Jumat, 04 November 2016

KEKRISTENAN DI JAWA (VI)


Penginjil itu bernama Kiai Ibrahim Tunggul Wulung
Oleh Jaludieko Pramono

Seorang pria jawa datang ke Mojowarno di sekitar tahun 1853. J.D. Wolterbeek dalam bukunya yang berjudul Babad Zending ing Tanah Jawi menggambarkan lelaki sebagai sosok yang tampan. Berhidung mancung dengan sorot mata yang tajam seakan bisa melihat isi hati orang yang dihadapinya. Tubuhnya tinggi ramping namun kuat dan pemberani.
Pada J.E. Jellesma, gembala sidang jemaat di Mojowarno pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Kiai Tunggul Wulung. Ia mengaku sebagai pertapa yang baru turun dari Gunung Lawu.
Namun Wolterbeek menyebut asal-usul Tunggul Wulung sangatlah buram lantaran sangat lekatnya antara fakta dan mitos yang menyelimutinya sebagai orang yang memiliki kemampuan olah batin.

Menurut tradisi lisan yang beredar di sekitar Muria, Kiai Tunggul Wulung adalah anak seorang selir Raden Ngabehi Atmasudirdja (Bupati Pulisi Pura Mangkunegaran) yang dilahirkan kira-kira pada tahun 1800 dengan nama asli Raden Tandakusuma.
Ia kemudian menjadi seorang demang di kawasan Kediri dengan nama Raden Demang Padmadirdja tetapi karena keterlibatannya dengan Perang Diponegoro 1825-1830, maka ia menyembunyikan diri dan menjadi rakyat jelata di kawasan Juwono, Kediri. Sedang sumber lain menyebutkan nama aslinya Abdullah.
Mengenai hal tersebut A.G. Hoekema menyatakan bahwa sikap Kiai Tunggul Wulung yang sering membangkang terhadap orang Belanda menunjukkan bahwa kemungkinan ia berasal dari golongan bangsawan atau priyayi.
Oleh sebab itu, pernyataan Kiai Ngabdullah mengenai pekerjaannya sebagai petani, seperti yang tercatat di dalam laporan-laporan Residen Jepara, mungkin saja sengaja dibuat dengan maksud untuk menyembunyikan identitas aslinya sebagai pengikut Diponegoro.
Jellesma pun menerima Tunggul Wulung sebagai tamu yang dihormatinya. Apalagi kiai Jawa itu mengatakan ingin mempelajari Kekristenan. Hal itu membuat Jellesma heran, lalu ia pun bertanya sebab musabab keinginannya.
Maka dikisahkannya, ia menemukan sepotong kertas yang bertuliskan Sepuluh Hukum Allah saat bertapa di Gunung Lawu. Tunggul Wulung mengaku mendapat wahyu dari Tuhan yang mengatakan bahwa ia harus menaati hukum ini dan disarankan meminta penjelasan tentang agama yang sejati kepada orang-orang yang tinggal di Sidoarjo dan Mojowarno.
Jellesma pun memutuskan untuk menerima Kiai Tunggul Wulung dan istrinya, Nyai Endang Sampurnawati. Keduanya tinggal di Mojowarno dan belajar kekristenan serta baca-tulis dari Jellesma. Dua tahun kemudian dia pun dibaptis oleh Jellesma dan diberi tambahan nama Ibrahim.

Menabur Benih di Tanah Jawa
Selanjutnya Kiai Tunggul Wulung mulai melakukan pekabaran Injil ke kawasan Malang. Dimulai di desa Pelar dan melanjutkan pekabaran Injilnya ke Dimoro (Kepanjen), Jenggrik (Malang) dan di Jungo (Pandaan). Di wilayah-wilayah itulah Kiai Tunggul Wulung mendirikan komunitas-komunitas Kristen.
Metode pekabaran Injil yang dilakukan oleh Tunggul Wulung adalah melalui jejagongan (cerita-cerita sambil melepas lelah seusai bekerja) sehingga orang-orang Jawa lebih mudah mengerti daripada harus mendengarkan pidato atau ceramah seperti yang dilakukan para penginjil Eropa.
Selain itu, cara lain yang dilakukan oleh Tunggul Wulung adalah melalui debat ngelmu. Sifat orang Jawa pada waktu itu, cenderung akan mengikuti orang yang mampu mengalahkan ilmu yang dimilikinya.
Beberapa waktu kemudian, Kiai Tunggul Wulung menerima tawaran Sem Sampir (murid Jellesma yang diperbantukan kepada Pieter Jansz di Jepara sebagai pembantu penginjil pribumi) untuk membantunya melakukan pekabaran Injil di wilayah Jepara-Jawa Tengah.
Bersama Sem Sampir, Tunggul Wulung justru melakukan penginjilan di daerah Kabupaten Juwono, serta di Margotuhu Klitheh dan Ngluwang (sebelah utara Tayu). Aksi tersebut membuat geger para penguasa kolonial karena ternyata ada seorang Jawa yang menjadi Kristen, menerima pelajaran agama Kristen dan memberitakan Injil diantara orang pribumi.
Keadaan tersebut membuka mata para pemerintah kolonial mengenai adanya kekristenan Jawa yang berada di luar utusan-utusan Injil Eropa dan dilakukan secara bebas tanpa terbatasi oleh wilayah tertentu seperti yang berlaku bagi para utusan Injil Eropa.
Jemaat-jemaat yang didirikan oleh orang-orang awam dan penginjil Jawa bersifat integratif. Sekalipun mereka dibaptiskan oleh pendeta dari kelompok lain, mereka membentuk jemaat Jawa yang terpisah.
Mereka mendorong orang-orang Jawa untuk tetap menjadi bagian dari budaya dan masyarakat mereka, oleh sebab itu jemaat ini dapat tumbuh secara pesat. Jemaat ini pulalah yang dikembangkan oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung di kawasan Gunung Muria.
Di kawasan Muria, Ibrahim Tunggul Wulung berhasil membujuk dan mempengaruhi pengikut-pengikutnya dari berbagai tempat seperti Kayuapu, Bangsal, Ngalapan, Margotuhu dan tempat-tempat lain termasuk pengikut zendeling Peter Jansz di sekitar Jepara.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung beserta pengikut-pengikutnya mulai membangun desa-desa Kristen, mula-mula di kawasan angker yang diberi nama Ujungjati kemudian bergeser ke arah selatan termasuk kawasan angker tempat tinggal Mbah Suto Bodo yang adalah tokoh mistik penguasa dunia roh di kawasan pesisir antara Jepara dan Tayu.
Pada tahun 1857 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga melakukan kunjungan penginjilan ke berbagai tempat, antara lain ke kawasan Banyumas dan Bagelen untuk melihat hasil pekerjaan Ny. Van Oostrom Phillip dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menjadi motivator dan pemberi semangat kepada Ny. Van Oostrom Phillip di Banyumas dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens di Ambal agar tidak ragu untuk melakukan pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri tidak memusatkan penginjilannya di daerah Banyumas ataupun Bagelen tetapi lebih memusatkan perhatiannya untuk membangun desa-desa Kristen di Bondo Kabupaten Jepara, desa Kristen Banyutowo dan desa Kristen Tegalombo di Kabupaten Juwono.
Guillot mencatat bahwa pengikut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri berjumlah 1.058 orang dan jumlah tersebut melebihi hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zendeling di kawasan yang sama dan dalam waktu yang sama.

Membumikan Kekristenan
Latar belakang Kiai Tunggul Wulung sebagai seorang petapa dan pencari ngelmu telah membuat ajaran-ajarannya mengenai kekristenan menjadi sangat khas "Kristen Jawa" versi Tunggul Wulung.
Menurut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung, Ratu Adil yang selama ini diharap-harapkan kedatangannya oleh orang Jawa tidak lain adalah Kanjeng Nabi Isa Rohullah. Yesus Kristus menurutnya akan datang untuk kedua kalinya untuk memerintah kerajaannya sebagai Ratu Adil dalam Kerajaan Seribu Tahun-Nya.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung memandang bahwa orang Kristen Jawa haruslah tetap Jawa dan tidak perlu menjadi seorang Belanda ataupun menjadi pengikut utusan Injil Eropa.
Oleh sebab itu, Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menyatakan bahwa lelagon (nyanyian), tata panembah (upacara), cara panganggo (cara berpakaian), nanggap lan nonton wayang (ikut serta dalam pertunjukkan wayang), bahkan rapal dan primbon tidaklah perlu ditinggalkan.
Kiai Ibrahim Tunggul Wulung juga menyebut tempat ibadahnya sebagai masjid dan menciptakan rapal baru yang bercorak Kristen.[1] Rapal tersebut berbunyi demikian:
Bapa Allah, Putra Allah, Roh Suci Allah
Telu-telune tunggal dadi sawiji
Lemah sangar kayu angker
Upas racun pada tawa
Idi Gusti manggih slamet salaminya

Artinya:
Allah Bapa, Allah Putera, Allah Roh Suci
Ketiganya menjadi satu
Kawasan yang berbahaya, pohon yang jahat
Segala racun bisa akan menjadi tawar
Berkat rahmat Tuhan menemukan keselamatan selamanya

Tunggul Wulung juga melakukan pemribumian terhadap tata cara yang berkaitan dengan ritual pengakuan dosa dan dikembangkannya di jemaat Banyutowo. Menurutnya, seseorang yang mengaku dosa harus melakukannya secara langsung di depan jemaat.
Dan untuk menyambut kembalinya domba yang tersesat tersebut diselenggarakanlah pesta ucapan syukur berupa pesta kupat-lepet (ketupat dan lepet) yang selaras jika dikaitkan dengan ngaku lepat (pengakuan bersalah) dalam upacara pengakuan dosa tersebut.
Injil keselamatan bagi Tunggul Wulung merupakan suatu konsep tentang pelepasan dan bukan penebusan seperti yang didengung-dengungkan oleh para pekabar Injil Eropa.
Bagi masyarakat Jawa pada saat itu, yang menakutkan hidupnya bukanlah penghukuman dari Tuhan akibat dosa-dosa manusia melainkan pelepasan dari ketakutan terhadap kuasa jahat yang kemudian diperluas sebagai pelepasan dari kerja paksa dan perbudakan oleh bangsa asing. Pelepasan tersebut telah terjadi melalui Yesus Kristus, oleh sebab itu berserah kepada Allah berarti terlepas dari kuasa jahat dan segala jenis perbudakan.* (bersambung)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar