Jumat, 04 November 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (VII)


Kemerdekaan Ala Kiai Sadrach
Ditulis ulang oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Radin Abbas terperangah. Ia sama sekali tak menyangka gurunya, Pak Kurmen, telah menjadi penganut agamanya wong londo, Kristen. Padahal sebelumnya, lelaki yang tinggal di Semarang itu adalah orang yang mengajarinya membaca Al Quran serta ngelmu Jawa.
Berjuta pertanyaan bergelayut di kepalanya. Dan untuk menuntaskan rasa penasaran itu Pak Kurmen memperkenalkannya dengan Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, penginjil Jawa yang mengkristenkannya.
Dalam buku Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya, Soetarman Soediman Partonadi menuliskan, Radin Abas langsung tertarik pada Kristen lantaran terkesan oleh Tunggul Wulung yang mengatakan orang Kristen Jawa tak harus meninggalkan adat Jawa.
Tunggul Wulung menegaskan keyakinannya bahwa orang Kristen Jawa hendaknya tetap menjadi orang Jawa dengan menyatakan bahwa mereka harus mencari seorang Kristus bagi mereka sendiri.
Pada 1866, ditemani Tunggul Wulung, Radin pergi ke Batavia untuk menemui Mr F.L. Anthing, pekabar injil pertama di Jawa Barat yang kemudian pindah ke Batavia. Anthing menyambutnya dengan hangat dan menerimanya sebagai pembantu.
Disinilah Radin dibaptis oleh Rev. Ader, pendeta De Protestantsche Kerk in Nederlansche-Indie atau Indische Kerk (sekarang Gereja Protestan Indonesia) dan menerima nama baptis: Sadrach.
Setelah ‘nyantri’ beberapa tahun, Sadrach alias Radin Abas kembali ke Jawa Tengah bagian utara. Pada 1868, dia bergabung dengan Tunggul Wulung dan Pak Kurmen untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo, juga di beberapa daerah di Jawa Timur.
Setelah itu Sadrach melanjutkan sendiri gerakan penginjilan ke Tuksanga, Purwareja selama kurang lebih satu tahun sebelum pindah ke Karangjasa, distric Bagelen-Purworejo. Di sinilah popularitasnya merangkak naik.
Jan S. Aritonang dalam Buku Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia menuliskan, Sadrach mengadopsi metode yang dikembangkan Tunggul Wulung dalam menginjil, yakni dengan cara berdiskusi dan berdebat, seringkali berhari-hari, siang-malam, secara terbuka di depan umum.
Hasilnya, iapun berhasil membuat sejumlah kiai sekaligus dengan satri-santrinya mau menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya. Semakin lama barisan orang-orang Jawa yang bertobat pun semakin banyak.
Karangjasa pun berubah menjadi tempat berkumpul orang-orang Kristen dari berbagai daerah. Jemaatnya meningkat pesat; mencapai hampir 2.500 hanya dalam waktu tiga tahun (1870-1873) saja. Selama masa itu, lima gereja didirikan di Karangsaja, Banjur, Karangpucung, Kedungpring, dan Karangjambu.
”Sadrach membangun agama Kristen Jawa yang tetap dekat sekali dengan bentuk-bentuk keagamaan yang dikenal di dalam Islam dan ngelmu. Gedung gereja disebut masjid dan dibangun dengan bentuk masjid di halaman rumah pendeta. Pendeta dijuluki imam dan sebelum kebaktian dimulai sebuah bedug dipukul. Sesudah acara pembaptisan diadakan slametan,” ujar Alle. G. Hoekema, sebagaimana dikutip Aritonang.
Tak hanya itu, Sadrach juga memimpin kebaktian dalam bahasa Jawa sehingga mudah dimengerti oleh jemaat. Cara duduk ketika beribadah adalah duduk bersila dan para jemaat Sadrach harus menyentuh dan mencium kaki Sadrach, seperti ketertundukan para murid terhadap Yesus.
Ia pun coba mengalihkan pandangan mistis masyarakat Jawa terhadap keris ke nilai-nilai ke-Kristenan. Keris dijadikannya simbol identifikasi Kristus (keris yang meneteskan darahnya seperti darah Yesus yang menetes dari paku salib).
Sadrach menduduki tempat teratas diantara guru-guru Jawa dengan sebutan khusus kiai. Dan sesuai tradisi Jawa, iapun menambahkan kata Surapranata di belakang nama baptisnya untuk menunjukkan posisi barunya. Maka ia pun dipanggil dengan sebutan Kiai Sadrach Surapranata.
Kenyataan ini justru memukul lembaga pengabaran Injil dari Belanda, Zending der Gereformeerde Kerken in Nederland (ZGKN), yang juga menjadikan Karangjasa sebagai lokasi pekabaran Injilnya. Pasalnya, meski telah bergerak lebih dari dua puluh tahun, namun jumlah orang Jawa yang berhasil di-Kristen-kan masih berada di kisaran puluhan orang saja.

Bibit Perseteruan
Ketegasannya dalam mempertahankan budaya Jawa dalam kahidupan iman komunitas Sadrach itu tak pelak telah membuatnya bertentangan dengan sebagian besar misionaris eropa di Jawa yang bersikap antipasti terhadap budaya jawa.
Partonadi dalam bukunya tentang komunitas Sadrach telah menguraikan masalah ini secara luas. Dia berpendapat bahwa walaupun sebenarnya konflik itu sendiri berakar pada kecemburuan para misionaris terhadap kesuksesan kyai Sadrach dalam mentobatkan orang jawa dan mendirikan jemaat.
Disamping itu, keputusan Sadrach untuk tetap memasukkan unsur budaya Jawa dalam komunitasnya telah menjadi amunisi ampuh bagi para zending Belanda untuk menyerang kemurnian iman Kristen kiai Sadrach.
Para zending Belanda itu menuduh Sadrach sebagai pemimpin orang Jawa sesat dan menganggap ajarannya sebagai campuran antara pemikiran Kristen dan bukan Kristen. Jemaatnya dianggap orang-orang Kristen palsu atau jemaat Islam yang berpakaian Kristen.
Tak hanya itu, pemerintah kolonial Belanda juga menganggap Sadrach sebagai opinion leader yang punya punya potensi besar menggerakkan umatnya untuk mengancam stabilitas, ketentraman, dan ketertiban umum.
W. Ligtvoet, residen Bagelan, mencari cara untuk menyingkirkan Sadrach. Pengurus NGZV, Bieger, mengemban misi besar itu. Berkali-kali Bieger meminta Sadrach agar mempercayakan jemaatnya kepadanya. Namun permintaan itu ditolak menatah-mentah.
Karena Bieger gagal, Ligtvoet turun tangan dengan menahan Sadrach selama tiga minggu lalu menjadikannya tahanan rumah selama tiga bulan. Alasannya, Sadrach menolak vaksinasi cacar, yang saat itu lagi mewabah.
Tapi lantaran tak cukup bukti untuk mengajukannya ke pengadilan, Sadrach dibebaskan dengan keputusan Gubernur Jenderal pada 1 Juli 1882. “Takut para jemaatnya ngamuk,” tulis M. Alie Humaedi dalam Keresahan Sosial dalam Isu Kristenisasi ataukah Islamisasi.
Setelah bebas, Sadrach kembali ke Karangjasa. Pamor dan wibawanya tak tergoyahkan. Bahkan ia sengaja pergi ke Purworejo untuk meminta Wilhelm, pekabar Injil yang bersahabat dengannya saat menjadi tahanan rumah, menjadi pendeta jemaatnya.
Pada 17 April 1883, Sadrach dan para sesepuh setempat serta Wilhelm secara resmi menamakan komunitasnya sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardika (kelompok orang Kristen yang merdeka). Hingga 1890, jemaat Kiai Sadrach diperkirakan mencapai 7 ribu orang yang tersebar di seluruh karesidenan di Jawa Tengah.
Selanjutnya sejak 1894 dia beralih ke Gereja Kerasulan, yang berpusat di Jawa Barat, dan diangkat menjadi rasul; jabatan yang dia pegang hingga meninggal pada 14 November 1924. Saat itu jumlah jemaatnya sudah menggelembung hingga 20 ribu orang.
Menurut Alie, perkembangan jemaah Sadrach hanya mampu bertahan kisaran tahun 1939, karena masuknya kekuasaan gereja ZGKN dan didirikannya Gereja Kristen Jawa, hingga memupus habis gereja Kerasulan ala Sadrach. Mereka dipaksa mengakui prinsip-prinsip dasar Gereja Kristen Jawa.
Selain di Karangjasa, Gereja Kerasulan yang masih bertahan hanyalah di wilayah Desa Kasimpar Petungkriono Pekalongan Jawa Tengah (sampai tahun 1985), yang pendiri dan majelisnya merupakan generasi langsung dari murid Sadrach.*(bersambung)

1 komentar:

  1. Saya berikan koreksi agaknya kekuasaan zending dan gkj bukan memupus habis kekristenan sadrach. Pelru diketahui sesudah sadrach wafat penerusnya yotham mengalami kebimbangan dan melakukan rapat dan menghasilkan keputusan bahwa jemat sadrach terbagi menjadi 3 kerasulan, bergabung dengan zending, dan netral. Nmaun kelompok netral pimpinan widjajasastra inipun akhirnya bergabung dengan zending. Jadi tidak ada paksaan semua dihasilkan dari keputusan dari pihak zending dan GKJ sekalipun tidak pernah melakukan pemaksaan. Perlulah melihat sejarah secara obyektif bukan seperti narasi diatas yang seolah ol;ah menyudutkan zending dan GKJ. Terima kasih

    BalasHapus