Selasa, 08 Januari 2019

novel sejarah bersambung - Mereka yang Terkhianati - bagian 4


Bab II : Persembunyian Gajah di Sarang Macan
Sang Kaditya 17) mulai mengintip di ufuk timur. Sudah pagi. Namun sisa-sisa kabut masih mengambang di atas tanah dusun Kudadu wilayah Pandakan 18). Sebagian telah berubah wujud menjadi titik-titik embun yang membasahi daun-daun bawang dan tetumbuhan lain di sawah dan ladang sayur warga desa.
Macan Kuping, sang kepala dusun Kudadu juga telah bersiap ke ladangnya. Namun ia masih harus menghabiskan dulu minuman hangat yang disediakan Nyi Wuruh, istrinya. Ia masih duduk diatas bale-bale depan rumahnya. Beberapa anak dan mantu lelakinya sudah lebih dulu berangkat ke ladang. Tinggal Hanggoro yang ada di rumah.
Sedari pagi buta tadi ia keluar rumah. Berbekal sabit ia berjalan bersama-sama teman sebayanya ke sisi bukit. Lalu pulang dengan sepikul rumput sebagai menu sarapan sapi-sapinya.
Biasanya ia segera kembali ke padang untuk menyabit rumput lagi sembari menggiring kambing-kambingnya. Tapi kebiasannya itu sedikit tertunda. Ibunya menyuruh lelaki muda itu untuk lebih dulu memperbaiki pawon 19) yang rubuh diterjang babi peliharaannya yang lepas sore kemarin.
Hanggoro mengaduk tanah lembek dengan kedua tangannya. Ia begitu bersemangat. Namun masih sempat ia melemparkan bongkahan kecil tanah lembek di tangannya ke arah Cenil, adik perempuannya.
Entah siapa namanya. Tapi seisi rumah sudah terbiasa memanggil gadis belia itu Cenil. Mungkin karena tubuhnya yang mungil ditunjang rona memerah di pipi remajanya yang membuatnya pantas dipanggil dengan sebutan itu.
“Kakang kok gitu. Sakit,” keluh Cenil sambil terus mengayak beras dalam tampihannya. Sementara sang saudara tuanya malah tertawa lebar hingga menampakkan deretan giginya yang merah lantaran sering mengunyah buah pinang.
“Aduh cantiknya adik kakang ini. Tapi  sayang ya, bulan depan mau dikawinkan sama Tindas Wuwung,” Hanggoro menggoda adiknya lagi. Mata Cenil langsung melotot. Sorot matanya tajam menatap sang kakak.
“Siapa yang mau kawin sama Kakang Tindas,” meski marah, namun kecantikan itu tetap tak bisa disembunyikan.
“Kamu”
“Aku emoh,” ujarnya ketus.
“Ya harus mau. Sedari kecil, Bapa sudah menjodohkan kamu sama si Tindas,” sengaja ia membuat adiknya marah. Hanggoro memang suka menggoda Cenil.
            “Kakang saja yang kawin sama Kakang Tindas,” ia lemparkan sebiji kerikil dari tampihan berasnya pada Hanggoro. Ia pun berlalu masuk ke dapur untuk menanak nasi pagi itu.
            Hanggoro menyusulnya. Cenil melengos, sementara Hanggoro senyam-senyum kecil sambil sesekali melirik ke arah adiknya. Lalu iapun disibukkan membenahi pawon yang rusak.

*********************************

Uwak Kuping.....Uwak Kuping.....,” Likur Sawo berteriak sambil berlari. Kakinya mantap menapak pematang. Terburu-buru ia menghampiri Macan Kuping di tengah ladang. Nafasnya terengah, keringat berlelehan dari sekujur tubuhnya.
“Ada apa? Kenapa kamu begitu tergesa.”
“Uwak harus pulang......”
“Kenapa?”
“Sekarang wak..., sekarang,”
“Ada apa,” Macan Kuping berusaha tetap tenang. Di tepuk-tepuknya pundak kemenakannya itu, berusaha menenangkannya.
“Ada orang mau mati....di rumah....banyak....,” ucap Likur. Wajahnya menegang, lututnya tergetar. Jelas terlihat ia baru saja menyaksikan sesuatu yang menakutkan di luar batas kemampuannya menahan rasa takut.
Macan Kuping sadar, ada masalah serius yang terjadi di rumahnya. Buru-buru ia naik ke pematang, namun ia berusaha tetap tenang agar tak membuat panik warganya yang saat itu juga turut mendengar dan melihat kepanikan Likur Sawo.
“Pagak dan Sintang, teruskan pekerjaanmu. Aku pulang dulu,” katanya pada kedua anaknya yang membantu ia menggarap sawah. “Kalian semua...ayo kerja lagi,” teriaknya pada orang-orang disana lainnya.
Bergegas ia menapaki pematang, Likur mengikutinya dari belakang. Begitu sampai di jalan, Macan Kuping pun mempercepat langkahnya. Ia berjalan cepat, namun Likur sudah hampir kepayahan mengejar langkah Uwaknya. Ia sudah berlari namun Macan Kuping jauh berada di depannya.
Lelaki uzur itu memang bukan orang sembarangan. Sebelum jadi Buyut 20) di Kudadu, ia adalah salah satu satria yang cukup disegani di Tumapel. Ia masih bocah ingusan saat kerajaan besar itu diperintah oleh Anusapati, putra pendiri Tumapel, Sri Rajasa Sang Girinathaputra.
Ia adalah saksi perseteruan yang terjadi berkepanjangan antara putra-putra Sri Rajasa yang bertahta di Kutaraja, ibukota Tumapel dengan saudara-saudara tiri mereka yang hanya diberi jabatan sebagai Yuwaraja 21) di Dhaha yang direbut Sri Rajasa dari tangan penguasa terakhir Kerajaan Panjalu, Sri Kertajaya.
Macan Kuping menjabat lurah pasukan Kerajaan Tumapel di masa-masa akhir pemerintahan Sri Jayawisnuwarddhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana atau Wisnuwardhana, putra dari Sang Prabu Anusapati, raja kedua Tumapel.
Di masa pemerintahannya itu, Prabu Wisnuwardhana menjadikan Canggu sebagai bandar besar di hilir Bengawan. Dan pada rentang waktu itulah perseteruan antara keturunan Sri Rajasa mulai mereda dengan naik tahtanya Sang Narasinghamurti sebagai penguasa Dhaha.
Bahkan Prabu Wisnuwardhana juga mengubah nama Kutaraja, ibukota Tumapel menjadi Singhasari. Bahkan hingga beribu-ribu tahun kemudian setelah kematiannya, kerajaan yang didirikan dan dipimpinnya itu lebih dikenal dengan sebutan Singhasari daripada Tumapel.
Demi melihat kondisi negaranya yang semakin aman dan tenteram setelah naik tahtanya Kertanegara, putra Wisnuwardhana, Macan Kupingpun memutuskan mengundurkan diri dari karier militernya di kedaton Tumapel dan memilih kembali ke desa Kudadu, tempat ia dilahirkan.
Jalan yang ditapaki Macan Kuping adalah belokan terakhir menuju rumahnya, kira-kira tinggal 50 tombak jauhnya, tapi cuping hidungnya sudah mencium bau anyir darah. Sejenak ia hentikan langkahnya. Dipejamkan matanya. Gelap di depannya, tapi mata hatinya memancarkan sinar benderang yang membuatnya melihat jauh hingga ke depan rumahnya yang sepi.
Pandangannya menerobos hingga masuk menyusuri senthong 22) demi senthong yang ada di dalam rumahnya. Tak ia lihat apapun yang ganjil disana. Terlihat cucu-cucunya yang bermain dan ada yang menangis dalam gendongan ibunya.
Terus ia masuk hingga bagian belakang, kosong. Macan Kupingpun membuka matanya. Tiba-tiba saja ada yang menghentak jantungnya, meremas hatinya. Darahnya mendesir cepat, cepat dan makin cepat.
Macan Kuping kembali memejamkan matanya, kali ini kelopaknya terkatup lebih dalam. Ia tata nafasnya dan seketika itu rohnya seakan terbang lepas dari wadagnya. Melayanglah ia udara dan meneruskan perjalanan ke dalam rumahnya.
Ia lihat istrinya, Nyi Wuruh berjalan bergegas. Di tangannya ada takir berisi tumbukan halus dedaunan yang biasa ia gunakan untuk  mengobati luka. Sedang Cenil membawa kendi-kendi air minum. Mereka keluar menuju kebun belakang rumah yang berbatas dengan hutan Pandakan. Ia ikuti langkah kecil istri dan anak ragilnya. Dan.....
“Ayo Likur....percepat langkahmu, kita harus cepat sampai rumah,” ia tolehkan kepalanya. Likur baru saja sampai di sisinya. Ia berdiri membungkuk sambil memegang perutnya. Kulit mukanya memucat kelelahan, nafasnya memburu. “Nggih....,” ia angkat kepalanya, tapi Macan Kuping sudah tak ada lagi di depannya. (bersambung)

--------------------------------------

1.     Kaditya adalah istilah untuk menyebut matahari.
2.     Pandhakan jaman dulu adalah identik dengan Pandaan sekarang sebagaimana didukung uraian Piagam Kudadu bertahun 1294 yang dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawardana berdasarkan pengalamannya saat mengungsi ke Madura.
Prasasti Kudadu yang berasal dari Gunung Buthak, Trawas Mojokerto menceritakan terima kasih raja Kertarajasa kepada ketua dusun Kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah waktu singgah dalam perjalanan ke Madura.
3.     Pawon adalah istilah yang dipakai oleh orang-orang Jawa pada masa lalu untuk menyebut kompor berbahan bakar kayu yang dibuat dari susunan batu yang dilapisi dengan tanah liat.
4.     Buyut adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pemimpin desa.
5.     Yuwaraja adalah penguasa tertinggi yang ditempatkan di kerajaan-kerajaan bawahan. Biasanya orang-orang yang menepati posisi ini adalah kerabat dekat raja.
6.     Senthong adalah istilah yang dipakai sebagai kata ganti ruangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar