ADA banyak dampak dari
peningkatan suhu udara sebagai akibat dari pemanasan global. Kita akan coba
mengupasnya satu persatu dan terperinci, mulai dari akibatnya terhadap alam,
lingkungan dan manusia.
1. Tahun 2008-2012,
Lapisan Es Di Kutub Berkurang Drastis
Pada
tanggal 6 Maret 2008, sebuah bongkahan es seluas 414 kilometer persegi (hampir
1,5 kali luas kota Surabaya) di Antartika runtuh. Padahal, diyakini bongkahan
es itu berada di sana sejak 1.500 tahun lalu.
“Ini akibat pemanasan global,” ujar ketua
peneliti NSIDC Ted Scambos. Menurutnya, lempengan es yang disebut Wilkins Ice
Shelf itu sangat jarang runtuh.
Setelah
adanya perpecahan itu, bongkahan es yang tersisa tinggal 12.950 kilometer
persegi, ditambah 5,6 kilometer potongan es yang berdekatan dan menghubungkan
dua pulau.
“Sedikit lagi, bongkahan es terakhir ini bisa
turut amblas. Dan, separo total area es bakal hilang dalam beberapa tahun
mendatang. Beberapa kejadian akhir-akhir ini merupakan titik yang memicu dalam
perubahan sistem,” ujar Sarah Das, peneliti dari Institut Kelautan Wood Hole.
Mencairnya es saat ini berjalan jauh lebih
cepat dari model-model prediksi yang pernah diciptakan oleh para ilmuwan.
Beberapa prediksi awal yang pernah dibuat sebelumnya memper-kirakan bahwa
seluruh es di kutub akan lenyap pada tahun 2040 sampai 2100.
Tetapi data es tahunan yang tercatat hingga
tahun 2007 membuat mereka berpikir ulang mengenai model prediksi yang telah
dibuat sebelumnya. Para ilmuwan mengakui bahwa ada faktor-faktor kunci yang
tidak mereka ikutkan dalam model prediksi yang ada.
Dengan menggunakan data es terbaru, serta
model prediksi yang lebih akurat, Dr. H. J. Zwally, seorang ahli iklim NASA
membuat prediksi baru yang sangat mencengangkan. Hampir Semua Es Di Kutub Utara Akan Lenyap Antara Tahun 2008
- 2012!
2. Permukaan laut
Meningkat, Pulau-Pulau Kecil Tenggelam
Mencairnya
es di kutub utara dan kutub selatan berdampak langsung pada naiknya level
permukaan air laut. Para ahli memperkirakan apabila seluruh Greenland mencair
maka level permukaan laut akan naik sampai 7 meter! Naiknya permukaan air laut
ini cukup untuk menenggelamkan seluruh pantai, pelabuhan dan dataran rendah di
seluruh dunia.
Di Indonesia, kenaikan permukaan air laut
diperkirakan bakal menenggelamkan kurang lebih 50 meter daratan dari garis
pantai kepulauan Indonesia sepanjang 81 ribu km.
Jika itu terjadi diprediksi ribuan pulau
kecil akan terhapus dari peta Nusantara. Selain itu 405 ribu hektar daratan
yang meliputi 14 ribu desa di pesisir pantai Indonesia akan tenggelam pada
tahun 2015.
3. Gletser Mencair,
Sumber Air Bersih Dunia Kian Menipis
Tentu
kamu sudah pernah mendengar nama Pegunungan Himayala, Pegunungan Alpen,
Jayawijaya dan gunung-gunung lain di belahan dunia yang berselimutkan salju abadi.
Bentang alam itu tidak hanya memanjakan mata
sebagai sajian pemandangan yang indah namun juga menjadi sumber air yang
penting bagi sungai-sungai besar yang mengalir hingga ke hulu.
Misalnya saja air yang mengaliri sungai
Gangga di India, 70 persen berasal dari lapisan es di pegunungan Himalaya. Jika
gletser seluas 33 km persegi di atas pegunungan itu mencair lebih cepat maka
akan terjadi krisis air yang parah dan berujung pada kekeringan.
4. Bencana Terjadi
Silih Berganti
Menurut
sebuah laporan yang baru dikeluarkan oleh Federasi Internasional Palang Merah
dan Masyarakat Bulan Sabit Merah (IFRC), bencana cuaca telah meningkat selama
dekade terakhir ini.
Dekade 1990-an lalu, IFRC mencatat terjadi
200 kali bencana alam berskala besar di seluruh penjuru dunia. Namun di era
tahun 2000-an, volumenya melonjak hingga 350 kali per tahun.
Penelitian para ahli menunjukkan bahwa
kekuatan perusakan oleh gempa bumi meningkat dengan laju yang sangat
mengkhawatirkan dan kecenderungan ini terus berlanjut.
Ahli geologi, Bill McGuire dari Hazard
Research Center dari University College London, seperti ditulis LiveScience
mengatakan bahwa gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, dan tanah
longsor, adalah bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim.
Menurut Mc Guire, ada dua penyebabnya. Yang
Pertama, gangguan keseimbangan kerak Bumi. Lapisan es di kutub yang memiliki
berat menekan kerak Bumi yang berada di bawahnya.
Karena es mencair, kerak di bawahnya berusaha
mencari keseimbangan baru. Pergeseran keseimbangan ini dapat memicu aktivitas
magma di dalam kerak Bumi maupun aktivitas gempa bumi.
“Pada akhir Zaman Es, tercatat adanya
peningkatan besar-besaran aktivitas seismik bersamaan dengan penyusutan lapisan
es di Skandinavia maupun tempat-tempat lain seperti itu dan memicu tanah
longsor di bahwa laut yang pada akhirnya memicu tsunami,” ungkap Mc Guire.
Penyebab kedua, tekanan air laut. Suhu laut
yang bertambah panas mengakibatkan air laut memuai. “Memuainya air laut
ditambah es yang mencair ke dalam laut menekan kerak Bumi di bawahnya. Hal ini
dapat menekan magma apapun yang ada di sekitarnya keluar dari gunung berapi
sehingga memicu letusan,” urai Mc Guire.
Mekanisme ini dipercaya menjadi penyebab
letusan periodik Gunung Pavlof di Alaska yang meletus setiap musim dingin
ketika permukaan air laut lebih tinggi. Mc Guire sendiri melakukan penelitian
yang dimuat pada jurnal Nature pada tahun 1997.
Berbicara
tentang pengaruh pemanasan global melalui kejadian-kejadian ekstrem ini,
Sekretaris Jendral IFRC Dr. Bekele Geleta berkata, “Bencana-bencana yang
disebabkan perubahan iklim akan lebih mengancam kehidupan dan mata pencaharian
dibandingkan masa kapanpun sebelumnya.”
Pemanasan global dapat direduksi bahkan
dihentikan dengan tindakan nyata sesegera mungkin. Tidak ada yang bisa
menyelamatkan Bumi selain warga Bumi sendiri. Tidak ada tempat untuk sembunyi
atau pindah ke luar Bumi, karena belum diketemukan planet layak huni seperti
Bumi.
Jadi sebelum bencana alam semakin sering
terjadi, sebelum semakin banyak korban jiwa berjatuhan, sebelum udara dan air
semakin langka di Bumi, ayo kita sungguh-sungguh ‘Sayangi Bumi’!
5. Ekosistem
Tergoncang
Makin
tingginya suhu rata-rata permukaan bumi juga mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap ekosistem bumi, terutama tumbuhan dan kehidupan hewan.
Contohnya,
populasi burung pinguin di daerah kutub mengalami kemerosotan yang tajam.
Selama 30 tahun terakhir dari 32 ribu pasang pinguin, kini jumlahnya tersisa 11
pasang saja.
Pun demikian dengan beruang kutub yang terus
turun jumlahnya hingga diperkirakan mamalia terbesar di daratan es itu akan
punah pada 2100 mendatang.
Disisi
lain populasi kumbang pemakan cemara justru tumbuh pesat. Akibatnya dalam
tenggang waktu 20 tahun terakhir sedikitnya 4 juta hektar hutan cemara di Alaska
lenyap.
Namun yang paling terancam kehidupannya
adalah para reptil. Seperti yang kita ketahui, reptil adalah hewan berdarah
dingin dan tidak memiliki kelenjar keringat seperti hewan lainnya atau manusia.
Artinya mereka sangat tergantung pada panas matahari atau kehangatan batu, kayu
dan tanah untuk mempertahankan suhu badannya.
Dan jika terjadi perubahan iklim dan
peningkatan suhu yang drastis, maka akan banyak diantara para reptil itu yang
tidak mampu beradaptasi hingga mengalami kematian. Saat ini saja spesies katak
Harlequin yang hidup di hutan tropis Amerika Tengah dan Selatan hanya tersisa
30 persennya saja.
Perubahan iklim juga berdampak buruk pada
ekosistem di lautan. Jika suhu air laut kian panas maka akan terjadi kenaikan
tingkat keasaman air laut. Kondisi ini mem-buat terumbu karang rusak dan mati.
Celakanya yang paling merasa diuntungkan
dengan perubahan iklim ini justru serangga berbahaya yang hidup di daerah
tropis seperti nyamuk, lalat, wereng dan sebagainya.
6. Perubahan
Iklim/cuaca yang Makin Ekstrim
Beberapa
tahun lalu, setiap kali bulan Desember tiba, para pedagang kaki lima (PKL),
pedagang asongan, pengusaha kerupuk dan bidang usaha lainnya yang membutuhkan
cerahnya cuaca sudah mulai resah. Pasalnya, inilah saat hujan akan mulai turun
setiap harinya hingga menjelang bulan April bahkan Mei.
Sebaliknya para pedagang bakso, ojek payung
dan lainnya justru bergembira. Karena bagi para pedagang itu, inilah saat yang
tepat untuk mendongkrak penghasilannya.
Datangnya musim hujan yang tepat pada
waktunya tentunya sangat dinanti para petani, terutama yang bercocok tanam di
lahan tadah hujan. Bagi mereka turunnya titik-titik air dari langit adalah
berkah yang tak terhingga.
Namun saat ini, datang dan perginya musim
seakan sudah tak dapat dipastikan. Musim penghujan tiba tak tentu. Bisa kapan
saja hingga musim pancaroba yang justru terasa begitu panjang.
Bahkan kali ini Badan Meteorogi, Mitigasi dan
Geofisika (BMKG) memperkirakan hujan baru akan turun di akhir Desember dan
sudah mencapai puncaknya pada pertengahan Januari hingga Pebruari.
Musim hujan kali ini juga diprediksi akan
berlangsung lebih singkat namun dengan intensitas dan volume yang besar plus
hembusan angin yang relatif kencang.
Perubahan cuaca dan iklim bumi yang kian
ekstrim itu terjadi akibat pemanasan global. Pola curah hujan berubah-ubah
tanpa dapat diprediksi sehingga menyebabkan banjir di satu tempat, tetapi
kekeringan di tempat yang lain. Topan dan badai tropis baru akan bermunculan
dengan kecenderungan semakin lama semakin kuat.
Tanpa diperkuat oleh pernyataan NASA itupun
kamu pasti sudah dapat melihat efeknya pada lingkungan di sekitar kita. Kamu
juga dapat mencermati kasus-kasus badai ekstrim yang belum pernah melanda
wilayah-wilayah tertentu di Indonesia.
Tahun-tahun belakangan ini kita makin sering
dilanda badai-badai yang mengganggu jalannya pelayaran dan pengangkutan baik
melalui laut maupun udara.
Kamu tentu menyadari betapa panasnya suhu di
sekitar Anda belakangan ini. Anda juga dapat melihat betapa tidak dapat diprediksinya
kedatangan musim hujan ataupun kemarau yang mengakibatkan kerugian bagi petani
karena musim tanam yang seharusnya dilakukan pada musim kemarau ternyata malah
hujan.
Bila fenomena dalam negeri masih belum cukup,
kamu juga bisa mencermati berita-berita internasional mengenai bencana alam di
berbagai belahan dunia.
Badai
topan di Jepang dan Amerika Serikat terus memecahkan rekor kecepatan angin,
skala, dan kekuatan badai dari tahun ke tahun. Curah hujan dan badai salju di
China juga terus memecahkan rekor baru dari tahun ke tahun.
Kamu dapat mencermati informasi-informasi ini
melalui media massa maupun internet. Tidak ada satu benua pun di dunia ini yang
luput dari perubahan iklim yang ekstrim ini.
7. Kelaparan
Dimana-mana
Pada
umumnya, semua bentuk sistem pertanian sensitif
terhadap perubahan iklim. Saat ini Indonesia diprediksi akan mengalami
lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun. Intensitas hujan akan
meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin pendek.
Dampak yang nyata adalah meningkatnya risiko
banjir. Secara umum, perubahan cuaca akan memicu kemarau panjang dan
penurunan kesuburan tanah.
Hal
ini akan mempengaruhui kelangsungan produksi pangan secara nasional. Pemanasan
global juga mengandung resiko yang besar akan kegagalan panen dan kematian
hewan ternak.
Global warming juga mempengaruhi pola
presipitasi, evaporasi, water run-off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang
sangat fluktuatif yang secara keseluruhan mengancam keberhasilan produksi
pangan.
Kajian terkait dampak perubahan iklim pada
bidang pertanian oleh National Academy of Science/NAS (2007) menunjukkan bahwa
pertanian di Indonesia telah dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan
tahunan dan antar tahun yang disebabkan oleh Austral-Asia Monsoon and El
Nino-Southern Oscilation (ENSO).
Sebagaimana dilaporkan oleh FAO (1996),
kekeringan akibat kemarau panjang yang merupakan efek El Nino pada tahun 1997
telah menyebabkan gagalnya produksi padi dalam skala yang sangat besar yaitu
mencakup luasan 426.000 ha.
Selain tanaman padi, komoditas pertanian
non-pangan yang lain seperti kopi, coklat, karet dan kelapa sawit juga
mengalami penurunan produksi yang nyata akibat adanya kemarau panjang.
Suatu simulasi model yang dikembangkan oleh
UK Meteorgical Office sebagaimana dilaporkan DFID (2007), memprediksikan bahwa
perubahan cuaca akan menurunkan produksi pangan di Jawa Barat dan Jawa Timur
akibat penurunan kesuburan tanah sebesar 2-8 persen.
Degradasi
kesuburan lahan tersebut akan memicu penurunan produksi padi 4 persen per
tahun, kedele sebesar 10 persen serta produksi jagung akan mengalami penurunan
luar biasa sampai dengan 50 persen.
Menurut laporan Rossane Skirble (2007),
perubahan cuaca dan pemanasan global dapat menurunkan produksi pertanian antara
5-20 persen. Negara-negara dengan kondisi geografis yang lebih khusus seperti
India dan Afrika akan mengalami penurunan produksi pertanian yang lebih tinggi
lagi.
Disisi lain, perubahan iklim justru kian
menyuburkan hama penyakit bagi tanaman. Sebagai contoh bakteri penyebab
penyakit kresek pada padi, juga cendawan penyebab penyakit layu pada bawang
merah.
Faktor iklim juga berpengaruh terhadap
ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Sebagai contoh tanaman
vanili mengalami stres karena terlalu banyak cahaya, sehingga tanaman tersebut
rentan terhadap penyakit busuk batang. Diketahui pula makin meningkatnya
populasi dan kerusakan hama Thrips sp. pada tanaman cabai.
Jika sudah begini keadaannya maka jumlah
bahan pangan akan terus menurun sementara jumlah manusia kian meningkat. Jurang
perbedaan inilah yang menjadi faktor terjadinya kelaparan dimana-mana.
Tiap hari kurang-lebih 24.000 orang meninggal
karena lapar atau hal-hal yang berkenaan dengan kelaparan.Kebanyakan dari
kematian karena lapar itu disebabkan oleh malnutrisi yang kronis akibat dari
(keadaan bahwa) penderita tidak dapat mendapatkan makanan yang cukup.
Diperkiran bahwa didunia ada kira-kira 800
juta penderita kelaparan dan malnutrisi, yaitu 100 kali lebih banyak dari yang
meninggal karena kelaparan dan mal-nutrisi itu setiap tahunnya.
8. Penyakit Mewabah
Berdasarkan
Data Organisasi Kesehatan dunia (WHO) sebanyak 30 penyakit baru yang muncul
sepanjang tahun 1976-2008 akibat perubahan iklim dan pemanasan global.
Mantan staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup,
Amanda Katil Niode mengatakan munculnya penyakit ini karena temperatur suhu
panas bumi yang terus meningkat. Yang paling jelas kelihatan penyakit demam
berdarah, kolera, diare, disusul virus ebola yang sangat mematikan.
Menurut dia, masalah kesehatan akibat
pemanasan global memang sangat dirasakan parahnya oleh negara-negara berkembang
yang sebagian masih miskin karena minimnya dana sehingga tak mampu lagi
melaksanakan berbagai program persiapan dan tanggap darurat.
Perubahan cuaca dan lautan dapat berupa
peningkatan temperatur secara global (panas) yang dapat mengakibatkan munculnya
penyakit-penyakit yang berhubungan dengan panas (heat stroke) dan
kematian, terutama pada orang tua, anak-anak dan penyakit kronis.
Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan
gagal panen sehingga akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang
ekstrem dan peningkatan permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara
dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan bencana alam
(banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma.
Timbulnya bencana alam biasanya disertai
dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul
penyakit, seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma
psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak
pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases) maupun
penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kita ambil
contoh meningkatnya kejadian Demam Berdarah. Nyamuk Aedes aegypti
sebagai vektor penyakit ini memiliki pola hidup dan berkembang biak pada daerah
panas.
Hal itulah yang menyebabkan penyakit ini
banyak berkembang di daerah perkotaan yang panas dibandingkan dengan daerah
pegunungan yang dingin.
Namun dengan terjadinya Global Warming,
dimana terjadi pemanasan secara global, maka daerah pegunungan pun mulai
meningkat suhunya sehingga memberikan ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini
berkembang biak.
Degradasi Lingkungan yang disebabkan oleh
pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada waterborne diseases
dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi
gas-gas pabrik yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap
penyakit-penyakit saluran pernafasan seperti asma, alergi, coccidiodomycosis,
penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.
(Luddy Eko Pramono,
Buku Cintai Tanahmu : Kasihi Airmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar