Senin, 09 Februari 2015

Dampak Pemanasan Global



ADA banyak dampak dari peningkatan suhu udara sebagai akibat dari pemanasan global. Kita akan coba mengupasnya satu persatu dan terperinci, mulai dari akibatnya terhadap alam, lingkungan dan manusia.

1. Tahun 2008-2012, Lapisan Es Di Kutub Berkurang Drastis
Pada tanggal 6 Maret 2008, sebuah bongkahan es seluas 414 kilometer persegi (hampir 1,5 kali luas kota Surabaya) di Antartika runtuh. Padahal, diyakini bongkahan es itu berada di sana sejak 1.500 tahun lalu.
“Ini akibat pemanasan global,” ujar ketua peneliti NSIDC Ted Scambos. Menurutnya, lempengan es yang disebut Wilkins Ice Shelf itu sangat jarang runtuh.
Setelah adanya perpecahan itu, bongkahan es yang tersisa tinggal 12.950 kilometer persegi, ditambah 5,6 kilometer potongan es yang berdekatan dan menghubungkan dua pulau.
“Sedikit lagi, bongkahan es terakhir ini bisa turut amblas. Dan, separo total area es bakal hilang dalam beberapa tahun mendatang. Beberapa kejadian akhir-akhir ini merupakan titik yang memicu dalam perubahan sistem,” ujar Sarah Das, peneliti dari Institut Kelautan Wood Hole.
Mencairnya es saat ini berjalan jauh lebih cepat dari model-model prediksi yang pernah diciptakan oleh para ilmuwan. Beberapa prediksi awal yang pernah dibuat sebelumnya memper-kirakan bahwa seluruh es di kutub akan lenyap pada tahun 2040 sampai 2100.
Tetapi data es tahunan yang tercatat hingga tahun 2007 membuat mereka berpikir ulang mengenai model prediksi yang telah dibuat sebelumnya. Para ilmuwan mengakui bahwa ada faktor-faktor kunci yang tidak mereka ikutkan dalam model prediksi yang ada.
Dengan menggunakan data es terbaru, serta model prediksi yang lebih akurat, Dr. H. J. Zwally, seorang ahli iklim NASA membuat prediksi baru yang sangat mencengangkan. Hampir Semua Es  Di Kutub Utara Akan Lenyap Antara Tahun 2008 - 2012!

2. Permukaan laut Meningkat, Pulau-Pulau Kecil Tenggelam
Mencairnya es di kutub utara dan kutub selatan berdampak langsung pada naiknya level permukaan air laut. Para ahli memperkirakan apabila seluruh Greenland mencair maka level permukaan laut akan naik sampai 7 meter! Naiknya permukaan air laut ini cukup untuk menenggelamkan seluruh pantai, pelabuhan dan dataran rendah di seluruh dunia.
Di Indonesia, kenaikan permukaan air laut diperkirakan bakal menenggelamkan kurang lebih 50 meter daratan dari garis pantai kepulauan Indonesia sepanjang 81 ribu km.
Jika itu terjadi diprediksi ribuan pulau kecil akan terhapus dari peta Nusantara. Selain itu 405 ribu hektar daratan yang meliputi 14 ribu desa di pesisir pantai Indonesia akan tenggelam pada tahun 2015.

3. Gletser Mencair, Sumber Air Bersih Dunia Kian Menipis
Tentu kamu sudah pernah mendengar nama Pegunungan Himayala, Pegunungan Alpen, Jayawijaya dan gunung-gunung lain di belahan dunia yang berselimutkan salju abadi.
Bentang alam itu tidak hanya memanjakan mata sebagai sajian pemandangan yang indah namun juga menjadi sumber air yang penting bagi sungai-sungai besar yang mengalir hingga ke hulu.
Misalnya saja air yang mengaliri sungai Gangga di India, 70 persen berasal dari lapisan es di pegunungan Himalaya. Jika gletser seluas 33 km persegi di atas pegunungan itu mencair lebih cepat maka akan terjadi krisis air yang parah dan berujung pada kekeringan.

4. Bencana Terjadi Silih Berganti
Menurut sebuah laporan yang baru dikeluarkan oleh Federasi Internasional Palang Merah dan Masyarakat Bulan Sabit Merah (IFRC), bencana cuaca telah meningkat selama dekade terakhir ini.
Dekade 1990-an lalu, IFRC mencatat terjadi 200 kali bencana alam berskala besar di seluruh penjuru dunia. Namun di era tahun 2000-an, volumenya melonjak hingga 350 kali per tahun.
Penelitian para ahli menunjukkan bahwa kekuatan perusakan oleh gempa bumi meningkat dengan laju yang sangat mengkhawatirkan dan kecenderungan ini terus berlanjut.
Ahli geologi, Bill McGuire dari Hazard Research Center dari University College London, seperti ditulis LiveScience mengatakan bahwa gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah longsor, adalah bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim.
Menurut Mc Guire, ada dua penyebabnya. Yang Pertama, gangguan keseimbangan kerak Bumi. Lapisan es di kutub yang memiliki berat menekan kerak Bumi yang berada di bawahnya.
Karena es mencair, kerak di bawahnya berusaha mencari keseimbangan baru. Pergeseran keseimbangan ini dapat memicu aktivitas magma di dalam kerak Bumi maupun aktivitas gempa bumi.
“Pada akhir Zaman Es, tercatat adanya peningkatan besar-besaran aktivitas seismik bersamaan dengan penyusutan lapisan es di Skandinavia maupun tempat-tempat lain seperti itu dan memicu tanah longsor di bahwa laut yang pada akhirnya memicu tsunami,” ungkap Mc Guire.
Penyebab kedua, tekanan air laut. Suhu laut yang bertambah panas mengakibatkan air laut memuai. “Memuainya air laut ditambah es yang mencair ke dalam laut menekan kerak Bumi di bawahnya. Hal ini dapat menekan magma apapun yang ada di sekitarnya keluar dari gunung berapi sehingga memicu letusan,” urai Mc Guire.
Mekanisme ini dipercaya menjadi penyebab letusan periodik Gunung Pavlof di Alaska yang meletus setiap musim dingin ketika permukaan air laut lebih tinggi. Mc Guire sendiri melakukan penelitian yang dimuat pada jurnal Nature pada tahun 1997.
Berbicara tentang pengaruh pemanasan global melalui kejadian-kejadian ekstrem ini, Sekretaris Jendral IFRC Dr. Bekele Geleta berkata, “Bencana-bencana yang disebabkan perubahan iklim akan lebih mengancam kehidupan dan mata pencaharian dibandingkan masa kapanpun sebelumnya.”
Pemanasan global dapat direduksi bahkan dihentikan dengan tindakan nyata sesegera mungkin. Tidak ada yang bisa menyelamatkan Bumi selain warga Bumi sendiri. Tidak ada tempat untuk sembunyi atau pindah ke luar Bumi, karena belum diketemukan planet layak huni seperti Bumi.
Jadi sebelum bencana alam semakin sering terjadi, sebelum semakin banyak korban jiwa berjatuhan, sebelum udara dan air semakin langka di Bumi, ayo kita sungguh-sungguh ‘Sayangi Bumi’!

5. Ekosistem Tergoncang
Makin tingginya suhu rata-rata permukaan bumi juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekosistem bumi, terutama tumbuhan dan kehidupan hewan.
Contohnya, populasi burung pinguin di daerah kutub mengalami kemerosotan yang tajam. Selama 30 tahun terakhir dari 32 ribu pasang pinguin, kini jumlahnya tersisa 11 pasang saja.
Pun demikian dengan beruang kutub yang terus turun jumlahnya hingga diperkirakan mamalia terbesar di daratan es itu akan punah pada 2100 mendatang.
Disisi lain populasi kumbang pemakan cemara justru tumbuh pesat. Akibatnya dalam tenggang waktu 20 tahun terakhir sedikitnya 4 juta hektar hutan cemara di Alaska lenyap.
Namun yang paling terancam kehidupannya adalah para reptil. Seperti yang kita ketahui, reptil adalah hewan berdarah dingin dan tidak memiliki kelenjar keringat seperti hewan lainnya atau manusia. Artinya mereka sangat tergantung pada panas matahari atau kehangatan batu, kayu dan tanah untuk mempertahankan suhu badannya.
Dan jika terjadi perubahan iklim dan peningkatan suhu yang drastis, maka akan banyak diantara para reptil itu yang tidak mampu beradaptasi hingga mengalami kematian. Saat ini saja spesies katak Harlequin yang hidup di hutan tropis Amerika Tengah dan Selatan hanya tersisa 30 persennya saja.
Perubahan iklim juga berdampak buruk pada ekosistem di lautan. Jika suhu air laut kian panas maka akan terjadi kenaikan tingkat keasaman air laut. Kondisi ini mem-buat terumbu karang rusak dan mati.
Celakanya yang paling merasa diuntungkan dengan perubahan iklim ini justru serangga berbahaya yang hidup di daerah tropis seperti nyamuk, lalat, wereng dan sebagainya.

6. Perubahan Iklim/cuaca yang Makin Ekstrim
Beberapa tahun lalu, setiap kali bulan Desember tiba, para pedagang kaki lima (PKL), pedagang asongan, pengusaha kerupuk dan bidang usaha lainnya yang membutuhkan cerahnya cuaca sudah mulai resah. Pasalnya, inilah saat hujan akan mulai turun setiap harinya hingga menjelang bulan April bahkan Mei.
Sebaliknya para pedagang bakso, ojek payung dan lainnya justru bergembira. Karena bagi para pedagang itu, inilah saat yang tepat untuk mendongkrak penghasilannya.
Datangnya musim hujan yang tepat pada waktunya tentunya sangat dinanti para petani, terutama yang bercocok tanam di lahan tadah hujan. Bagi mereka turunnya titik-titik air dari langit adalah berkah yang tak terhingga.
Namun saat ini, datang dan perginya musim seakan sudah tak dapat dipastikan. Musim penghujan tiba tak tentu. Bisa kapan saja hingga musim pancaroba yang justru terasa begitu panjang.
Bahkan kali ini Badan Meteorogi, Mitigasi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan hujan baru akan turun di akhir Desember dan sudah mencapai puncaknya pada pertengahan Januari hingga Pebruari.
Musim hujan kali ini juga diprediksi akan berlangsung lebih singkat namun dengan intensitas dan volume yang besar plus hembusan angin yang relatif kencang.
Perubahan cuaca dan iklim bumi yang kian ekstrim itu terjadi akibat pemanasan global. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi kekeringan di tempat yang lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat.
Tanpa diperkuat oleh pernyataan NASA itupun kamu pasti sudah dapat melihat efeknya pada lingkungan di sekitar kita. Kamu juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah melanda wilayah-wilayah tertentu di Indonesia.
Tahun-tahun belakangan ini kita makin sering dilanda badai-badai yang mengganggu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik melalui laut maupun udara.
Kamu tentu menyadari betapa panasnya suhu di sekitar Anda belakangan ini. Anda juga dapat melihat betapa tidak dapat diprediksinya kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah hujan.
Bila fenomena dalam negeri masih belum cukup, kamu juga bisa mencermati berita-berita internasional mengenai bencana alam di berbagai belahan dunia.
Badai topan di Jepang dan Amerika Serikat terus memecahkan rekor kecepatan angin, skala, dan kekuatan badai dari tahun ke tahun. Curah hujan dan badai salju di China juga terus memecahkan rekor baru dari tahun ke tahun.
Kamu dapat mencermati informasi-informasi ini melalui media massa maupun internet. Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang luput dari perubahan iklim yang ekstrim ini.

7. Kelaparan Dimana-mana
Pada umumnya, semua bentuk sistem pertanian sensitif  terhadap perubahan iklim. Saat ini Indonesia diprediksi akan mengalami lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun. Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin pendek.
Dampak yang nyata adalah meningkatnya risiko banjir. Secara umum, perubahan cuaca akan memicu kemarau panjang dan penurunan kesuburan tanah.
Hal ini akan mempengaruhui kelangsungan produksi pangan secara nasional. Pemanasan global juga mengandung resiko yang besar akan kegagalan panen dan kematian hewan ternak.
Global warming juga mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif yang secara keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan.
Kajian terkait dampak perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of Science/NAS (2007) menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Austral-Asia Monsoon and El Nino-Southern Oscilation (ENSO).
Sebagaimana dilaporkan oleh FAO (1996), kekeringan akibat kemarau panjang yang merupakan efek El Nino pada tahun 1997 telah menyebabkan gagalnya produksi padi dalam skala yang sangat besar yaitu mencakup luasan 426.000 ha.
Selain tanaman padi, komoditas pertanian non-pangan yang lain seperti kopi, coklat, karet dan kelapa sawit juga mengalami penurunan produksi yang nyata akibat adanya kemarau panjang. 
Suatu simulasi model yang dikembangkan oleh UK Meteorgical Office sebagaimana dilaporkan DFID (2007), memprediksikan bahwa perubahan cuaca akan menurunkan produksi pangan di Jawa Barat dan Jawa Timur akibat penurunan kesuburan tanah sebesar 2-8 persen.
Degradasi kesuburan lahan tersebut akan memicu penurunan produksi padi 4 persen per tahun, kedele sebesar 10 persen serta produksi jagung akan mengalami penurunan luar biasa sampai dengan 50 persen.
Menurut laporan Rossane Skirble (2007), perubahan cuaca dan pemanasan global dapat menurunkan produksi pertanian antara 5-20 persen. Negara-negara dengan kondisi geografis yang lebih khusus seperti India dan Afrika akan mengalami penurunan produksi pertanian yang lebih tinggi lagi.
Disisi lain, perubahan iklim justru kian menyuburkan hama penyakit bagi tanaman. Sebagai contoh bakteri penyebab penyakit kresek pada padi, juga cendawan penyebab penyakit layu pada bawang merah.
Faktor iklim juga berpengaruh terhadap ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Sebagai contoh tanaman vanili mengalami stres karena terlalu banyak cahaya, sehingga tanaman tersebut rentan terhadap penyakit busuk batang. Diketahui pula makin meningkatnya populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai.
Jika sudah begini keadaannya maka jumlah bahan pangan akan terus menurun sementara jumlah manusia kian meningkat. Jurang perbedaan inilah yang menjadi faktor terjadinya kelaparan dimana-mana.
Tiap hari kurang-lebih 24.000 orang meninggal karena lapar atau hal-hal yang berkenaan dengan kelaparan.Kebanyakan dari kematian karena lapar itu disebabkan oleh malnutrisi yang kronis akibat dari (keadaan bahwa) penderita tidak dapat mendapatkan makanan yang cukup.
Diperkiran bahwa didunia ada kira-kira 800 juta penderita kelaparan dan malnutrisi, yaitu 100 kali lebih banyak dari yang meninggal karena kelaparan dan mal-nutrisi itu setiap tahunnya.

8. Penyakit Mewabah
Berdasarkan Data Organisasi Kesehatan dunia (WHO) sebanyak 30 penyakit baru yang muncul sepanjang tahun 1976-2008 akibat perubahan iklim dan pemanasan global.
Mantan staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, Amanda Katil Niode mengatakan munculnya penyakit ini karena temperatur suhu panas bumi yang terus meningkat. Yang paling jelas kelihatan penyakit demam berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan.
Menurut dia, masalah kesehatan akibat pemanasan global memang sangat dirasakan parahnya oleh negara-negara berkembang yang sebagian masih miskin karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.
Perubahan cuaca dan lautan dapat berupa peningkatan temperatur secara global (panas) yang dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan kematian, terutama pada orang tua, anak-anak dan penyakit kronis.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma.
Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kita ambil contoh meningkatnya kejadian Demam Berdarah. Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit ini memiliki pola hidup dan berkembang biak pada daerah panas.
Hal itulah yang menyebabkan penyakit ini banyak berkembang di daerah perkotaan yang panas dibandingkan dengan daerah pegunungan yang dingin.
Namun dengan terjadinya Global Warming, dimana terjadi pemanasan secara global, maka daerah pegunungan pun mulai meningkat suhunya sehingga memberikan ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak.
Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
(Luddy Eko Pramono, Buku Cintai Tanahmu : Kasihi Airmu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar