Sabtu, 03 Januari 2015

ALA..NGGEDABRUS 

Menjelang sore di ruang kerja seorang pejabat Pemkab Sidoarjo. Sang pejabat duduk di kursinya. Tangan kanannya memegang Hp. Tubuhnya ia sandarkan ke belakang. Ia terlihat sedang santai berbincang dengan seseorang. Sedangkan aku dan dua orang rekan wartawan lainnya duduk di sofa yang tersedia di ruang kerja itu. Mata kami asyik memelototi siaran berita yang disajikan TVRI sembari menikmati makanan kecil yang disediakan sang tuan rumah.
Lalu kami pun ngobrol ngalor-ngidul, membicarakan isu yang lagi hangat terjadi di belantara internasional, nasional hingga ke level lokal Sidoarjo-an. “Pean eruh ta baliho’e bupati, Kapolres, Kajati ambek Dandim sing dipasang nang prapatan Babalayar iku ta, Cak,” tanyaku pada salah seorang rekan wartawan.
Kontan iapun menjawab. “Wah gak nang kono thok baliho’ne. Nang endi-endi yo dipasang,” ucapnya. Lalu teman satunya lagi menimpali. “Lha iyo temen omongan iku. Jarene kate mbangun bangsa dengan kejujuran. Sing endine sing jujur. Sopo sing jujur,” ucap teman tadi sambil mencibir sinis.
 Aku pun tak mau kalah. “Lha iyo, masyarakat saiki wis pinter-pinter. Gak isok mereka dibohongi ambek kalimat-kalimat retorika koyok ngono iku. Masyarakat wis eruh kok yok opo kelakuane pemerintah, termasuk aparat hukum’e,” kataku.
 Komentar senada pun saling bersahut-sahutan dari setiap mulut yang ada di ruangan itu. Sedangkan si pejabat tetap saja asyik menelepon. Malah seakan-akan nada bicaranya semakin gayeng.
 “Lha iyo, kalau semua pejabat nang Indonesia iki jujur temenan, gak mungkin Indonesia mlarat koyok ngene. Semua orang pasti sugih karena kerjanya enak. Negara tambah makmur karena APBNnya dipakai membangun bangsa,” ucap salah seorang teman.
 “Buktine lak gak koyok ngono ta. Yo tetap mbangun sih, tapi sak piro akeh’e duit sing digawe mbangun iku? Sik luwih akeh duit sing dientit poro pejabat. Lha nek kene carane, yok opo carane negoro isok maju. Sik tas rodok enak thitik ae wis kenek krisis ekonomi global maneh. Gak tambah makmur malah tambah ajur negoro iki,” seru yang lain.
 “Mangkokno iku,” lanjutku. “Mestinya wis gak perlu ngetokno uang banyak buat bikin baliho koyok ngono iku, percuma. Yang paling pas itu, ya dilakukan saja. Nanti rakyat lak eruh dewe. Kalau pemimpinnya iso jujur temenan, rakyat’e yo ikut jujur. Lha kalau pimpinannya doyan nggedabrus, yo kabeh melok-melok nggedabrus,” kataku.
 Tiba-tiba sang pejabat bangkit dari tempat duduknya. Ia menghampiri kami. Tangan kanannya langsung mengambil dompet dari saku belakang celananya. Cepat ia keluarkan beberapa lembar uang Rp 50 ribuan.
 “Termasuk koen-koen iki yo melok nggedabrus pisan. Iki lho duit, gelem opo enggak? Tapi tak kandani yo, duit iki asal’e yo teko entit-entitan sing mbok omongmo mau,” tantangnya. Dan, ha...ha...ha..., tawa kami pun pecah seketika.
(Luddy Eko Pramono - termuat di Tabloid Headline)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar