib – yang dianggap sebagai sumber dari penyakit yang mereka derita – dan takhayul, juga mulai berkurang.
Sementara itu dalam hal keagamaan, kekristenan Jawa di Mojowarno ini berbeda dengan kekristenan ala Coolen yang dikembangkan di Ngoro. Pola-pola kekristenan Barat lebih mewarnai persekutuaan ini.
Pdt. Brumund, seorang pendeta GPI Surabaya yang bertugas antara tahun 1840-1863 mengatakan bahwa, “Kehidupan gerejani jemaat Mojowarno sepenuhnya mengikuti model Barat. Ia melukiskan kebaktian di gereja dan memperlihatkan bahwa kebaktian gereja Nederland ditiru tanpa perbedaan sedikit jugapun”.
Di masa kemerdekaan, gereja ini juga menjadi saksi sejarah namun tetap berada pada trek kemajuan. Dewasa ini jumlah jemaatnya sudah mencapai 3 ribu orang. Dengan sejarah yang begitu panjang, tak heran umat Kristen di beberapa desa wilayah Mojowarno menjadi mayoritas.
Di Mojoroto dan Mojodukuh, 90% penduduknya adalah Kristen. Sedangkan 60 persen penduduk Mojowangi juga Kristen. Sedangkan di desa Mojowarno sendiri yang Kristen sekitar 40 persen dari jumlah total warga.
Angka terendah dalam sejarah perkembangan GKJW Jemaat Mojowarno adalah saat terjadi perang bumi hangus antara Belanda dan Jepang. Perang membuat banyak warga yang meninggal, luka-luka dan sebagian ada yang mengungsi ke tempat yang lebih aman sehingga gereja mulai surut anggotanya. Sedangkan angka tertingggi dalam sejarah perkembangan GKJW Jemaat Mojowarno adalah ketika pemerintah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan warganya beragama hal ini sebagai akibat dari dilarangnya partai komunis tumbuh di Indonesia. Warga mulai berbondong-bondong masuk kedalam gereja untuk menerima sakramen baptis, sehingga terjadi peningkatan anggota yang cukup banyak.* (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar