Industri Gula Jawa
yang Apungkan Belanda
Ditulis
kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Para administratoer PG. Ketegan - Taman - Sidoarjo. (Foto: koleksi Tropen Museum) |
Sejak
jaman penjajahan, Sidoarjo sudah diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda
sebagai salah satu kekuatan ekonomi. Salah satu indikatornya adalah banyaknya
pabrik gula yang didirikan di sebuah kota kecil bernama Sidoarjo ini setelah
pabrik-pabrik gula lainnya di kawasan Batavia dan sekitarnya runtuh satu
persatu.
Dalam studinya di Karesidenan Pekalongan pada
1830-1870 yang dipublikasikan melalui buku "Kaum Tani dan Budidaya Tebu di
Pulau Jawa Abad ke-19’, G.R Knight mengungkapkan sebelum era sistem tanam
paksa, kegiatan pengolahan tebu menjadi gula untuk pasar ekspor masih sangat
terbatas.“Pembuatan gula hanya dilakukan di
perkebunan-perkebunan milik Tionghoa dan Belanda di Jawa Barat, diantaranya
bertebaran di sekitar Batavia dan di Pasuruan.”
Ada yang menyebut, industri gula di Sidoarjo
pada masa itu cukup potensial daripada industri serupa di Nusantara. Selain
Sidoarjo, daerah lain yang memiliki pabrik gula yang cukup banyak adalah
Situbondo dan Bantul-DIY.
Para pekerja di laboratorium PG. Ketegan - Taman |
Di masa-masa awal penanaman tebu, masih di
era tanam paksa, maskapai dagang Nederlandsche Handel Maatschappi (NHM) berjaya
karena memasarkan komoditas tanam paksa. Kucuran pemasukan membuat maskapai ini
kemudian ikut serta mendongkrak bisnis gula, dengan memberi modal kepada pabrik
gula dan kontraktor pengolahan tebu partikelir.
Arus modal yang diinvestasikan pada industri
gula di Sidoarjo dimulai di tahun 1832. Kala itu pengusaha Tionghoa bernama The
Goen Tjing mendirikan pabrik pemerahan tebu di kawasan Candi. Dengan dukungan
pemerintah kolonial Belanda, usaha baru itupun sukses meraup keuntungan yang
dignifikan.
Keberhasilan itu seakan menjadi magnet yang
memiliki daya kuat untuk menarik datangnya pemilik-pemilik modal yang lain
untuk meramaikan ladang usaha tersebut. Terbukti pada 1835 telah dibuka 4
pabrik gula baru sekaligus di Waru, Buduran, Karangbong-Gedangan dan
Tanggulangin.
Luasnya ladang perkebunan tebu yang terus
menerus dibuka di Sidoarjo, termasuk pengalihan persawahan padi dan komoditas
pangan lainnya menjadi kebun-kebun tebu baru membuat pasokan bahan baku untuk
produksi gula kristal putih melimpah ruah.
Kondisi inipun ditangkap dengan cepat oleh
pemilik modal lainnya dengan pendirian pabrik-pabrik gula baru di Watu Tulis,
Balongbendo, Wonoayu dan Porong. Setahun berikutnya, firman-firma partikelir asal
negeri Belanda mendirikan pabrik serupa di Bulang-Krembung, Ketegan-Taman dan
Wonoayu.
aktivitas di PG. Boedoeran- Sidoarjo |
Di pertengahan abad ke 19 itu, permintaan
masyarakat Eropa untuk bahan pemanis ini meningkat drastis. Mereka benar-benar
telah ‘terbelenggu’oleh gula kristal. Bukan saja sebagai teman minum kopi dan
teh, tetapi kala itu gula juga dipercaya dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk
penyakit tertentu.
Lantaran itulah, gulapun menjelma menjadi
‘emas putih’ yang sangat mahal harganya sehingga mampu mendatangkan keuntungan
yang berlimpah-limpah bagi produsen maupun pedagangnya.
Catatan Inggris di akhir abad ke 18 menyatakan
bahwa satu sendok gula berharga setara lima dollar. Pada saat itu empat pound
atau dua kg gula dapat ditukar dengan seekor anak sapi.
Permintaan pasar yang seakan tak pernah cukup
itu makin menggairahkan sehingga pemerintah kolonial Belanda sampai merasa
perlu membuat lembaga bisnis plat merah untuk menangani produksi ‘pemanis yang
dibuat tanpa bantuan lebah’ itu.
Aktivitas di PG. Boedoeran. (Foto-foto: Koleksi Troppen Museum) |
Perusahaan berlabel N.V. Matsechappy Tot Exploitatie
de Suiker Ondernamingen Kremboong en Toelangan mendirikan pabrik gula di
Krembung (1847) dan Tulangan (1850). Sebelumnya juga didirikan pabrik serupa di
Sruni-Gedangan.
Dalam arsip-arsip yang tersimpan di
pabrik-pabrik gula si Sidoarjo, setelah 1850, istilah fabriekant diganti
menjadi ondernemer dikarenakan fabriekant telah lebih mendapat keleluasaan dari
gubernemen dan lebih dilibatkan dalam pengolahan kebun-kebun.
Sebelum tahun 1830, hampir semua pabrik gula
di kawasan perkebunan di Jawa Timur masih mengandalkan hewan ternak untuk
menggerakkan mesin-mesinnya, yang tentu saja memperlambat proses produksi.
Namun ketika intensifikasi penanaman tebu
didukung oleh kebijakan politik Tanam Paksa (cultuurstelsel), mesin-mesin
penggilingan tebu juga dimodernisasi agar produksi gula sejalan dengan hasil
penanaman tebu yang meningkat tajam.
Untuk lebih menggenjot hasil produksi, para
pengusaha gula kristal yang memiliki modal besar mulai mendatangkan mesin-mesin
impor yang sebelumnya tidak pernah digunakan di Jawa. Era ini bisa disebut
sebagai awal terjadinya industrialisasi di Jawa Timur.
Dan untuk keperluan perbaikan-perbaikan
pabrik, khususnya penyediaan suku cadang dan tempat perbengkelan mesin-mesin
beratnya, didirikan pula bengkel besar dengan nama De Bromo.
Keluarga Eropa yang bersantai sambil menikmati minuman dengan gula yang dihasilkan orang-orang Jawa. |
Ekspansi gula yang gila-gilaan tidak hanya
menerpa Sidoarjo dan sekitarnya tetapi pulau Jawa secara keseluruhan. Hingga
tahun 1929 sebanyak 179 pabrik yang mampu memproduksi 3 juta ton gula, mempekerjakan
60.000 buruh tetap dan 700.000 buruh musiman.
Bisa jadi ini salah satu efek dari berlakunya
Agrarische Wet di tahun 1870 yang merombak Pulau Jawa sebagai hamparan kebun
besar untuk kepentingan pemilik modal. Seperti pepatah dalam istilah mereka,
‘tanah Jawa adalah gabus yang membuat negeri Belanda tetap mengapung’. (bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Om mbok sekalian kondisi terkini pabrik gulanya sekalian dialih fungsikan jadi apa....
BalasHapusCoba di cek di lokasi bos
HapusSiap
BalasHapusSaya tugas di pusdik Sabhara Porong adakah sedikit artikel tentang pabrik gula Porong yang sekarang jadi pusdik Sabhara Porong.... Trrima
BalasHapusLokasi ex PG Ketegan sekarang berubah menjadi Mako Brimob Taman dan rumah penduduk. Bekas dudukan cerobong uapnya masih ada di dalam pabrik rotan (area private)
BalasHapus