Jumat, 09 November 2018

Menapak Jejak Pabrik Gula Sidoarjo (Bagian 7)


Kemarahan Kaum Tertindas
Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber


Penerapan sistem tanam paksa di Indonesia benar-benar manjur untuk mendongkrak perekonomian kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda di akhir abad ke-19.
Sejak dicanangkan pada 1830 hingga 1834, para petani Indonesia ‘menyetorkan’ uang sebesar 3 juta gulden ke negeri Belanda tiap tahunnya. Setelah itu, tiap tahun 12-18 juta gulden yang dilayarkan ke negeri kincir angin tersebut. Jadi total semua uang yang masuk ke kas negeri Belanda dari Cultuurstelsel adalah 900 juta gulden.
Melalui hasil penjualan gula ke pasar internasional, bangsa imperialis itu bukan saja mampu menutup utang-utangnya, namun juga mendatangkan cadangan devisa yang melimpah ruah.
Sayangnya, industrialisasi gula ternyata belum mampu memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Surplus devisa itu nyaris tidak ada yang digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat Hindia Belanda.
Mereka terus menerus diperas tenaganya oleh keharusan menanam komoditas tertentu dan menyetorkan hasilnya. Sialnya, mereka tetap dibebani untuk membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda.
Sebuah Studi yang dilakukan Anne Booth di Kutoarjo pada 1886 dan 1888 menunjukkan bahwa budidaya padi merosot drastis dari 1885-1899 yang menunjukkan betapa sengsaranya penduduk saat itu.
Penelitian lain yang dilakukan oleh H.G. Heyting, seorang insinyur yang menjabat sebagai kontrolir menunjukkan setiap rumah tangga hanya punya sisa lahan seluas 0,75 hektare sawah, 0,5 ha kebun pekarangan, dan 0,1 ha tegalan. Akibatnya mereka harus hidup dalam kekurangan plus jeratan hutang dari para rentenir.
Bukan hanya itu, keberadaan perkebunan tebu dan pabrik gula yang ‘lapar tanah’ menyebabkan tanah produksi rakyat terampas dan berakibat pada perubahan sosial.
Di sisi lain, sistem tanam paksa ini juga membuat kesuburan lahan pertanian menjadi terganggu, sehingga budidaya padi pun mengalami kemerosotan. Akibatnya timbullah kemiskinan dan kelaparan akut di kalangan wong Jowo, termasuk di Sidoarjo.
Disamping itu rakyat masih dibebani juga dengan pekerjaan rodi, seperti: dipekerjakan di perkebunan, melakukan pekerjaan pembangunan dan pemeliharaan jalan, jembatan, saluran, pembangunan rel kereta api yang menunjang industri dan masih banyak lagi tanpa dibayar.
Tidak itu saja, mereka juga dipaksa untuk melakukan pekerjaan bagi pangreh praja juga pekerjaan untuk desa. Maka lengkap sudah penderitaan yang harus ditanggung oleh rakyat negeri ini selama periode penerapan sistem tanam paksa mulai tahun 1830 sampai 1870.
Rakyat yang sudah puluhan tahun memiliki tanah secara turun temurun itu dipaksa untuk menyerahkan, menjual atau menyewakan tanahnya agar dapat digunakan sebagai lahan penanaman tebu.
Rumah Dinas Kepala Administratur PG. Ketegan, Taman, Sidoarjo
yang mungkin dibangun diatas lahan rampasan milik rakyat
Sebenarnya lahan tersebut tidak hanya digunakan untuk penanaman tebu saja, namun juga untuk kepentingan bangunan pabrik gula, seperti perkantoran, kediaman administrateur, balai pertemuan, gudang-gudang, perumahan pegawai, perbekalan dan masih banyak lagi.
Pengelolaan perkebunan tebu yang telah dikuasai oleh para raja gula itu seringkali tidak menggunakan etika. Ladang-ladang palawija milik penduduk desa yang berdekatan dengan kebun tebu pemerintah maupun konglomerat swasta menjadi rusak karena setiap malam diguyur air dengan dalih menyirami perkebunan tebu.
Hal itu sengaja dilakukan untuk merusak ladang tersebut. Kemarahan para petani pun para ditanggapi dengan ancaman dan intimidasi agar para petani menyerah dan memberikan tanahnya kepada mereka.
Belanda terus melakukan penekanan-penekanan terhadap rakyat dengan memunculkan peraturan baru. Misalnya mereka diiming-imingi akan dibebaskan dari beban pajak jika tanah mereka tersebut dijual atau disewakan pada para pengelola perkebunan tebu sebab pajak tersebut sudah menjadi tanggungan pengelola perkebunan.
Bukan negeri Belanda dan para cukong saja yang bisa menikmati Cultuurstelsel itu. Ada juga kongsi dagang Neederland Haandle Maaschappij yang diberi hak monopoli untuk mengangkut hasil bumi negeri ini dan dibawa ke Eropa dengan kapal- kapal mereka. Belum cukup dengan itu, kongsi dagang ini juga punya hak monopoli atas penjualannya disana hingga membuatnya semakin kaya-raya.
Kondisi inilah yang kemudian memantik api konflik antara penguasa dan rakyat pribumi sebagai kaum pekerja, yaitu para pekerja perkebunan dan buruh pabrik sebagai dampak dari kebijakan pemerintah kolonial. Sebuah kenyataan pahit yang membuahkan pemberontakan rakyat di berbagai tempat di Sidoarjo.
Di kota ini, ratusan tahun lalu telah menjadi satu pusat pergerakan kaum tani dan buruh. Tebu dan gula tak hanya sekedar menjadi komoditas yang menghasilkan kekayaan yang berlimpah, tapi juga pergulatan dan perjuangan yang menumpahkan darah.
Maka tidaklah mengherankan jika penduduk pribumi banyak yang sudah habis kesabarannya. Pada tahun 1833, para petani yang dipaksa bekerja di kebun-kebun tebu yang ada di Pasurun dan Sidokare (Sidoarjo kini) mengadakan pemberontakan hebat.
Namun pemberontakan itu, berhasil ditumpas oleh serdadu-serdadu kompeni yang disewa oleh para tuan besar pemilik Ondeneming (perkebunan) yang tidak lain adalah rakyat Indonesia sendiri, yaitu penduduk Sidokare.
Para serdadu VOC yang direkrut dari orang-orang pribumi
untuk membasmi orang sebangsanya sendiri.
Artinya melalui sistem tanam paksa ini pemerintah kolonial Belanda sengaja menciptakan konflik horizantal diantara warga pribumi. Mereka dihadapkan dalam posisi permusuhan, diadu satu dengan lainnya yang ujung-ujungnya demi kepentingan perutnya masing-masing. 
Yang paling terkenal adalah jihad di Gedangan yang dipimpin oleh Kiai Hasan Mukmin. Sebab-sebab pemberontakan berakar dari gerakan agama yang berbasis masyarakat tani. Karenanya tipikal gerakan itu menjadikan permasalahan petani sebagai isu sentral.
Gerakan ini mengalami radikalisasi ketika Belanda memaksakan peraturan yang ketat mengenai efektifitas produksi pertanian. Peraturan itu adalah penanaman paksa palawija yang berupa jagung dan ubi kayu. Selain itu juga dipaksakannya pemakaian weluku (bajak) model Hindu.
Sementara di industri gula, Belanda menentukan secara sepihak harga sewa tanah sawah untuk ditanami tebu. Belanda juga memaksa petani menjadi tanaga kerja di pabrik-pabrik gula pada waktu masa giling. Semetara kebutuhan utama petani, irigasi, berjalan dengan pembagian yang buruk.
Setiap habis shalat Magrib, anggota tarekat selalu mengadakan pertemuan di rumah Kiai Hasan Mukmin. Pertemuan-pertemuan ini membahas tentang peraturan Belanda yang dirasa sangat memberatkan bagi petani.
Semakin lama pertemuan para anggota tarekat itu bukan lagi pertemuan untuk membahas permasalahan petani tetapi sudah mengarah pada rencana pemberontakan terhadap peraturan Belanda di Sidoarjo.
Akhirnya para anggota tarekat sepakat untuk melakukan sebuah pemberontakan. Tanggal pelaksanaannya adalah Hari kedua belas bulan Maulud tahun Wawu atau 27 Mei 1904.
Pada hari itu pemberontakan dimulai setelah shalat Magrib. Sebelum melaksanakan aksinya kaum pemberontak mengambil air wudhu lebih dulu. Kemudian mereka berkumpul di sebuah sawah yang terbuka, dimana berkibar sehelai bendera berwarna putih-biru-putih sebagai simbol dari kemandulan, kepiluan dan kefanaan.
Simbol lain pemberontakan adalah menyelempangkan Klaras (daun pisang kering) seraya berdzikir. Kemudian seorang pembicara membakar semangat pemberontak dengan mendakwahkan konsep Jihad (perang suci). Para pemberontak itu berasal dari Samentara, Taman dan Damarsi. Sementara pengikut dari kota lain tidak ikut.
Ketika Wedana Gedangan menerima informasi tentang konsentrasi massa di Keboan Pasar (sekarang desa Keboan Sikep), ia langsung mendatangi mereka dengan membawa anggota Polisi yang bersenjata. Tetapi karena jumlah yang kalah banyak, akhirnya Wedana dan Mantri Polisi tertawan.
Melihat kejadian itu pemerintah kolonial di Sidoarjo mengerahkan kekuatan militer untuk menindas pemberontakan. Melihat barisan tentara, pemberontak yang berjumlah tiga ratus orang itu bukannya takut. Mereka maju membuat provokasi dengan menari gaya pencak silat sambil menggenggam keris.
Tentara mulai memuntahkan pelor panas ke arah pemberontak. Pertempuran itu berjalan singkat. Tetapi menelan cukup banyak korban jiwa. Tiga puluh tiga pemberontak mati terbunuh, tiga puluh tujuh lainnya terluka termasuk Kiai Hasan Mukmin.
Walaupun terluka, tetapi Kiai Hasan Mukmin berhasil melarikan diri kerumahnya. Namun tak lama kemudian tentara Belanda mengepung dan membakar rumah itu setelah membunuh Kiai Hasan Mukmin. Pemberontakan Gedangan padam bersama kematian sang Kiai. (bersambung)

Sanggar Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar