DALAM salah satu karya naskah dramanya yang berjudul
Antigone, Sopokles mengatakan ‘dari segala mahkluk yang diciptakan, manusia
yang paling luar biasa. Samudera raya ditaklukannya, gunung dan lembah ia
tundukkan. Topan, badai dan amuk gelombang pun dilawannya’.
Dan
memang itulah faktanya. Hampir tak ada jengkal bumi yang tak didiami manusia.
Di dalam gelapnya rimba belantara, di tengah kerontangnya gurun pasir bahkan di
membekunya kawasan kutub.
Akalnya
dipakai untuk menyiasati kejamnya alam. Bahkan dari alam itulah mereka
mendapatkan kehidupan. Lahan-lahan subur didayagunakan sebagai areal pertanian.
Yang kurang subur direkayasa hingga mampu mentunaskan biji-bijian dan
sebagainya. Bagi manusia alam adalah sumber kehidupan yang berlimpah.
Sayang,
potensi alam semesta yang begitu luar biasa itu dieksploitir secara berlebihan.
Berlipatnya jumlah populasi manusia setiap harinya membuat lahan-lahan kosong
pun kian terkikis menjadi kawasan pemukiman yang sarat dengan kerentanan
ekologis yang besar. Sampah rumah tangga menjadi limbah yang mencemari tanah,
air dan udara.
Dalam
menjalankan usahanya, manusia juga habis-habisan mengekplorasi bumi, air dan
kekayaan alam di dalamnya. Hutan-hutan dibabat untuk areal pertanian,
perkebunan dan kwasan pertambangan bahan mineral.
Pohon-pohonnya
tergerus sebagai bahan baku industri untuk memenuhi keperluan manusia. Lebih
parahnya lagi industrialisasi itu juga menghasilkan berbagai jenis limbah yang
mengotori alam semesta.
Pembakaran
bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batubara) seperti pada pembangkitan tenaga
listrik, penggunaan kendaraan bermotor, AC, komputer dan kegiatan lainnya yang
dilakukan secara berlebihan itulah yang kemudian meningkatkan jumlah berbagai
jenis gas yang berada di lapisan ozon.
Gas-gas
seperti CO2 (Karbon
dioksida),CH4(Metan)
dan N2O
(Nitrous Oksida), HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons) dan SF6 (Sulphur hexafluoride) inilah yang kemudian
menahan sebagian besar panas sinar matahari di atmosfer bumi dan kemudian
memantulkannya kembali.
Secara
alamiah memang begitulah seharusnya. Sebagian sinar matahari yang masuk ke bumi
akan dipantulkan kembali hingga membuat suhu bumi menjadi hangat dan layak
ditempati manusia. Jika tidak ada proses yang disebut efek rumah kaca tersebut
maka suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin daripada patokan
normalnya.
Hanya
saja kare-na terlalu banyak gas-gas pemantul tersebut, maka volume sinar
matahari yang kembali masuk ke bumi menjadi lebih banyak. Kondisi ini diperparah
dengan semakin sedikitnya jumlah pepohonan yang mampu me-nyaring gas-gas
ter-sebut dan kemudian mengolahnya kembali menjadi gas yang lebih ramah.
Akibatnya
suhu rata-rata permukaan bumi meningkat yang kemudian dikenal dengan istilah
Pema-nasan Global atau Global Warming. Jadi nggak salah kalau kamu bilang,
“Aduh...gerah banget ya hari ini!”
Data-data
hasil penelitian para ahli memang menunjukkan planet bumi terus mengalami
peningkatan suhu yang mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Kata Biolin, ahli
iklim, dalam kurun waktu 70 tahun terakhir ini, rata-rata bumi mengalami
kenaikan suhu hingga 7 derajat celcius.
Bandingkan
saja dengan fakta sebelumnya yang menunjukkan kenaikan suhu udara maksimal
hanya 5 derajat celsius dalam 10 juta tahun pada saat dunia berada pada jaman
es hingga jaman antar es.
Makin
panasnya suhu udara di sekitar kita tentu bikin masalah bagi alam dan
lingkungan hidup. Contoh gampangnya adalah tidak menentukan jadwal kedatangan
musim kemarau dan curah hujan yang tidak menentu dari tahun ke tahun.
Selain
itu kita juga melihat makin banyaknya bencana alam dan fenomena-fenomena alam
yang cenderung semakin tidak terkendali belakangan ini. Mulai dari banjir,
puting beliung hingga semburan gas.
Sadarilah
bahwa semua ini adalah tanda-tanda alam yang menunjukkan bahwa planet kita
tercinta ini sedang mengalami proses kerusakan yang menuju pada kehancuran!
Penyebab Pemanasan Global
Penelitian
yang telah dilakukan para ahli selama beberapa dekade terakhir ini menunjukkan
bahwa ternyata makin panasnya planet bumi terkait langsung dengan efek rumah
kaca yang dihasilkan oleh aktifitas manusia.
International
Panel on Climate Change (IPCC) menjelaskan ada beberapa jenis gas rumah kaca
yang bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan yang kita alami, dan
manusialah kontributor terbesar dari terciptanya gas-gas rumah kaca tersebut.
Kebanyakan
dari gas rumah kaca ini dihasilkan oleh peternakan, pembakaran bahan bakar
fosil pada kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern serta pembangkit tenaga
listrik.
Secara
lebih rinci, faktor-faktor penyebab global warming adalah sebagai berikut :
1. Pencemaran Udara
Kontributor
terbesar pemanasan global saat ini adalah Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4)
yang dihasilkan knalpot kendaraan bermotor, cero-bong asap pabrik, agrikultur
dan peternakan (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen
Oksida (NO) dari pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin
ruangan (CFC).
Setiap
gas rumah kaca memiliki efek pemanasan global yang berbeda-beda. Beberapa gas
meng-hasilkan efek pemanasan lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah
molekul metana menghasilkan efek pemanasan 23 kali dari molekul CO2 dalam
rentang waktu 100 tahun. Dan ekses ini bisa menggelembung hingga 72 kali lebih
kuat dalam rentang waktu 200 tahun.
Jadi
semakin banyak metana yang terlepas ke atmosfer berarti makin parah pula
pemanasan global yang kita alami. Sudah saatnya kita sebagai penduduk dunia
untuk melakukan tindakan nyata untuk menghentikan semua proses yang mengarah
pada kehancuran ini.
Sementara
itu molekul NO bahkan menghasilkan efek pemanasan sampai 300 kali dari molekul
CO2. Gas-gas lain seperti chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek
pemanasan hingga ribuan kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah
dilarang di banyak negara karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab
rusaknya lapisan ozon.
2. Industri Peternakan
Laporan
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang peternakan dan lingkungan yang diterbitkan
pada tahun 2006 mengungkapkan sektor peternakan adalah penyumbang terbesar bagi
krisis lingkungan yang paling serius dalam setiap skala, mulai dari lokal
hingga global.
Sektor
peternakan telah menyumbang 9 persen racun karbon dioksida (CO2), 65 persen
nitro oksida (NO) dan 37 persen gas metana (NH4) yang dihasilkan karena ulah
manusia. Gas metana menghasilkan gas rumah kaca 20 kali lebih besar dan nitro
oksida 296 kali lebih banyak jauh di atas karbon dioksida.
Peternakan
juga menimbulkan 64 persen amonia (NaSO4) yang dihasilkan karena campur tangan
manusia sehingga mengakibatkan hujan asam. Selain itu industri peternakan juga
telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air.
Aktifitas
pemeliharaan ayam, sapi, babi, dan hewan-hewan ternak lainnya menyumbang 18 %
penyebab emisi gas rumah kaca. Di sisi lain, mobil, sepeda motor, truk-truk
besar, pesawat terbang, dan semua sarana transportasi lainnya hanya menyumbang
13% emisi gas rumah kaca.
Saat
ini peternakan menggunakan 30 persen dari permukaan tanah di Bumi, dan bahkan
lebih banyak lahan serta air yang digunakan untuk menanam maka-nan ternak.
Menurut
laporan Stein-feld, pengarang senior dari Organisasi Pangan dan Pertanian,
peterna-kan adalah “penggerak utama dari penebangan hutan …. kira-kira 70
persen dari bekas hutan di Amazon telah dialih-fungsikan menjadi ladang ternak.
Selain
itu, ladang pakan ternak telah menurunkan mutu tanah. Kira-kira 20 persen dari
padang rumput turun mutunya karena pemeliharaan ternak yang berlebihan,
pemadatan dan erosi.
Peternakan
juga bertanggung jawab atas konsumsi dan polusi air yang sangat banyak. Di
Amerika Serikat sendiri, trilyunan galon air irigasi digunakan untuk menanam
pakan ternak setiap tahunnya. Sekitar 85 persen dari sumber air bersih di
Amerika Serikat digunakan untuk itu. Ternak juga menimbulkan limbah biologi
berlebihan bagi ekosistem.
Konsumsi air untuk menghasilkan satu kilo makanan
dalam pertanian pakan ternak di Amerika Serikat
1
kg Air
(liter)
Daging
sapi 1.000.000
Ayam 3.500
Kedelai 2.000
Beras 1.912
Gandum 900
Kentang 500
Selain
kerusakan terhadap lingkungan dan ekosistem, industri ternak sama sekali tidak
hemat energi. Untuk memproduksi satu kilogram daging, telah menghasilkan emisi
karbon dioksida sebanyak 36,4 kilo.
Sedangkan
untuk memproduksi satu kalori protein, kita hanya memerlukan dua kalori bahan
bakar fosil untuk menghasilkan kacang kedelai, tiga kalori untuk jagung dan
gandum; akan tetapi memerlukan 54 kalori energi minyak tanah untuk protein
daging sapi!
3. Perusakan Hutan
Hutan
sangat penting bagi kehidupan di muka bumi. Di antara semua ekosistem, hutan
adalah ekosistem terkaya – meliputi hanya delapan persen dari permukaan planet
ini dan merupakan rumah bagi dua pertiga spesies tumbuhan dan hewan darat.
Jutaan orang bergantung secara langsung pada hutan untuk keperluan makanan,
air, obat-obatan dan bahan-bahan dasar lainnya.
Bagi
mereka, hutan mencerminkan budaya dan cara hidup. Di negara-negara berkembang,
satu milyar penduduk dunia termiskin menggantungkan sebagian penghidupan mereka
pada hutan, dan 350 juta penduduk yang hidup di pinggiran hutan menggantungkan
penghidupan dan keselamatan mereka pada hutan.
Hutan
juga penting sebagai pengatur iklim global dan pola-pola cuaca, yang merupakan
sistem-sistem penting dari lingkungan hidup yang mendukung kehidupan di atas
Bumi.
Banyak
dari hutan alam dunia telah rusak parah atau bahkan hilang sama sekali. Manusia
menghancurkan hutan dengan kecepatan luar biasa. Wilayah seukuran lapangan bola
ditebang habis tiap dua detiknya.
Separuh
wilayah hutan yang hilang dalam 10.000 tahun terakhir punah kurang dari 80
tahun yang lalu. Sebagian besar pengrusakan hutan ini terjadi dalam 30 tahun
terakhir.
Hal
ini mengaki-batkan penyusutan dan kepunahan kea-neka-ragaman hayati terbesar di
atas bumi dan dengan demikian menghancurkan kehidupan jutaan orang yang
bergantung pada hutan.
Kecepatan
kepunahan spesies tumbuhan dan hewan kurang lebih seribu kali lebih cepat dari
masa sebelum keberadaan manusia. Para ahli mengatakan bahwa Bumi sedang berada
pada tahap kepunahan besar keenam dan laju kepunahan akan meningkat sepuluh
kali lipat pada tahun 2007.
4. Kesalahan Cara Pengolahan Sampah
Produksi
sampah di Indonesia sebanyak 167 ribu ton/hari yang dibuang mampu mem-produksi
gas metan sebanyak 8.800 ton/hari pada tahun 2008. Itu dihasilkan dari 220 juta
jiwa jumlah pen-duduk Indonesia atau produksi sampah 800 gram/hari/orang.
Dengan
volume sebesar itu, sampah-sampah tersebut menghasilkan emisi metan sebesar
745,2Gg (giga gram) sehingga mempunya konstribusi terhadap kerusakan lapisan
ozon.
Kondisi
tersebut diperparah dengan metode pengelolaan sampah yang masih menggunakan
paradigma lama, yakni kumpul-angkut-buang. Pembakaran sampah dengan insinerator
pun dianggap hanya memindahkan masalah ke pencemaran udara.
Sampah
yang tak dikelola dengan baik justru akan menimbulkan masalah yang serius bagi
manusia. Contohnya perilaku masyarakat yang suka membuang sampah ke sungai bisa
mengakibatkan pendangkalan yang berujung pada banjir.
Pun
demikian dengan tumpukan sampah juga menjadi sumber penyakit yang berbahaya
bagi manusia yang merusak kelestarian alam. Misalnya sampah plastik tidak bisa
diurai dengan cepat. Membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk
mengurainya. Hal inilah yang membuat tingkat pencemaran lingkungan akibat
pengelolaan sampah ibarat kanker sudah memasuki stadium IV.
Menurut
Pengamat lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof Sudharto P
Hadi, selain menerapkan pola pengelolaan sampah yang baik di TPA, misalnya
dengan sistem sanitary renville, penanganan sampah di sektor hulu juga harus
dilakukan agar seimbang.
“Penanganan
sampah di sektor hulu dapat dilakukan dengan langkah `reuse, reduce, dan
recycle` (3R) untuk membatasi debit sampah yang akan terbuang ke hilir,”
katanya.
(Luddy Eko Pramono,
Buku Cintai Tanahmu : Kasihi Airmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar