Sabtu, 03 Januari 2015

Silang Sengkurat Penyebab Semburan

By : Luddy Eko Pramono


 DULUNYA, desa-desa yang tergenang luapan lumpur Sidoarjo  adalah wilayah pemukiman penduduk yang padat. Gerak ekonomi sosial warga setempat ditopang usaha pertanian, peternakan, pertambakan, jasa, perdagangan dan industri. Tapi sekarang semuanya sudah hilang.
Catatan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), menyebutkan lebih dari 41.700 warga harus terusir dari kampung halamannya di 18 desa, tersebar di 3 kecamatan.
            Dari atas tanggul setinggi kira-kira 11 meter dengan ketebalan 8 meter itu yang terlihat hanyalah lautan lumpur yang begitu luas. Tercatat 680 hektar lahan disana telah berubah wujud menjadi danau lumpur yang mengering di musim kemarau dan penuh dengan air di musim penghujan. Dari kejauhan masih bisa dilihat semburan asap putih yang keluar dari lubang pusat semburan sudah tak lagi tinggi.
Data yang ada di BPLS menyebutkan kawasan yang masuk peta terdampak lumpur luasnya 1.100 hektar. Dan mesti lumpur masih juga menyembur hingga saat ini, namun diupayakan lahan yang terdampak tak akan meluas.
            Meski sudah demikian besar dampak yang ditimbulkan, namun hingga kini faktor penyebab utama terjadinya semburan lumpur itu masih menjadi perdebatan. Padahal masalah ini bahkan sudah masuk ke ranah hukum bahkan telah berstatus inkrach (berkekuatan hukum tetap).
            Informasi awal yang didapat dari berbagai sumber menyebutkan semburan lumpur itu disebabkan oleh kesalahan prosedur pengeboran yang dilakukan pihak Lapindo Brantas Inc. yakni tidak dipasangnya chasing secara layak pada sumur bor hingga mengakibatkan underground blowout atau ledakan bawah-tanah.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
            Rencana awalnya, sumur tersebut akan dibor hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Dalam siaran pers yang diberikan Lapindo Brantas Inc pada wartawan per 15 Juni 2006 disebutkan kontraktor telah memasang casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing (liner) 16 inchi pada 2.385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3.580 kaki.
Dari batas itu pemboran terus dilakukan tanpa melakukan pemasangan casing 9-5/8 inchi karena belum mencapai formasi Kujung yang ditargetkan dan diperkirakan ada di kedalaman 8.500 kaki. Setelah kedalaman mencapai 9.297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Kesalahan itulah yang menimbulkan semburan gas berikut material perut bumi lainnya dari lubang-lubang yang ada di permukaan tanah.
Berdasarkan informasi ini, pada 24 Juli 2006 atau 27 hari setelah semburan, pihak kepolisian daerah (Polda) Jatim pun menetapkan General Manager Lapindo Brantas, Imam Agustini, Vice President Drilling Share Service PT Energi Mega Persada, Nur Rohmat Sawolo dan Dirut PT Medici Citra Nusa (subkontraktor) Yenny Nawawi sebagai tersangka dalam kasus ini. Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997 Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman hukum 12 tahun penjara.
            Pendapat itulah yang juga menempatkan Lapindo Brantas inc sebagai pihak yang dianggap paling bertanggungjawab atas masalah ini sehingga merekapun wajib memberikan kompensasi para warga setempat, pengusaha lokal, pemerintah daerah dan pusat serta BUMN yang menderita kerugian akibat peristiwa tersebut.
            Namun berikutnya muncul pendapat dari beberapa ahli geologi nasional dan internasional yang mengatakan luapan lumpur tersebut sebagai dampak dari gempa bumi Yogyakarta yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Pendapat ini muncul dari forum International Conference & Exhibition di Cape Town Afrika Selatan. Dalam forum yang digelar 26-29 Oktober 2008 ada pendapat dari tiga orang ahli geologi Indonesia yang menyebut gempa Yogya sebagai penyebab semburan lumpur di Sidoarjo. Namun pendapat tersebut disanggah 42 orang ahli lainnya. Selain itu ada juga 13 ahli menyatakan kombinasi Gempa dan kesalahan pengeboran sebagai penyebab utamanya.
Dalam kesempatan lainnya, ada pula ahli geologi yang menyebut luapan lumpur tersebut sebagai fenomena alam biasa yang sudah terjadi sejak puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Disebutkan, jumlah lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100 ribu meter kubik perhari, tidak mungkin keluar dari lubang hasil pemboran selebar 30 cm.
Di seluruh dunia kurang lebih telah terjadi sebanyak 700 kasus serupa dengan 300 kasus terjadi di Azerbaijan. Luapan lumpur itu merupakan tanda-tanda adanya kandungan minyak bumi yang tinggi di bawah tanah. Kasus terbesar (Azerbaijan) mencapai luasan dengan diameter 10 km dan membentuk gunung baru.
Kasus luapan lumpur panas Porong menjadi luar biasa karena terjadi di daerah pemukiman dan industri. Luapan lumpur akan berhenti dengan sendirinya saat tekanan udara yang ada di perut bumi dengan yang ada di permukaan bumi sama, dan tidak bisa dihentikan secara teknis.
            Dan berpegang pada pendapat itulah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusannya terhadap gugatan yang disampaikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 3 April 2009 yang menyebut kasus lumpur Sidoarjo merupakan bencana alam. Akibatnya pertanggungjawaban dialihkan pada negara melalui dana APBN tiap tahunnya.
Terkait kasus pidana yang ditangani kepolisian, pihak penyidik Polda Jatim pun mengeluaran Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) atas kasus yang melibatkan para tersangka tersebut. Alasan yang dipakai, dasar hukum pidananya otomatis gugur setelah pihak MA menolak gugatan perdata yang disampaikan YLBHI dan Walhi kepada Lapindo dan pemerintah.
            Berikutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang luapan lumpur Sidoarjo bernomor 40/2009 yang merupakan penyempurnaan dari piranti hukum serupa bernomor 14/2007. Kini Perpres itupun juga telah diubah menjadi Nomor 68 tahun 2011.
Dalam surat itu pemerintah hanya membebankan pada Lapindo pembelian lahan bersertifikat di desa Kedungbendo, Renokenongo serta Kelurahan Siring dan Jatirejo. Sedangkan desa-desa lainnya yang masuk ke dalam peta area terdampak biaya ganti ruginya sepenuhnya ditanggung APBN, begitu juga penanganan infrastruktur yang rusak. Adapun nilai ganti rugi yang diberikan distandarkan dengan patokan Rp 120 ribu untuk tanah sawah, Rp 1 juta untuk tanah kering dan Rp 1,5 juta untuk bangunan yang dihitung per meter perseginya.(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar