Kamis, 10 Januari 2019

Novel Sejarah Bersambun - Mereka yang Terkhianati - Bagian 6

“Hamba sudah mendengar jika paduka tengah dikejar-kejar pasukan Gegelang. Dan mereka pasti sedang menuju kemari. Jika mereka temukan Senopati Pagon disini, mereka akan membakar habis desa kami dan membunuh semua pria dan membawa pergi anak-anak gadis kami. Sekali lagi mohon ampun Paduka,” ucapnya lagi.
Gajah Pagon memaksa bangkit dari tidurnya. Ia menyembah junjungannya. “Ampun Pangeran. Sebaiknya pangeran, Gusti Ayu dan semuanya berangkat ke Songeneb sekarang. Saya akan kembali masuk hutan untuk menerjang orang-orang Dhaha keparat itu,” kepalanya diangkat.
Ia pandang wajah junjungannya. Darah kembali mengucur dari lubang kakinya. Warnanya merah kehitaman. “Hamba siap mati demi keselamatan Pangeran dan rakyat Tumapel,” tandas Gajah Pagon.
Ia coba untuk berdiri, tapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang. Cepat Medang Dangdi menahannya, “perkenankan hamba mendampingi Kakang Pagon Pangeran. Percayalah, kami tidak akan mati sia-sia”.
“Baringkan tubuhmu Pagon. Duduklah Dangdi. Mati bukan cara yang tepat untuk menunjukkan bhakti kalian kepadaku sekarang ini,” Sanggramawijaya bangkit dari duduknya. Ia tahu saat inilah kemampuannya diuji. Ia harus membuat keputusan terbaik bagi semua kawulanya, sebagaimana layaknya sang nata.
Ia balik tubuhnya. Dipandanginya rerumbutan hutan di depannya. Ia pun tahu, saat ini para satria pilih tanding dari Dhaha tengah berlari menerobos hutan itu untuk mengejarnya.
Ia pejamkan matanya. Mata hatinya melihat desa Kudadu yang tenteram akan berubah jadi karang abang 24). Perempuan dan anak-anak menjerit berlarian. Sedang tubuh-tubuh lelaki bergelimpangan di jalan, di sawah, di ladang. Berserak dimana-mana.
Padi, kubis dan sayuran lain akan tertimbun bangkai. Beningnya sungai akan memercikkan darah yang anyir baunya. Tanah desa yang coklat akan berubah memerah.
Sanggramawijaya membuka matanya. Bayang kengerian masih merona di wajahnya. Kebijaksanaannya pasti tak akan membiarkan rakyatnya menjadi korban demi keselamatan dirinya. Tapi ia juga tak akan melepas abdi-abdi setianya menyabung nyawa mereka.
Terngiang di ingatannya ucapan Nambi kala ia hendak nekad menyerbu sendiri keraton Singhasari yang telah berada dalam kekuasaan pasukan Gegelang. “Aku harus tetap hidup untuk menegakkan kembali panji-panji Singhasari yang dirobohkan Jayakatwang. Nanti, jika saat yang ditentukan Dewata telah tiba,” ucapnya dalam hati. Tangannya terkepal keras.
Ia balikkan tubuhnya lagi. “Macan,” mantap nadanya. Yang dipanggil buru-buru menghaturkan sembah. “Sembunyikan Pagon dalam gubug di tengah ladang. Biarkan ia disana hingga aman. Rawatlah lukanya. Dan tunggu sampai aku kembali kesini,” sabdanya.
Macan Kuping kembali menghaturkan sembah. Ia raih potongan tombak penuh darah. Ia arahkan ujungnya ke tanah. Dan sekali hentak, tombak itu amblas hingga ke pusat bumi.    
“Sekarang, siapkan keberangkatanku,” perintah Dyah Wijaya.
“Hamba mohon diri. Sambil menunggu, kiranya paduka berkenan makan dan minum dulu untuk menyegarkan kembali badan paduka,” Macan Kuping beringsut ke belakang.
Ia berjalan pelan menuju pohon kelapa. Ia tengadahkan kepalanya. Butir-butir yang ada di atas sudah matang dan siap dipetik. Ia hentakkan kakinya ke tanah. Dan buah-buah nyiur itupun berjatuhan di sekitar tempatnya berdiri.
Cenil dan Nyi Wuruh bergegas berdiri. Mereka bantu Macan Kuping membawa kelapa-kelapa muda itu untuk disuguhkan pada para tamunya. Macan Kuping memungut degan itu dari tanah. Dicobloskannya jari telunjuk kanannya ke pangkal buah. Hingga berlubang. Begitu ia lakukan pada semuanya. Setelah itu buru-buru ia berlalu.
Rasa haus yang tak tertahankan membuat Dyah Wijaya dan para arya utama Singhasari tak sabar lagi. Mereka tenggak air kelapa muda itu hingga habis tak bersisa. Tapi buah kelapa itu justru terasa kian berat.
Sora yang kelaparan memukul buah kelapa itu dengan tangannya. Ingin rasanya ia korek buah kelapa itu untuk sekedar mengganjal perutnya yang kosong. ‘Brakkk’. Alangkah terkejutnya ia, ternyata tak ia dapati buah yang menempel di kulit kelapa  itu. Isinya berganti dengan nasi.
Lalu semua arya melakukan hal serupa. Pun demikian dengan Dyah Wijaya. Isinya sama. Nasi, putih bersih warnanya, lagi gurih rasanya seperti nasi yang baru diolah dengan rempah-rempah.
“Makanlah cepat, kita harus segera berangkat,” ucap Dyah Wijaya setelah memberikan makanannya pada kekasihnya. Dan ia mengambil buah degan yang masih utuh dari tangan halus itu. (bersambung)

--------------------------------------------

Karang Abang adalah istilah yang dipakai untuk menyebut tempat yang telah terbakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar