By : Luddy Eko Pramono
DULUNYA, desa-desa yang
tergenang luapan lumpur Sidoarjo adalah
wilayah pemukiman penduduk yang padat. Gerak ekonomi sosial warga setempat
ditopang usaha pertanian, peternakan, pertambakan, jasa, perdagangan dan
industri. Tapi sekarang semuanya sudah hilang.
Catatan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(BPLS), menyebutkan lebih dari 41.700 warga harus terusir dari kampung
halamannya di 18 desa, tersebar di 3 kecamatan.
Dari atas tanggul setinggi kira-kira
11 meter dengan ketebalan 8 meter itu yang terlihat hanyalah lautan lumpur yang
begitu luas. Tercatat 680 hektar lahan disana telah berubah wujud menjadi danau
lumpur yang mengering di musim kemarau dan penuh dengan air di musim penghujan.
Dari kejauhan masih bisa dilihat semburan asap putih yang keluar dari lubang
pusat semburan sudah tak lagi tinggi.
Data yang ada di BPLS menyebutkan kawasan
yang masuk peta terdampak lumpur luasnya 1.100 hektar. Dan mesti lumpur masih
juga menyembur hingga saat ini, namun diupayakan lahan yang terdampak tak akan
meluas.
Meski sudah demikian besar dampak
yang ditimbulkan, namun hingga kini faktor penyebab utama terjadinya semburan
lumpur itu masih menjadi perdebatan. Padahal masalah ini bahkan sudah masuk ke
ranah hukum bahkan telah berstatus inkrach (berkekuatan hukum tetap).
Informasi awal yang didapat dari
berbagai sumber menyebutkan semburan lumpur itu disebabkan oleh kesalahan
prosedur pengeboran yang dilakukan pihak Lapindo Brantas Inc. yakni tidak dipasangnya
chasing secara layak pada sumur bor hingga mengakibatkan underground blowout
atau ledakan bawah-tanah.
Lapindo Brantas melakukan pengeboran sumur
Banjar Panji-1 pada awal Maret 2006 dengan menggunakan perusahaan kontraktor
pengeboran PT Medici Citra Nusantara. Kontrak itu diperoleh Medici atas nama
Alton International Indonesia, Januari 2006, setelah menang tender pengeboran
dari Lapindo senilai US$ 24 juta.
Rencana awalnya, sumur tersebut akan
dibor hingga kedalaman 8.500 kaki (2.590 meter) untuk mencapai formasi Kujung
(batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing ) yang
ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi
circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida
formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Dalam siaran pers yang diberikan Lapindo
Brantas Inc pada wartawan per 15 Juni 2006 disebutkan kontraktor telah memasang
casing 30 inchi pada kedalaman 150 kaki, casing 20 inchi pada 1195 kaki, casing
(liner) 16 inchi pada 2.385 kaki dan casing 13-3/8 inchi pada 3.580 kaki.
Dari batas itu pemboran terus dilakukan tanpa
melakukan pemasangan casing 9-5/8 inchi karena belum mencapai formasi Kujung
yang ditargetkan dan diperkirakan ada di kedalaman 8.500 kaki. Setelah
kedalaman mencapai 9.297 kaki, akhirnya mata bor menyentuh batu gamping. Di
kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis tanah tidak stabil &
kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural fissures) yang bisa sampai
ke permukaan. Kesalahan itulah yang menimbulkan semburan gas berikut material
perut bumi lainnya dari lubang-lubang yang ada di permukaan tanah.
Berdasarkan informasi ini, pada 24 Juli 2006
atau 27 hari setelah semburan, pihak kepolisian daerah (Polda) Jatim pun
menetapkan General Manager Lapindo Brantas, Imam Agustini, Vice President
Drilling Share Service PT Energi Mega Persada, Nur Rohmat Sawolo dan Dirut PT
Medici Citra Nusa (subkontraktor) Yenny Nawawi sebagai tersangka dalam kasus
ini. Para tersangka dijerat Pasal 187 dan Pasal 188 KUHP dan UU No 23/1997
Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 42 tentang pencemaran lingkungan, dengan ancaman
hukum 12 tahun penjara.
Pendapat itulah yang juga
menempatkan Lapindo Brantas inc sebagai pihak yang dianggap paling bertanggungjawab
atas masalah ini sehingga merekapun wajib memberikan kompensasi para warga
setempat, pengusaha lokal, pemerintah daerah dan pusat serta BUMN yang
menderita kerugian akibat peristiwa tersebut.
Namun berikutnya muncul pendapat
dari beberapa ahli geologi nasional dan internasional yang mengatakan luapan
lumpur tersebut sebagai dampak dari gempa bumi Yogyakarta yang terjadi beberapa
hari sebelumnya.
Pendapat ini muncul dari forum International
Conference & Exhibition di Cape Town Afrika Selatan. Dalam forum yang
digelar 26-29 Oktober 2008 ada pendapat dari tiga orang ahli geologi Indonesia
yang menyebut gempa Yogya sebagai penyebab semburan lumpur di Sidoarjo. Namun
pendapat tersebut disanggah 42 orang ahli lainnya. Selain itu ada juga 13 ahli
menyatakan kombinasi Gempa dan kesalahan pengeboran sebagai penyebab utamanya.
Dalam kesempatan lainnya, ada pula ahli
geologi yang menyebut luapan lumpur tersebut sebagai fenomena alam biasa yang
sudah terjadi sejak puluhan, bahkan ratusan tahun yang lalu. Disebutkan, jumlah
lumpur di Sidoarjo yang keluar dari perut bumi sekitar 100 ribu meter kubik
perhari, tidak mungkin keluar dari lubang hasil pemboran selebar 30 cm.
Di seluruh dunia kurang lebih telah terjadi
sebanyak 700 kasus serupa dengan 300 kasus terjadi di Azerbaijan. Luapan lumpur
itu merupakan tanda-tanda adanya kandungan minyak bumi yang tinggi di bawah
tanah. Kasus terbesar (Azerbaijan) mencapai luasan dengan diameter 10 km dan
membentuk gunung baru.
Kasus luapan lumpur panas Porong menjadi luar
biasa karena terjadi di daerah pemukiman dan industri. Luapan lumpur akan
berhenti dengan sendirinya saat tekanan udara yang ada di perut bumi dengan
yang ada di permukaan bumi sama, dan tidak bisa dihentikan secara teknis.
Dan berpegang pada pendapat itulah
Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan putusannya terhadap gugatan yang disampaikan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 3 April 2009 yang menyebut
kasus lumpur Sidoarjo
merupakan bencana alam. Akibatnya pertanggungjawaban dialihkan pada negara
melalui dana APBN tiap tahunnya.
Terkait kasus pidana yang ditangani
kepolisian, pihak penyidik Polda Jatim pun mengeluaran Surat Perintah
Penghentian Penyelidikan (SP3) atas kasus yang melibatkan para tersangka
tersebut. Alasan yang dipakai, dasar hukum pidananya otomatis gugur setelah
pihak MA menolak gugatan perdata yang disampaikan YLBHI dan Walhi kepada
Lapindo dan pemerintah.
Berikutnya pemerintah mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) tentang luapan lumpur Sidoarjo bernomor 40/2009
yang merupakan penyempurnaan dari piranti hukum serupa bernomor 14/2007. Kini
Perpres itupun juga telah diubah menjadi Nomor 68 tahun 2011.
Dalam surat itu pemerintah hanya membebankan
pada Lapindo pembelian lahan bersertifikat di desa Kedungbendo, Renokenongo
serta Kelurahan Siring dan Jatirejo. Sedangkan desa-desa lainnya yang masuk ke
dalam peta area terdampak biaya ganti ruginya sepenuhnya ditanggung APBN,
begitu juga penanganan infrastruktur yang rusak. Adapun nilai ganti rugi yang
diberikan distandarkan dengan patokan Rp 120 ribu untuk tanah sawah, Rp 1 juta
untuk tanah kering dan Rp 1,5 juta untuk bangunan yang dihitung per meter
perseginya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar