Buatan Tionghoa
Dijual Belanda
Ditulis
kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Sejak
pertama kali merambah Nusantara, para pedagang dan kaum imperialis Eropa belum
terlalu tertarik untuk mengembangkan industri gula di Indonesia. Sama dengan
pedagang-pedagang asing lainnya yang datang dari Tiongkok dan Arab, orang-orang
Portugis, Inggris dan Belanda lebih tertarik untuk meraup komoditas lokal yang
juga dibutuhkan dan memiliki nilai tinggi di perdagangan internasional kala
itu, diantaranya lada, cengkeh dan rempah-rempah lainnya.
Lada
menjadi daya tarik utama Nusantara sehingga Belanda mengirim Cornelis de
Houtman dengan 4 kapal ke Banten yang tiba tanggal 15 Juni 1595 dan mulai
menancapkan dominasinya dalam perdagangan disana melalui sebuah wadah bernama
Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC.
Namun
saat itu kegiatan mereka semata-mata dipusatkan pada perdagangan saja karena
Belanda adalah bangsa merkantilis dan bukan industrialis. Benteng-benteng serta
armada kapal VOC disiagakan untuk menjaga keamanan sumber komoditas, menjaga
jalur perdagangannya serta menjaga hegemoni monopoli perdagangan. Aksi
imperialisme Belanda dimulai setelah kedatangan Jan Pieterszoon Coen pada Mei
1619. Ia memindahkan kantor dagang VOC dari Banten ke Sunda Kelapa. Dari
sanalah ia membangun kekuatan yang kemudian menginvasi Jawa setelah menaklukan
penguasa setempat dan mengusir pedagang
Eropa lainnya dan setelah itu kekuasaannya pun dipusatkan di Sunda Kelapa yang namanya
diganti Batavia.
.
Namun
mereka tidak memproduksinya sendiri, VOC melirik produksi gula kristal di
sekitar Batavia yang sudah dikembangkan oleh orang-orang perantauan dari
Tionghoa yang membuka usahanya di sepanjang aliran sungai Ciliwung. Selain
gula, pemrosesan tebu tersebut juga menghasilkan arak yang dikonsumsi kelompok
masyarakat itu sehari-hari.
Saat
itu, pemrosesan tebu menjadi gula dilakukan dengan menggunakan teknologi yang
masih sederhana. Yakni dengan menggunakan dua batu silinder yang menjadi ciri
khusus teknologi Tiongkok dalam memerah nira tebu. Setelah itu nira tebu
dimasak dengan memanfaatkan ketrampilan khusus orang Tionghoa hingga menjadi
gula kristal yang siap dikonsumsi.
Dalam
praktek dagangnya VOC lebih cenderung memaksa orang-orang Tionghoa perantauan
di Batavia untuk meningkatkan kapasitas produksinya sekaligus menjual hasilnya
yang memiliki kwalitas terbaik pada VOC
dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh mereka.
Untuk
itu VOC mendukung perluasan perkebunan tebu di sekitar Batavia. Berhektar-hektar
hutan pun dibabat sebagai lahan baru perkebunan, sedangkan batang-batang
pohonnya digunakan sebagai kayu bakar dalam proses produksi gula.
Sedang
pekerjanya didatangkan dari daerah-daerah pesisir pantai Utara Pulau Jawa
seperti Cirebon, Tegal dan Pekalongan yang dibayar dengan upah rendah. Selain
itu mereka juga mendatangkan budak-budak dari India dan Arakan serta
mengerahkan tenaga tawanan dari Celebes, Bali dan Banda untuk dijadikan tenaga
kerja di perkebunan tebu.
Kumpeni
begitu orang Jawa menyebut VOC, juga menyediakan dana untuk uang panjar atau
persekot sebesar 8.000 gulden setiap tahunnya yang bisa dipakai sebagai modal
kerja para pengusaha gula tersebut.
Untuk
semakin merangsang etos kerja para pengusaha Tionghoa itu, mereka diijinkan
menetap di dalam kota Batavia dan ditempatkan sebagai penduduk kelas 2 setelah
orang-orang Eropa yang bermukim disana. Hasilnya VOC sukses melakukan ekspor
gula pertama dari hasil kerja orang-orang Tionghoa di Batavia ke Eropa pada
tahun 1637 sebanyak 618 ton.
Produktivitas
itu makin digenjot setelah pasokan gula dari koloni Belanda di Brazil mulai
terganggu akibat pertikaiannya dengan orang-orang Portugis pada 1644-1645. Pada
tahun 1652, ekspor gula dari Jawa meningkat menjadi 723 ton dari sentra
penggilingan tebu yang jumlahnya mencapai 20 unit.
Namun
gula-gula itu tak dikirim ke Eropa karena margin keuntungan yang mereka
dapatkan relatif sedikit. Pasalnya harga jual gula di Eropa saat itu cenderung
turun sedangkan biaya yang ditanggung VOC untuk ekspor justru naik karena
kapal-kapal dagang mereka hanya bisa menjangkau Eropa melalui Tanjung Harapan
sehingga patokan harga yang mereka tawarkan kalah bersaing dengan eksportir gula
dari Amerika Selatan.
Untuk
itu mereka mengalihkan pasar mereka ke Asia, yakni ke Malabar-India, Suratthani-Thailand
dan Jepang. Keputusan ini tampaknya tepat. Pasalnya ekspor gula kristal putih VOC
dari Batavia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dan di tahun 1700-an,
volumenya melambung hingga lebih dari 1000 ton. (bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar