Ditulis kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut tanaman tebu dan juga industri gula dikembangkan di
lebih dari 100 negara, namun perdagangan gula internasional dikuasai oleh
Uni-Eropa, Brazil dan India sebagai produsen terbesar dunia. Ketiga negara
tersebut menyumbang sekitar 40% dari kebutuhan gula dunia setiap tahunnya.
Dulu,
dunia pernah mengenal Indonesia sebagai negara penghasil gula yang sangat potensial.
Tidak hanya untuk memenuhi pasar lokal, namun juga menjadi komoditas ekspor
yang menjadi pundi-pundi devisa bagi negara.
Puncak
produksinya terjadi pada 1929-1930 lalu. Kala itu Indonesia, yang masih
diidentifikasi sebagai Hindia Belanda, mampu memproduksi gula 3 juta ton per
tahun sehingga tercatat sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah
Kuba. Produksi tersebut mengalahkan Brazil, India, dan Thailand yang dikenal
sebagai produsen gula dunia saat itu.
Saat
ini, kondisinya berbalik 180 derajat. Luasan perkebunan tebu yang dikelola
pemerintah maupun masyarakat terus mengalami penyusutan akibat perubahan fungsi
lahan.
Mengutip
data data Dewan Gula Indonesia, Yanto Togi Ferdinand Marpaung dan kawan-kawan
dalam publikasi ilmiah berjudul “Perkembangan Industri Gula Indonesia dan
Urgensi Swasembada Gula Nasional”, pada 2010 luas perkebunan tebu di Indonesia
mencapai 398,8 ha dengan produktivitas panen 31,8 juta ton tebu atau sekitar
5,74 ton/ha.
Angka
ini lebih kecil dibanding era 1930 yang
bisa mencapai 14,79 ton/ha padahal luas areal lahan tebu saat itu baru ada
setengah dari yang ada saat ini. Simatupang dkk dan Dewan Gula Indonesia
mencatat, di tahun itu produksi tebu bisa menembus 25,6 juta ton yang
dihasilkan dari lahan perkebunan seluas 196,592 ha.
Anjloknya
bahan baku tersebut menimbulkan efek domino yang panjang. Satu persatu pabrik
gula yang ada memilih menghentikan proses produksi alias gulung tikar. Buktinya
menurut data Kemenperin 2015, jumlah pabrik gula Indonesia hanya ada 62 unit pabrik. Rinciannya 50 unit
dikelola BUMN dan 12 pabrik swasta.
Angka
ini sepertinya juga bakal kembali turun setelah Holding Perkebunan Nusantara
(PTPN III Persero) berencana akan menutup 11 pabrik gula yang dikelola
pihaknya. Penutupan tiga pabrik gula di PTPN IX, tiga pabrik di PTPN X dan lima
pabrik di PTPN XI akan dilakukan bertahap mulai
2018.
Direktur
Utama Holding Perkebunan Nusantara Dasuki Amsir menjelaskan penutupan itu
terpaksa dilakukan lantaran pabrik-pabrik gula tersebut dinilai tidak mampu
berproduksi maksimal dan tidak efisien karena sudah berusia tua di atas 100
tahun.
Data
dari Litbang Bappenas menyebut, di tahun 2016 lalu jumlah produksi gula
nasional mencapai 2,6 juta ton. Disisi lain Kementerian Perindustrian menaksir kebutuhan
gula nasional di tahun itu mencapai 5,7 juta ton dengan rincian 2,8 juta ton
gula kristal putih konsumsi masyarakat dan 2,9 juta ton gula rafinasi untuk
kebutuhan industri makanan dan minuman.
Perubahan
kondisi tersebut membuat status Indonesia di tatanan perdagangan gula
internasional pun berubah. Jika dulunya berposisi sebagai eksportir, namun
sejak tahun 1967 hingga saat ini Indonesia menjadi negeri agraris yang
bergantung pada impor gula.
Kebijakan
ini berlanjut di setiap pemerintahan pascareformasi, termasuk di era Presiden
Joko Widodo (Jokowi). Pada 2015 lalu pemerintah mematok impor gula sebesar 3,13
juta ton.
Meski
begitu pemerintah tetap percaya diri akan mampu lepas dari jerat impor tersebut.
Dalam roadmap industri gula yang disusun oleh Kemenperin, Pemerintah Indonesia mentargetkan
bisa menghapus kebijakan impor gula secara umum, kecuali bagi industri dengan
persyaratan khusus pada 2015-2019.
Untuk
mencapai target tersebut, pemerintah merencana akan membuka perkebunan tebu
sekaligus dengan pabrik gula baru di luar Jawa, salah satunya di Gorontalo.
Selain itu pemerintah juga akan melakukan penggantian mesin peralatan industri
gula dengan teknologi proses produksi yang inovatif dan efisien.(bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar