Kamis, 08 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 6)


Pahitnya Gula Lantaran Cultuurstelsel
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber



Jejak langkah pergulaan di Jawa, termasuk di Sidoarjo sangat erat kaitannya dengan sistem cultuurstelsel atau tanam paksa, yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Kebijakan tersebut diberlakukan sebagai upaya menutup defisit kronis perekonomian Kerajaan Belanda yang memburuk setelah berakhirnya perang melawan Perancis  di Waterloo, 15 km arah Selatan dari ibukota Belgia, Brussel pada 18 Juni 1815.  
Kekalahan Napoleon Bonaparte itu mengakhir kekuasaan dan karier militernya. Bahkan ia harus diasingkan ke pulau St. Helena hingga meninggal dunia sebagai orang buangan pada 5 Mei 1821.
Selain masalah itu, Pemerintah Kolonial Belanda juga harus menguras pundi-pundi hartanya untuk membiayai perang besar melawan Pangeran Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830. Keuangan mereka juga semakin kering akibat bertempur melawan Belgia di awal tahun 1830.
Bukan hanya keuangan Kerajaan, bahkan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang saat itu di bawah kendali Gubernur Jenderal Van der Capellen harus menanggung hutang sebesar 20 juta gulden pada firma Palmer and Co.
          Pada 13 Agustus 1830, Bosch setuju untuk menanam tebu dan nila secara massal di karesidenan-karesidenan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dianggap lebih menguntungkan ketimbang daerah lainnya.
Penggagas Cuulturstelsel,
Johannes Graaf Van Den Bosch
dalam lukisan karya Raden Saleh. 
Di kedua daerah itu, termasuk Sidoarjo pemerintah kolonial Belanda mewajibkan seluruh lahan pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor, yakni kopi, tebu dan nila.
Padahal konsep dasar sistem itu sendiri hanya mewajibkan setiap pemilik lahan menyerahkan 20% dari luasan tanah kebun atau sawahnya pada pemerintah kolonial Belanda untuk ditanami komoditas-komoditas yang laku di pasar internasional seperti tebu, nila, kopi, teh dan tembakau.
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan secara sepihak dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penyimpangan lain dari konsep dasar kebijakan tanam paksa ini adalah tanah yang sudah diserahkan pada pemerintah kolonial dibebaskan dari beban pajak. Namun faktanya pemilik-pemilik lahan tersebut tetap diwajibkan membayar pajak tanah.
Bagi penduduk desa yang tidak memiliki tanah diwajibkan mengganti beban pajak yang harus mereka bayar dengan menjadi pekerja paksa selama setahun penuh di perkebunan-perkebunan milik pemerintah, padahal aturannya hanya 66 hari atau 15% dari jumlah hari selama setahun.
Di masa itu para pria dari keluarga-keluarga miskin di seluruh tanah Jawa, termasuk Sidoarjo, dikirim ke berbagai areal perkebunan yang jauh dari kampung halaman mereka. Disana mereka harus bekerja sangat keras tanpa dibayar sepeserpun ditambah perilaku represif dari para mandor-mandor perkebunan.

Rakyat yang tak punya lahan diwajibkan kerja paksa
membangun sarana dan prasarana transportasi
serti jalan dan rel kereta api untuk kepentingan
pemerintah kolonial Belanda
Banyak diantara mereka yang sakit bahkan harus meregang nyawa. Sementara yang lain memilih untuk menjadi pelarian dengan resiko dipenjara dan mendapat siksaan yang lebih kejam saat tertangkap. Tak banyak diantara mereka yang bisa kembali ke rumah dan keluarganya. Sebagian besar dari mereka lenyap begitu saja tanpa ada keterangan apapun.
Tidak hanya secara individual, tetapi kelembagaan desa juga diberi beban yang cukup berat. Mereka dipaksa membayar sewa tanah kepada pemerintah, yang diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan.
Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya.
Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya, namun metode itu sama sekali tak pernah dilakukan.
Sebaliknya, jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain misalnya dengan menyerahkan hewan-hewan ternak seperti kerbau dan sapi yang dipakai dalam proses produksi gula di pabrik-pabrik pemerintah maupun swasta.
Bagi masyarakat, cultuurstelsel merupakan kerja rodi kaum pribumi, perampasan tanah-tanah rakyat untuk perluasan kebun tebu. Ada banyak kisah dramatis dibalik pemberlakuan sistem ini, baik yang nyata terjadi maupun yang menjadi sumber inspirasi karya-karya sastra nasional. Salah satunya adalah Novel Tetralogi karya Pramudya Ananta Toer yang mengambil setting Pabrik Gula Toelangan di tahun 1829.
Namun disisi lain, sistem ini berhasil memakmurkan dan mensejahterakan Kerajaan dan juga pemerintah kolonial Belanda. Butir-butir gula putih kristal dari tanah Jawa yang dijual Pemerintah Kolonial ke pasar internasional mampu mengalirkan keuntungan antara 280.780 sampai 453.656 gulden per tahunnya ke negeri Belanda. Atas jasanya sebagai penggagas cultuurstelsel, Raja Belanda menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada 25 Desember 1839.

Lori tradisional yang membawa hasil panenan dari kebun
menuju pabrik gula. (Foto: koleksi Tropen Museum)
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dari para politikus golongan Liberal yang dikomandoi Baron W.R. van Hoevell melalui Tweede Kamer atau Majelis Rendah Negeri Belanda.
Sebenarnya mereka juga tidak sepenuhnya menentang kebijakan tersebut karena telah ikut merasakan dampak positifnya. Namun mereka menekankan pentingnya memberikan kompensasi-kompensasi tertentu bagi masyarakat Jawa yang telah menolong mereka keluar dari krisis keuangan yang parah. Misalnya dengan memberikan akses pendidikan dan sarana kesehatan bagi kaum bumiputera.
Konsep politik etis yang diwacanakan itupun sebenarnya juga bukan semata-mata menyasar orang-orang Hindia Belanda namun lebih pada kepentingan mereka sendiri. Dimana dengan mencetak tenaga lokal yang terdidik, mereka tidak perlu sampai mendatangkan orang-orang Belanda ke Indonesia untuk bidang-bidang pekerjaan yang dianggap sepele. Misalnya tenaga administrasi ringan untuk pabrik dan kantor pemerintahan atau tenaga pendukung di bidang medis.
Setelah berupaya sejak tahun 1848, sistem cultuurstelsel akhirnya benar-benar dihentikan dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.
Pabrik tebu yang memperkaya Pemerintah Kolonial Belanda,
namun memiskinkan rakyat Indonesia.
(Foto: Koleksi Troppen Museum)
Menurut sejarawan Merle Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), melalui cuulturestetsel pemerintah kolonial ikut serta meningkatkan produksi gula dengan ujicoba membudidayakan tebu yang tahan hama. Areal penanaman tebu makin bertambah luas dan teknologi industri gula juga semakin maju.
Lima belas tahun setelah tanam paksa berakhir, tepatnya pada 1885, produksi gula mencapai 380 Juta ton. Sepuluh tahun setelahnya lagi, pada 1895, sudah mencapai 581,6 juta ton. Saat pergantian abad ke 20, produksi gula mencapai 744,3 juta ton.
“Industri gula ini juga meningkat labanya dengan memotong upah dan juga harga sewa tanah kepada petani,” tulis Ricklefs. Ia menyimpulkan, "Para pengusaha industri ini meningkat (kekayaannya), tapi para petani tetap nestapa.” (bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar