Selasa, 08 Januari 2019

novel sejarah bersambung - Mereka yang Terkhianati - bagian 3


Tapi kemarahan itu tak lagi bisa dibendung, demi ditatapnya wajah pongah Ardharaja yang berdiri bersanding dengan Kebo Mundarang. Keris pusakanya seakan mendesis meminta nyawa.
“Bangsat.................”
Sanggrama Wijaya menghantam. Tapi Ardharaja memilih surut ke belakang hingga keris pusaka itupun menghujam tameng pasukan yang terbelah lalu merobek dada hingga punggungnya.
Dyah Wijaya kalap. Gajah Pagon pun membabi buta. Lengan besarnya laksana gada raksasa yang menghantam tanpa iba meremukkan dada dan kepala pasukan Dhaha. Sementara pedang di tangan kanannya seperti tersusupi Bathara Yamadipati yang tanpa ampun mencabut nyawa.
Lembu Sora tak kalah ganas. Sepasang pedangnya diputar laksana baling-baling pencabut nyawa. Ia merangsek maju menuju langkah mundur Kebo Mundarang.

Dan benar perkiraannya. Ia melihat Kebo Mundarang dan Gagak Pangguhan setengah berlari sembari menyeret tangan Tribuwaneswari dengan diiringi sebagian pasukan bersenjata tombak.
Sedang Dewi Gayatri erat dalam genggaman Klabang Wungu yang menjaga bersama Ardharaja, Sura Tiggya dan puluhan prajurit lainnya. Mereka berlari ke arah yang berbeda.
Semangat Lembu Sora laksana dipompa. Ia percepat putaran pedangnya menebas tubuh-tubuh hangat di depannya. “Mati kau Mundarang....” teriak Sora. Kedua pedangnya diarahkan ke depan. Tepat membidik punggung dan pangkal leher Kebo Mundarang.
Gagal. Pedang itu justru menembus empat tubuh prajurit sekaligus. Mereka langsung rubuh saat gagangnya kembali dibetot ke belakang. Bersamaan dengan itu, Gagak Pangguhan menyambutnya.
Bersenjatakan dua trisula di tangan kanan dan kirinya, Gagak Pangguhan berusaha menghambat langkah Sora. Ia juga menangkis hantaman pedang besar arya Dhaha lainnya yang mengarah ke kepalanya.
Tapi Sora memang pilih tanding. Bukannya terdesak, ia malah melukai lengan kanan Gagak Pangguhan. Dan hampir saja menebas lengan Mundarang. Tapi patih Gegelang itu dapat menghindar, meski akhirnya ia harus roboh terjengkang setelah dadanya terhantam kaki kiri Sora.
Namun ia tetap tak mau melepaskan pegangan tangannya pada lengan Tribhuwaneswari. Akibatnya putri sulung Sri Kertanegara itu ikut terjerembab. Kulit pualamnya terkotori tanah memerah. Bahkan lengan kanannya terluka. Darah mengucur dari kulit yang tercabik pangkal ilalang yang terkepras tajam.
Lembu Sora tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kembali ia ayunkan pedangnya ke arah lengan Mundarang. Tak ada pilihan, Mundarang menarik tangannya. Pedang itupun keras menyobek tanah. Hampir saja sisi tajamnya memotong ujung telunjuk putri junjungannya.
Tribhuwana terpekik ngeri. Ia menjerit-jerit ketakutan. Apalagi saat tubuh Lembu Sora terdorong beberapa langkah setelah punggungnya terpukul tangan kiri Gagak Pangguhan.
Untung, Sanggramawijaya yang berhasil lepas dari keroyokan prajurit Dhaha langsung merengkuh tubuh lemah Tribuwaeswari. Langsung dipanggulnya kekasih tercintanya itu di pundak kirinya.
“Lari Pangeran !” pekik Lembu Suro sambil terus berusaha menangkis serangan Gagak Pangguhan dan Kebo Mundarang yang kini bahu-membahu mengeroyoknya.
Sanggramawijaya tak berpikir panjang. Cepat ia langkahkah kakinya ke kulon. Tangan kirinya erat memeluk kekasihnya, sedangkan keris di tangan kanannya terus menari-nari menggores tubuh pasukan Gegelang yang berusaha menghadang.
Sora kian terdesak. Karena bukan lagi dua orang lawannya. Beberapa tentara Dhaha ikut mengeroyoknya. Pagon pun sama. Ia yang berusaha merebut Dewi Gayatri harus menghadapi Klabang Wungu dan Sura Tiggya sekaligus. Bahkan seakan tak ingin kehilangan satu-satunya putri tawanannya, Jaran Guyang dan Jangkung Angilo ikut-ikutan mengeroyoknya.
Begitu melihat Lembu Tumangtang serta Santar berlari ke arahnya, Lembu Sora pun ciut nyali. Ia bergerak mundur ke arah Pagon. Lalu cepat ia putar badannya. Lalu segera berlari menjauhi para satria Dhaha yang terus mengejarnya.
Gajah Pagon pun mengambil langkah yang sama. Cepat ia berlari mengikuti ayunan kaki temannya itu meninggalkan areal perkemahan menuju sisi hutan yang gelap.
Sempat mereka melihat Medang Dangdi yang bertarung sendiri menghadapi Kuda Paksa dan Pakis Jingga yang tadi berusaha mengejar Sanggramawijaya. Di sekitarnya bertebaran tubuh-tubuh tak bernyawa pasukan Dhaha.
Melihat lawannya kabur, Kebo Mundarang dan arya utama Gegelang berusaha mengejar. Untung hujan anak panah yang dilepaskan bersamaan oleh Pamandana, Nambi, Banyak Kapuk dan Kebo Kapetengan berhasil menahan langkah mereka. Sementara itu Mahisa Wagal dan Wirota Wiragati bergabung dengan Medang Dangdi untuk menumpas pasukan Dhaha yang lolos dari hujan anak panah.
Sejenak semuanya berjalan sesuai rencana. Dan kini saatnya menarik diri dari gelanggang pertarungan. Wirogati yang ada di tengah menolehkan kepala pada kedua sahabat di kiri dan kanannya. Ia memberi isyarat dan dalam satu anggukan kepala ketiganya berkelebat bersama masuk ke dalam hutan.
Tak dinyana. Sebuah lembing yang dilempar Sura Tiggya melesat cepat ke udara dan mendarat tepat di paha kiri Gajah Pagon yang tengah berlari. “Ahh.....,” jerit pria legam berbadan kekar itu. Sontak tubuhnya terjerembab.
Medang Dangdi meraih lengan kiri Pagon. Ia seret tubuh Pagon. Wirogati pun berlaku serupa. Berdua mereka bahu-membahu menolong sahabatnya, berlari menerobos belukar hutan sambil menghindari hujan panah api, menjauhi pekikan bunyi bende yang bertalu-talu dan teriakan pasukan Gegelang yang marah. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar