Harapan Baru
Konglomet Gula di Kota Delta
Ditulis
kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Hingga
saat ini memang belum ada bukti sejarah yang dengan tegas menunjukkan sejak
kapan tebu menjadi komoditas pertanian yang diusahakan oleh masyarakat di
Sidoarjo. Pasalnya masyarakat Jawa, termasuk di Sidoarjo, saat itu belum
menempatkan tebu sebagai bahan pangan pokok dalam kehidupan kesehariannya meski
telah dibudidayakan dalam jumlah yang sangat terbatas di beberapa daerah.
Thomas Raffless dalam bukunya ‘History of
Java’ menginformasikan, penduduk lokal hanya mengkonsumsi tebu sebagai makanan
penutup atau kudapan yaitu dengan mengunyah langsung batangnya. Sedangkan untuk
kebutuhan pemanis makanan maupun minuman, mereka lebih suka mengkonsumsi gula
aren dan gula kelapa.
Berbeda dengan kebiasaan orang Tionghoa yang
lebih akrab dengan penggunaan gula tebu sebagai bahan pemanis utama. Catatan
sejarah yang ada menunjukkan masyarakat Tiongkok bahkan sudah menguasai
teknologi pembuatan gula tebu sejak masa Dinasti Chin Timur pada tahun 317-420.
Teknologi tersebut berkembang terus dan pada
masa Dinasti T’ang tahun 618-907 sudah terdapat industri gula kristal di
Kwangtung dan Szechuan. Bahkan pada masa Dinasti Sung Selatan tahun 1127-1279,
pendapatan pajak dan ekspor gula berperan besar dalam mendanai angkatan
bersenjatanya. Hal ini menunjukkan tingkat kemajuan industri gula di Tiongkok.
Dalam bukunya yang ditulis di tahun 1817
tadi, Raffles memuji arak buatan Jawa. Ia mensejajarkan minuman memabukkan itu dengan
arak buatan Filipina. Disebutkannya, bahwa arak nomor satu produksi Jawa
terkenal dengan julukan arak api.
Sementara itu orang-orang Eropa menggunakan
madu sebagai bahan pemanis. Selanjutnya mereka lebih memilih menggunakan gula
tebu karena rasa manis yang ditimbulkan tidak mengubah citarasa dasar makanan
dan minuman yang dicampuri. Dan sebagai alternatif lainnya, terkadang mereka
juga menggunakan gula bit.
Setelah mengetahui nikmatnya rasa gula
kristal itu, orang Eropa mulai mencari tempat pembudidayaan tebu di belahan
selatan dunia, termasuk Indonesia untuk diproduksi secara massal demi memenuhi
kebutuhan orang-orang kulit putih.
Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang yang mengakuisis PG. Tanggulangin di tahun 1880 |
Kisah sejarah yang tercatat tentang
perkebunan tebu di Sidoarjo ada di sekitar tahun 1800-an. Di masa itu, para
pengusaha Cina dari Semarang dan Batavia serta pemodal partikelir dari daratan
Eropa yang didukung pemerintah kolonial Belanda mulai menjadikan Sidoarjo
sebagai salah satu sentra produksi gula di tanah Jawa setelah usaha serupa
mereka di Batavia dan Banten runtuh sejak akhir abad ke 18.
Perkembangan industri gula di sekitar Batavia
saat itu memang sudah mengalami titik kulminasi. Pasalnya lahan perkebunan tebu
yang mereka kelola telah sampai pada batas ekologinya.
Industri gula yang banyak berlokasi di sepanjang
sungai Ciliwung telah menyebabkan makin kurusnya unsur hara dalam tanah. Belum
lagi dengan aktivitas pembabatan hutan yang makin mempercepat proses tersebut.
Akibatnya kualitas dan kuantitas panenan tebu semakin berkurang. Selain itu
penggundulan hutan juga menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar yang
merupakan bahan baku utama pemrosesan tebu menjadi gula.
Kendala itu coba diatasi dengan meningkatkan
produksi Arak dan Rum sebagai hasil sampingan pemrosesan tebu. Namun produk
minuman keras ini ternyata tidak menguntungkan sebagai komoditas ekspor karena
harganya yang rendah di pasar internasional mengingat melimpahnya barang serupa
yang diproduksi di Eropa.
Di Sidoarjo, para konglomerat gula itu seakan
menemukan lahan dan pengharapan baru untuk menghidupkan usaha mereka yang mulai
meredup. Mereka menyewa tanah dari pemerintah kolonial Belanda untuk dikelola
sebagai perkebunan (onderneming) tebu.
Burger dalam buku Sedjarah Ekonomis
Sosiologis Indonesia, menulis, ternyata ketika kurun pemerintahan Daendels (1808-1811),
sistem sewa desa ini pernah dicoba untuk dihapuskan. Tetapi kebijakan ini hanya
diterapkan pada desa-desa yang hasil produksi pertanian maupun perkebunannya tidak
menguntungkan pemerintah kolonial Belanda. Sedang untuk desa-desa penghasil
nila dan tebu gula tetap masih menggunakan sistem sewa desa.
Di Sidoarjo, areal persawahan bahkan
lahan-lahan kering disulap menjadi kebun-kebun tebu. Berikutnya, pabrik-pabrik
gula pun didirikan. Saking semangatnya, bibit-bibit tebu itu tidak hanya
ditanamkan di lahan persawahan yang telah ada, namun juga di areal pertanian
yang sama sekali baru. Di masa itu kawasan hutan yang masih cukup luas di
Sidoarjo dibuka secara massal untuk dijadikan lahan perkebunan tebu.
Kala itu, tahun 1844, sebagian besar daerah
Sidokare yang masuk dalam wilayah administratif Karesidenan Surabaya masih
berupa hutan belantara yang dihuni aneka ragam satwa. Hanya sebagian kecil
lainnya yang sudah diupayakan menjadi lahan pertanian dan perkebunan tebu.
Pabrik gula di Ketegan, Taman, Sidoarjo di awal tahun 1900-an. (Foto: koleksi Tropenmuseum) |
Jelas sangatlah tidak mudah dan membutuhkan ketekunan
tersendiri untuk mengubah tanah bekas hutan menjadi lahan produktif yang siap
ditanam tebu. Apalagi tebu adalah tanaman manja yang menuntut irigasi dan
drainase intensif. Meski begitu mereka tetap bersemangat karena sudah memiliki
pengalaman yang cukup di bidang usaha tersebut.
Bertanam tebu di kala itu memang bukan
persoalan mudah. Sempat muncul serangan hama penyakit terhadap tebu sehingga
membuat Inspektur Jawatan Budidaya Tebu dan Padi pemerintah kolonial, Dr. IHF
Sollewijn Gelpke harus memutar otak untuk mendongkrak industri gula di Hindia
Belanda pada 1880.
Hasilnya, pemerintah kolonial Belanda merasa
perlu mendirikan Balai penelitian Gula atau Proofstation Van Ooc Java di Pasuruan
untuk mengatasi masalah tersebut. Hingga kini, balai tersebut masih berfungsi
dan diberi nama BP3G atau Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. (bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar