Kamis, 10 Januari 2019

novel sejarah bersambung - Mereka yang Terkhianati - Bagian 5


Macan Kuping menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Tangan terunjuk hingga ke atas dahinya, kepalanya menunduk dalam menatap tanah basah yang dipijaknya. Ia haturkan sembahnya beberapa langkah di depan Sanggramawijaya.
            Kedatangan Macan Kuping yang tak diketahui itu mengagetkan para arya utama Singhasari. Lembu Sora langsung bangkit dari rebahannya dan berdiri tegap di depan Sangramawijaya dan Tribhuaneswari yang duduk bersanding di tunggakan pohon kelapa.
           Yang lainnya pun mengikuti. Mereka membungkus rapat sang pangeran Singhasari itu. Matanya tajam menatap Macan Kuping tanpa bicara. Siap tarung meski darah masih mengucur dari sekujur tubuh mereka.
            Macan Kuping tak bergerak. Nyi Wuruh buru-buru mengikuti jejak suaminya, bersimpuh menyembah. Pun demikian yang dilakukan Cenil, meski mereka sama sekali tak tahu siapa yang ada di hadapannya.
           
Pria-pria kekar yang ada di depannya itu tak ubahnya rakyat kebanyakan seperti mereka. Bercelana gringsing, bertelanjang dada. Rambutnya awut-awutan. Tubuhnya kotor penuh tanah bercampur darah.
            “Terimalah permohonan ampun dan sembah sujud kami. Duh pangeran, terlalu berharga kami untuk mendapat kunjungan seperti ini. Bertitahlah, apapun akan kami lakukan meski harus nyawa hamba yang paduka inginkan,” nada bicaranya begitu tegas. Sama seperti saat ia masih mengenakan ageman pasukan khusus kerajaan.
            Tiba-tiba saja Medang Dangdi maju selangkah. Ia jatuhkan tubuhnya di depan lelaki tua itu. “Sungguh dewata begitu agung. Ia yang menuntun kami menuju rumahmu. Pamanda  Macan Kuping terimalah hormatku,” ujarnya.
            “Macan, angkat kepalamu, ku terima sembahmu,” penuh prabawa Dyah Wijaya berkata.  Macan Kuping mengangkat kepalanya tanpa menggerakkan badannya dan segera Lembu Sora, Nambi, Wirogati dan arya lainnya mengambil sikap hormat. Sedang Gajah Pagon kembali terduduk.
            “Cepat Macan, aku tak butuh basa-basi ini. Tolonglah Pagon. Ia terluka parah,” pinta Sanggramawijaya yang sama sekali tak terlihat seperti pewaris tahta. Ikatan rambutnya terlepas, terurai hingga separo bidang punggungnya.
            Tanpa kata Macan meraih kaki Pagon. Mata tombak itu masih tertancap disana, meski batangnya sudah dipatahkan. Sekali hentak ia dorong tombak itu hingga keluar menembus paha yang telah membiru bersemu ungu.
            “Ahh.......” Pagon terpekik keras. Ia lepaskan rasa sakit itu melalui teriakan yang menggema hingga menakuti tekukur, kepodang dan burung-burung hutan. Berhamburan mereka terbang dari sarangnya di pucuk-pucuk pepohonan pinus, kluwek, kapuk dan trembesi.
            Tumbukan dedauan yang dibawa Nyi Wuruh ditutupkan pada lubang mengangah di kaki Gajah Pagon. Ia tutup dengan lembaran suruh merah dan diikat dengan tali gedebog pisang.
            Gajah Pagon meringis, apalagi saat pangkal pahanya diikat erat tali pilinan gedebog pisang kering. “Tombak ini beracun. Dan racunnya sudah menyebar hampir ke seluruh tubuhmu,” ucap Macan Kuping tanpa ekspresi.
            Sejenak semuanya terdiam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka masing-masing. Keheningan itu terpecah saat terdengar suara Sanggramawijaya, “Macan, aku dan semuanya akan menyeberang ke Madura. Aku akan menemui kakeknda Arya Wiraraja di Songeneb 23)”.
            Hamba akan menugaskan warga untuk mengantar paduka pangeran ke Rembang. Mereka juga yang akan mempersiapkan perahu untuk paduka menuju Songeneb. Tapi...,” agak ragu-ragu Macan Kuping meneruskan perkataannya.
            “Kamu mau bilang apa. Bicara Macan,” perintah Sanggrama Wijaya. Nada bicaranya tegas penuh wibawa.
            “Paduka akan menempuh perjalanan panjang. Butuh sehari berkuda untuk sampai di Rembang. Paduka juga harus berlayar sekitar tiga hari dua malam sebelum sampai ke Songeneb. Sampai disana kira-kira sehari semalam lagi harus berjalan kaki menuju Batu Putih di sebelah utara bukit kapur yang tandus. Saya persiapkan bekal untuk Paduka,” nada bicaranya pelan dan terkesan hati-hati.
“Aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu Macan. Kenapa kamu tidak berterus terang,” selidik Sanggramawijaya. Matanya tajam menatap lawan bicaranya. Sedang yang diajak bicara terus menunduk.
“Ampun Paduka Pangeran.....,” keluh rasanya ludah yang ia telan. Sementara yang lain seakan tak sabar menunggu. “Bicaralah Macan,” tegas Dyah Wijaya lagi.
“Sekali lagi ampun Paduka. Bukan hamba meragukan kedigdayaan Senapati Pagon. Tapi hamba khawatir.....” ia hentikan lagi bicaranya.
Meski tak terucap, Sanggramawijaya mengerti maksudnya. Iapun menatap Gajah Pagon yang langsung tertunduk. Lalu bergantian ia tatap mata semua aryanya. Tak ada ekspresi apapun. Semuanya mematung, bisu.
“Kalau begitu biarlah Pagon tinggal di rumahmu dulu. Rawatlah ia hingga sembuh. Setelah itu bolehlah ia menyusulku ke Songeneb atau tunggu satu diantara kami yang akan menjemputnya kemari,” sabdanya.
“Ampun paduka Pangeran. Untuk yang itu, hamba tak bisa,” balas Macan Kuping yang mengagetkan bak sambaran petir di puncak pohon ndaru. Semua mata langsung tertuju para pria yang tetap tegap di usia tuanya. Masih jelas terlihat sisa-sisa kekekaran tubuhnya di balik kulitnya yang telah keriput. (bersambung)


1.     Songeneb Adalah nama kadipaten di ujung timur pulau Madura. Nama ini diambil dari bahasa Jawa Kuno yang berarti lembah yang tenang. Penggunaan nama itu muncul dari surat keputusan Raja Tumapel, Kertanagara saat menempatkan salah satu pejabatnya, Arya Wiraraja sebagai Adipati di Songeneb pada 31 Oktober 1269.
Baru pada awal abad ke 18, Pemerintah Kolonial Belanda mengubah nama Songeneb menjadi Sumenep karena nama baru itu lebih mudah pengucapannya dalam lafal Belanda serta untuk politik budaya yakni penggantian nama demi menancapkan pengaruh Belanda seperti yang dilakukannya di Batavia dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar