Jumat, 04 November 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (VIII)


Dirikan Pilar Pendidikan dan Sosial
Ditulis ulang oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Memasuki awal abad ke-20, strategi penginjilan di Jawa mulai berpindah haluan. Tak lagi secara langsung namun melalui pendirian lembaga-lembaga pelayanan masyarakat seperti sekolah, rumah sakit, rumah yatim piatu, dan beberapa kegiatan sosial lainnya.
Manuver di sektor bidang pendidikan dan sosial itu ternyata terbukti lebih bisa diterima dan sanggup memikat hati orang-orang Jawa di masa itu untuk mengenal pribadi, kasih dan karunia Kristus.
Strategi ini disebut pre-evangelisation, yaitu suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya mau menerima ajaran ke-Kristen-an. Meski membutuhkan biaya yang relatif lebih besar dan waktu yang lebih lama, Kristenisasi lewat pendidikan ini terbukti lebih berhasil ketimbang sebelumnya.
Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan, Jawa Tengah. Ia mendirikan sekolah dan bangunan gereja di desa kecil bernama Semampir. Mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906.
Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi, mereka semua tamat sebagai penganut Katolik. Beberapa dari kelompok siswa angkatan pertama bahkan melanjutkan studi mereka untuk menjadi pastor.
Teman van Lith, Hoevenaars, juga menempuh cara serupa. Dia membangun berbagai sekolah di Mendut dan mengumpulkan para murid yang masih belia. Semua guru sekolah tersebut beragama Katolik, namun para muridnya seluruhnya berasal dari keluarga-keluarga Muslim.
Para alumnus sekolah-sekolah Muntilan dan Mendut itu kebanyakan menjadi guru pada jejaring sekolah-sekolah dasar Katolik yang dikembangkan dengan cepat di berbagai kota dan kampung di Jawa.
Para guru itu kemudian berupaya menghasilkan jemaat-jemaat Katolik baru. Dengan demikian, sekolah yang dibangun oleh Frans van Lith maupun Hoevenaars adalah sekolah kader.
Sebuah ungkapan penting dari Frans van Lith:
“Tujuan kita adalah memberi pendidikan yang tinggi kepada pemuda-pemuda Jawa sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik dalam masyarakat. Kepada mereka kita memberikan pendidikan Kristiani, dan bila mereka nanti tersebar di seluruh Pulau Jawa, kita akan menanti tumbuh dan mekarnya benih-benih yang kita sebar.”
Untuk mendapatkan dukungan pemerintah Belanda, Pastor van Lith harus pergi ke Bogor menemui Gubernur Jenderal  van Idenburg.  Kerja kerasnya berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda.
Lulusan sekolah ini juga diberi hak yang sama dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat pada umumnya, saat itu merupakan suatu yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah milik pemerintahan penjajah Belanda. 
Buku “van Lith” menceritakan bahwa sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka datang dengan satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik.”
Van Lith memang sangat menekankan pentingnya misi penyebaran injil melalui pilar pendidikan. Bahkan, ia berpendapat,  masa depan Gereja di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan.”
Dan salah satu siswanya yang kemudian namanya tercatat dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa adalah Albertus Soegijapranata SJ, Uskup pribumi pertama di Indonesia yang ditahbiskan oleh Paus Pius XII pada 4 Agustus 1940.

Strategi budaya
Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya lokal. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam akivitas belajar mengajar disamping bahasa Belanda.
Van Lith sendiri disebut-sebut sebagai tokoh pendorong kebangkitan nasionalis Jawa Katolik. Ia dikenal sangat fasih menggunakan bahasa Jawa halus dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan priyayi-priyayi Jawa yang berpengaruh di Keraton Jogja dan Pakualaman.
Romo Van Lith, begitu ia biasa dipanggil, juga menjadi pendukung kemerdekaan bangsa Indonesia dari Belanda sehingga bisa menduduki tempat terhormat diantara bangsa-bangsa lain di dunia.
Kebijakan dan teladan ini membuat gerakan penginjilan di Jawa, terutama Jawa Tengah melaju cepat. Karel Steenbrink, seorang penginjil muda dari ordo Jesuit mengatakan, ”Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana pastor pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”
Wilayah pelayanan pun kian diperluas ke daerah sekitarnya. Diantaranya ke Salatiga dan Ungaran.
Sebuah sekolah guru kembali didirikan di kawasan Tingkir – Ambarawa pada 1908.  Dan di tahun 1930, sekolah Sabda Mulya’ dibuka di Ungaran untuk menelurkan guru-guru Injil.
Ke sisi barat, layar dikembangkan menuju daerah Kendal, Pekalongan hingga Tegal. Sedangkan ke arah Timur pekabaran Injil menyasar kawasan Purwodadi, Blora dan Bojonegoro. Sedangkan ke Selatan, nama Tuhan diperdengarkan hingga ke batas pantai Gunung Kidul dan Cilacap.
Ladang yang sangat luas ini digarap oleh enam lembaga misionaris baik dari Belanda dan juga Inggris. Namun kontribusi terbesar justru hadir dari para penginjil lokal, yakni para jemaat yang dikembangkan oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan juga Kiai Sadrach.
Rintangan terbesar yang dihadapi para penginjil saat itu adalah otoritas penguasa setempat. Pemerintah Kolonial Belanda secara tegas mencegah lembaga-lembaga Pekabaran Injil untuk memberitakan firman Tuhan di pulau Jawa.
Tujuannya agar jangan sampai timbul kerusuhan akibatnya banyaknya orang-orang Jawa yang menjadi pengikut Kristus. Pasalnya hal itu justru akan menjadi isu sensitif yang dikhawatirkan akan memicu perlawanan para priyayi dan ulama terhadap pemerintah kolonial.
Sementara itu, para pemimpin pribumi yakni para lurah dan bupati terus berupaya merintangi terbentuknya komunitas-komunitas Kristen. Sebab para penganut Kristen itu tidak lagi bersedia datang pada penghulu yang resmi untuk meneguhkan pernikahan mereka. Ini berarti berkurangnya pemasukan ke dalam kas desa dan sebagainya.  
Karena itu orang-orang Jawa Kristen tersebut lebih suka bedol deso dan mendirikan pemukiman-pemukiman baru yang eksklusif supaya dapat menghindari gangguan dari para bupati dan lurah itu.
Fakta menunjukkan, semakin dihambat gerakan pekabaran Injil di tanah Jawa justru semakin merambat. Semakin hari kian bertambah jumlah orang-orang Jawa yang menerima Tuhan Yesus dan dibaptis.
Sebagian besar diantara mereka adalah orang-orang awam dari kelompok abangan atau kejawen. Sedangkan para santri dan priyayi yang bertobat biasanya akan menjadi pemimpin di komunitas orang Jawa Kristen ini.
Pada 1925 musik Jawa pertama kali masuk dalam gereja-gereja sebagai lagu ibadah. Perintis masuknya lagu gereja dengan gamelan Jawa tersebut adalah C.Hardjosoebrata, dengan karangannya antara lain: Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis dan O Kawula Punika.*(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar