Minggu, 06 Januari 2019

Novel Sejarah bersambung - Mereka yang Terkhianati - Bagian 2


“Sudah kau perhatikan semuanya, Pagon,” tanya Dyah Wijaya. Pria kekar itu menganggukan kepalanya, mantap. Tak ada suara yang keluar dari bibirnya yang merah menghitam itu.
“Lalu dimana gustimu berada,” mencecar tanyanya. Pagon tak menjawab. Hanya sorot tajam matanya yang ia arahkan pada kerumunan prajurit yang tengah berdiang di depan empat tenda berukuran lebih kecil diantara ratusan kemah lainnya di tengah-tengah padang luas yang telah rapi dibabat sebelumnya.
“Dimana !,” meski pelan namun suara itu serasa menghentak. Senopati utama Tumapel itupun menunjuk ke tenda bertirai kulit kambing berwarna merah belang yang diannya telah padam.
Anak Lembu Tal itupun menghela nafas panjangnya. Sepertinya semua persis dengan perkiraannya. Pasukan Gegelang itu tak mau ambil resiko dalam menjaga kedua putri Kertanegara.
Mereka menempatkan keduanya dalam posisi yang rapat terjaga. Terpisah dari putri sesembahan lainnya. Tersendiri diantara kemah-kemah peristirahatan para ksatria utama. Itupun masih dalam pengawasan puluhan prajurit terpilih yang tak pernah lena berjaga sepanjang malam.
Tapi tekad sudah membulat. Pantang baginya surut ke belakang. Lelah dan penat bertempur habis-habisan dan berlari sejak beberapa hari lalu tak lagi dirasakannya.
Tolehan kepalanya bergerak seiring langkah kakinya yang mengayun angin. Dyah Wijaya melesat menuju tenda sang putri Sutawan. Lembu Sora di sisi kiri dan Pagon mengapit kanan. Bayangnya laksana trisula muka yang tajam mengkilat.
Hanya dalam beberapa kedipan mata saja, dua puluh prajurit penjaga terpental ke segala arah. Pendiangan jadi hampir padam tertimpa tubuh-tubuh kekar bersimbah darah.
Kayu, arang dan bara terlontar menyebar, membakar tenda-tenda di sekitarnya. Sontak para arya utama Dhaha berhamburan menyambut serangan mendadak itu.
Seketika itu bende ditabuh bertalu-talu. Suaranya mengagetkan seisi perkubuhan. Buru-buru siaga pasukan meski hanya dengan meraih senjata sebisanya. Segera mereka berkumpul ke tengah, mengepung Gajah Pagon, Lembu Suro dan Dyah Wijaya yang bersiap dengan keris terhunus berlelehan darah musuhnya.
“Benar khan kataku, Paman. Mereka pasti akan datang. Kakangmbok Puspawati dan Pusparasmi adalah umpan yang manis untuk memancing si bodoh ini masuk perangkap kita,” cibir Ardharaja.
“Pengkhianat kau Ardharaja. Tangan ini yang akan menarik keluar hatimu yang busuk itu. Bangsat,” kian erat jemari Sanggramawijaya menggenggam keris pusaka peninggalan kakeknya, Mahisa Campaka Sang Narasinghamurti.

**********************************
Darahnya menggelegak karena amarah dan dendam. Masih terbayang di matanya, saat ia dan Ardharaja menjadi sepasang pedang kembar bagi Kertanegara untuk membela kehormatan Tumapel dari serangan pasukan Gegelang.
Sanggramawijaya sempat menaruh hormat pada Ardharaja. Meski ia adalah anak kandung Jayakatwang, namun ia tetap dengan gagah berani memimpin pasukan Sri Kertanegara, ayah dari istrinya.
Kehebatan keduanya begitu luar biasa. Ratusan pasukan Gegelang di bawah komando Jaran Guyang yang menyerang dari sisi utara dihantam di Kedung Peluk. Banyak diantara mereka yang berguguran. Sedangkan yang mundur dikejar sampai di desa Lemah Batang dan Kapulungan.
Pertempuran hebat kembali terjadi, namun sepasang rajawali Tumapel itu lagi-lagi mampu memukul mundur pasukan Jayakatwang hingga ke desa Rabutcarat.
Namun tanpa dinyana, ternyata disanalah ladang pembantaian bagi pasukan Tumapel. Mereka dihantam dari dua arah setelah ratusan darah baru pasukan Dhaha mengombak datang dari desa Hanyiru di sisi Timur.
Wadyabala Tumapel kewalahan. Lelah dan putus asa menghinggapi sebagian pasukan. Tak ada pilihan selain mundur sejenak ke desa Kapulungan untuk menyusun siasat.
Saat itulah, siasat pengkhianatan Ardharaja dijalankan. Ia dan beberapa orang anggota pasukannya tiba-tiba menusuk dari belakang. Pasukan Tumapel pun tercerai-berai. Mereka saling tikam dan baku tusuk.
Sedangkan dari arah depan, kiri dan kanan, berbuih-buih pasukan Gegelang yang didatangkan dari desa Kurawan dan Kembangsari beringas menghantam tanpa ampun.
Sanggramawijaya mengamuk sekuat tenaga. Keris pusakanya disabetkan ke kiri dan ke kanan. Ditusukkan ke depan dan ke belakang hingga puluhan pasukan dan satria Dhaha bertumbangan berkalang tanah.
Tapi usahanya seakan sia-sia. Sebagian besar pasukannya mati. Yang tersisa memilih lari berhamburan tak tentu arah. Sebersit kesadaran muncul disaat genting. Ia tak boleh mati dulu. Amarah harus sejenak diredam. Perjuangan akan diteruskan nanti, setelah menghimpun kembali kekuatan yang ada.
Sangrama Wijaya berlari cepat meniti angin. Di belakangnya, sembilan orang lainnya mengikuti. Sempat ia melirik. Dari sudut matanya terlihat sosok Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahisa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana.
Mereka melesat cepat menuju keraton Tumapel di Singhasari. Tapi langkah mereka terhenti selemparan batu dari kutaraja, demi dilihatnya kibaran panji-panji Gegelang berwarna merah dan putih dari Pura Kadityan yang telah porak-poranda.
Api berkobar dimana-mana. Jerit tangis anak-anak dan perempuan membahana saat mereka digiring bala tentara Dhaha pimpinan Patih Kebo Mundarang.
Darah belia Sangramawijaya kembali menggelegak. Mukanya memerah. Ia cabut keris pusaka dari warangkanya. Ia akan menyerbu, tapi langkahnya tercekat gerakan Lembu Sora yang langsung menghadang di depan.
“Ampun Pangeran. Bukan saya meragukan kedigdayaan Pangeran. Tapi kita bak segerombolan laron yang menerobos bara api jika nekad masuk keraton. Mereka terlalu banyak,” Lembu Sora coba membujuk sesembahannya.
Bagaimana dengan Gusti Sri Kertanegara....” pandangan Sanggrama Wijaya nanar menatap ke depan.
“Ampun Pangeran. Baru saja kami dengar laporan dari pasukan yang tersisa. Gusti Prabu sudah berpulang ke jinalaya 14). Pun demikian dengan Empu Arganata,” timpa Nambi, kepala pasukan telik sandi Singhasari. Nada suaranya pelan, kepalanya tertunduk dalam.
Seluruh tulang Sanggramawijaya luruh. Ia terduduk bersimpuh di atas tanah. Sejenak matanya ia pejamkan. Duka mendalam menggelayuti hatinya laksana mendung gelap yang memayungi langit Tumapel.
Ingin rasanya ia mengutuki takdirnya. Kenapa harus dirinya yang jadi saksi atas keruntuhan Tumapel yang beribukota di Singhasari itu. Kerajaan penguasa Nusantara yang dilahirkan Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, 70 tahun silam.
“Istriku.......” tanyanya bergumam.
Tak ada yang bicara. Para ksatria utama Singhasari itu beku membisu. Sampai akhirnya gelegar suara Gajah Pagon yang terdengar. “Paduka Dyah Ayu Dewi Gayatri dan Tribhuwaneswari selamat. Mereka ditawan sebagai putri boyongan.”
Jemari Sanggramawijaya terkepal erat. “Bangsat Jayakatwang. Bajingan Ardharaja. Kebo Mundarang keparat. Tak akan kubiarkan mereka menyentuh kulit kekasihku.” Tiba-tiba kepalanya mendongak. Gemertak giginya keras terdengar. Wajahnya kaku.
Hampir saja Dyah Wijaya tiwikrama 15) kalau saja lengan kekarnya tak dijamah Nambi. “Sabar pangeran. Kita atur dulu siasat untuk merebut kembali paduka putri. Mundur bukan berarti kalah, seperti jemparing 16) yang harus ditarik ke belakang untuk melepaskan anak panahnya. Jika saatnya telah tiba, kita rebut kembali kejayaan itu. Nanti, saat tiba titi mangsane.....” (bersambung)

-----------------------------------------

1.     jinalaya adalah istilah untuk menyebut alam kematian atau akherat.
2.     Tiwikrama adalah istilah yang dipakai untuk menyebut suatu kondisi kemarahan yang terbendung hingga memiliki kekuatan ekstra untuk meluapkannya.
Istilah ini sendiri mengacu pada kemampuan titisan Wisnu yang mampu berubah wujud menjadi raksasa yang amat besar saat kemarahannya memuncak.
3.     Jemparing adalah istilah untuk menyebut busur panah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar