HAMPIR tengah malam, sekitar jam 12 kurang sedikit. Seorang
teman datang berkunjung ke rumah. Untung aku belum tidur. Masih asyik jagongan
itung-itung butuh dengan istri tercinta. Kedatangan sang teman itu tentu saja
mengagetkanku. Apalagi wajahnya begitu kusut seperti kain sarung yang
diuntel-untel. “Wah arek iki pasti nggowo persoalan,” pikirku kecut.
Benar saja dugaanku. Setelah berbasa-basi sebentar, iapun
mengutarakan masalah pelik yang dialaminya. Istriku tahu diri. Ia segera beringsut
pergi ke dapur. Nggodog wedang kopi. Setelah menyuguhkan minuman hangat itu, ia
pun beranjak tidur.
Lalu sang teman berujar. Katanya ia baru bertengkar hebat
dengan atasannya. Memang bukan bos besar. Tapi atasannya langsung di bagiannya.
Saking hebatnya pertengkaran itu, sampai-sampai ia harus memilih pulang lebih
dulu dari kantor tempatnya bekerja selama ini untuk meredam emosinya.
Ia pun mengaku sudah tak kuat lagi bekerja di tempat itu.
Katanya sang atasan sudah kelewat batas. Otoriter, menurut istilahnya. Semua
perintahnya harus dilakukan meskipun tidak tepat.
Sebaliknya semua masukan, ide dan saran yang
disampaikannya tak pernah digubris meski semuanya dilakukan demi kebaikan
perusahaan tersebut. Bahkan ide-ide itu dimentahkan begitu saja tanpa ada
alasan yang masuk akal dan bisa diterima.
Pernah ia mencoba potong kompas. Menyampaikan langsung
ide dan sarannya itu pada bos besar. Hasilnya memang positif. Idenya diterima.
Sesuai dengan prosedur, sang bos besar pun memerintah atasan itu tadi untuk melaksanakan
ide temanku tadi.
Tapi bukan pujian yang ia terima. Sang teman malah
dicaci-maki oleh atasannya tadi. Dijadikan bulan-bulanan dan sasaran kemarahan.
Ia dibilang sok tahu, sok pintar dan segala bentuk cercaan lainnya.
“Gak pisan-pindo sing koyok ngono iku, Cak. Wis
buolak-balik, sampai pusing aku. Maunya dia, kerja itu gak perlu ngoyo-ngoyo.
Pokok’e kerjo. Ide dan masukanku itu malah dianggap nambah-nambahi gawean. Wong
kreatif kok malah disalahkan,” keluhnya sambil pecuca-pecucu gak karuan.
Yang tambah membuatnya kian mangkel, di kesempatan
lainnya si atasan itu malah kerap menceramahi pegawai di bagian lainnya tentang
bagaimana etika dan aturan bekerja yang baik dan profesional.
Sebagai salah satu orang kepercayaan bos besar, atasan
itu bilang bahwa seorang pegawai dituntut mampu bekerja secara efektif,
produktif dan efisien. Bahkan kalau perlu seorang pegawai harus profesional
dengan melakukan hal-hal yang inovatif dan kreatif.
Emosi sang teman pun membumbung tinggi kala menceritakan
masalah itu. Ia menyebut atasannya itu sebagai gajah diblangkoni. Isok khotbah
tapi gak isok nglakoni. Munafik dan lain-lain.
Ia terus mencerocos. Sementara pikiranku malah
melayang-layang. Aku teringat soal kasus ‘pemerasan’
yang dilakukan oknum wakil kepala sekolah di salah satu SMA Negeri di Surabaya
pada wali muridnya. Dan aku koq yakin, kasus itu hanyalah puncak gunung es di
lautan. Ujung yang terlihat memang kecil, tapi sebenarnya penyimpangan semacam
itu buanyak terjadi. Tidak hanya di SMAN 15, bukan cuma di Surabaya tapi
mungkin di seluruh Indonesia.
Padahal,
guru itu adalah orang yang mendidik generasi bangsa ini. Bukan sekedar pandai
dalam hal akademik, tapi juga mental dan karakter yang mengejawentah melalui
perilaku sehari-hari. Nasib bangsa di masa depan sangat tergantung pada guru.
Tapi kalau gurunya seperti itu, bagaimana dengan muridnya? Podo ae. Gajah
diblangkoni pisan.
Tiba-tiba sang teman tadi mengagetkan lamunanku. “Nek
nurut pean, aku kudu yok opo Cak,” tanyanya. Tanpa pikir panjang aku pun
bilang, “yo wis lho, metuo ae. Aman khan.”
Ia pun membanting putung rokoknya ke
lantai dan menginjaknya dengan keras. “Wah ngawur iki. Terus mangane anak
bojoku melok pean ta,” ucapnya emosi. Aku hanya bisa tertawa ngakak.
(Luddy
Eko Pramono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar