Kemarahan Kaum
Tertindas
Ditulis
kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Penerapan
sistem tanam paksa di Indonesia benar-benar manjur untuk mendongkrak
perekonomian kerajaan dan pemerintah kolonial Belanda di akhir abad ke-19.
Sejak dicanangkan pada 1830 hingga 1834, para
petani Indonesia ‘menyetorkan’ uang sebesar 3 juta gulden ke negeri Belanda
tiap tahunnya. Setelah itu, tiap tahun 12-18 juta gulden yang dilayarkan ke
negeri kincir angin tersebut. Jadi total semua uang yang masuk ke kas negeri
Belanda dari Cultuurstelsel adalah 900 juta gulden.
Melalui hasil penjualan gula ke pasar
internasional, bangsa imperialis itu bukan saja mampu menutup utang-utangnya,
namun juga mendatangkan cadangan devisa yang melimpah ruah.
Sayangnya, industrialisasi gula ternyata
belum mampu memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan rakyat. Surplus devisa itu
nyaris tidak ada yang digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat Hindia
Belanda.
Mereka terus menerus diperas tenaganya oleh
keharusan menanam komoditas tertentu dan menyetorkan hasilnya. Sialnya, mereka
tetap dibebani untuk membayar pajak pada pemerintah kolonial Belanda.
Penelitian lain yang dilakukan oleh H.G.
Heyting, seorang insinyur yang menjabat sebagai kontrolir menunjukkan setiap
rumah tangga hanya punya sisa lahan seluas 0,75 hektare sawah, 0,5 ha kebun
pekarangan, dan 0,1 ha tegalan. Akibatnya mereka harus hidup dalam kekurangan
plus jeratan hutang dari para rentenir.
Bukan hanya itu, keberadaan perkebunan tebu
dan pabrik gula yang ‘lapar tanah’ menyebabkan tanah produksi rakyat terampas
dan berakibat pada perubahan sosial.
Di sisi lain, sistem tanam paksa ini juga
membuat kesuburan lahan pertanian menjadi terganggu, sehingga budidaya padi pun
mengalami kemerosotan. Akibatnya timbullah kemiskinan dan kelaparan akut di
kalangan wong Jowo, termasuk di Sidoarjo.
Disamping itu rakyat masih dibebani juga dengan
pekerjaan rodi, seperti: dipekerjakan di perkebunan, melakukan pekerjaan
pembangunan dan pemeliharaan jalan, jembatan, saluran, pembangunan rel kereta
api yang menunjang industri dan masih banyak lagi tanpa dibayar.
Tidak itu saja, mereka juga dipaksa untuk
melakukan pekerjaan bagi pangreh praja juga pekerjaan untuk desa. Maka lengkap
sudah penderitaan yang harus ditanggung oleh rakyat negeri ini selama periode
penerapan sistem tanam paksa mulai tahun 1830 sampai 1870.
Rakyat yang sudah puluhan tahun memiliki tanah
secara turun temurun itu dipaksa untuk menyerahkan, menjual atau menyewakan
tanahnya agar dapat digunakan sebagai lahan penanaman tebu.
Rumah Dinas Kepala Administratur PG. Ketegan, Taman, Sidoarjo yang mungkin dibangun diatas lahan rampasan milik rakyat |
Sebenarnya lahan tersebut tidak hanya
digunakan untuk penanaman tebu saja, namun juga untuk kepentingan bangunan
pabrik gula, seperti perkantoran, kediaman administrateur, balai pertemuan,
gudang-gudang, perumahan pegawai, perbekalan dan masih banyak lagi.
Pengelolaan perkebunan tebu yang telah dikuasai
oleh para raja gula itu seringkali tidak menggunakan etika. Ladang-ladang
palawija milik penduduk desa yang berdekatan dengan kebun tebu pemerintah
maupun konglomerat swasta menjadi rusak karena setiap malam diguyur air dengan
dalih menyirami perkebunan tebu.
Hal itu sengaja dilakukan untuk merusak
ladang tersebut. Kemarahan para petani pun para ditanggapi dengan ancaman dan
intimidasi agar para petani menyerah dan memberikan tanahnya kepada mereka.
Belanda terus melakukan penekanan-penekanan
terhadap rakyat dengan memunculkan peraturan baru. Misalnya mereka
diiming-imingi akan dibebaskan dari beban pajak jika tanah mereka tersebut
dijual atau disewakan pada para pengelola perkebunan tebu sebab pajak tersebut
sudah menjadi tanggungan pengelola perkebunan.
Bukan negeri Belanda dan para cukong saja
yang bisa menikmati Cultuurstelsel itu. Ada juga kongsi dagang Neederland
Haandle Maaschappij yang diberi hak monopoli untuk mengangkut hasil bumi negeri
ini dan dibawa ke Eropa dengan kapal- kapal mereka. Belum cukup dengan itu,
kongsi dagang ini juga punya hak monopoli atas penjualannya disana hingga
membuatnya semakin kaya-raya.
Kondisi inilah yang kemudian memantik api konflik
antara penguasa dan rakyat pribumi sebagai kaum pekerja, yaitu para pekerja
perkebunan dan buruh pabrik sebagai dampak dari kebijakan pemerintah kolonial. Sebuah
kenyataan pahit yang membuahkan pemberontakan rakyat di berbagai tempat di Sidoarjo.
Di kota ini, ratusan tahun lalu telah menjadi
satu pusat pergerakan kaum tani dan buruh. Tebu dan gula tak hanya sekedar
menjadi komoditas yang menghasilkan kekayaan yang berlimpah, tapi juga
pergulatan dan perjuangan yang menumpahkan darah.
Maka tidaklah mengherankan jika penduduk
pribumi banyak yang sudah habis kesabarannya. Pada tahun 1833, para petani yang
dipaksa bekerja di kebun-kebun tebu yang ada di Pasurun dan Sidokare (Sidoarjo
kini) mengadakan pemberontakan hebat.
Namun pemberontakan itu, berhasil ditumpas
oleh serdadu-serdadu kompeni yang disewa oleh para tuan besar pemilik Ondeneming
(perkebunan) yang tidak lain adalah rakyat Indonesia sendiri, yaitu penduduk
Sidokare.
Para serdadu VOC yang direkrut dari orang-orang pribumi untuk membasmi orang sebangsanya sendiri. |
Artinya melalui sistem tanam paksa ini
pemerintah kolonial Belanda sengaja menciptakan konflik horizantal diantara
warga pribumi. Mereka dihadapkan dalam posisi permusuhan, diadu satu dengan
lainnya yang ujung-ujungnya demi kepentingan perutnya masing-masing.
Yang paling terkenal adalah jihad di Gedangan
yang dipimpin oleh Kiai Hasan Mukmin. Sebab-sebab pemberontakan berakar dari
gerakan agama yang berbasis masyarakat tani. Karenanya tipikal gerakan itu
menjadikan permasalahan petani sebagai isu sentral.
Gerakan ini mengalami radikalisasi ketika
Belanda memaksakan peraturan yang ketat mengenai efektifitas produksi
pertanian. Peraturan itu adalah penanaman paksa palawija yang berupa jagung dan
ubi kayu. Selain itu juga dipaksakannya pemakaian weluku (bajak) model Hindu.
Sementara di industri gula, Belanda
menentukan secara sepihak harga sewa tanah sawah untuk ditanami tebu. Belanda
juga memaksa petani menjadi tanaga kerja di pabrik-pabrik gula pada waktu masa
giling. Semetara kebutuhan utama petani, irigasi, berjalan dengan pembagian
yang buruk.
Setiap habis shalat Magrib, anggota tarekat
selalu mengadakan pertemuan di rumah Kiai Hasan Mukmin. Pertemuan-pertemuan ini
membahas tentang peraturan Belanda yang dirasa sangat memberatkan bagi petani.
Semakin lama pertemuan para anggota tarekat
itu bukan lagi pertemuan untuk membahas permasalahan petani tetapi sudah
mengarah pada rencana pemberontakan terhadap peraturan Belanda di Sidoarjo.
Akhirnya para anggota tarekat sepakat untuk
melakukan sebuah pemberontakan. Tanggal pelaksanaannya adalah Hari kedua belas
bulan Maulud tahun Wawu atau 27 Mei 1904.
Pada hari itu pemberontakan dimulai setelah
shalat Magrib. Sebelum melaksanakan aksinya kaum pemberontak mengambil air
wudhu lebih dulu. Kemudian mereka berkumpul di sebuah sawah yang terbuka,
dimana berkibar sehelai bendera berwarna putih-biru-putih sebagai simbol dari
kemandulan, kepiluan dan kefanaan.
Simbol lain pemberontakan adalah menyelempangkan
Klaras (daun pisang kering) seraya berdzikir. Kemudian seorang pembicara
membakar semangat pemberontak dengan mendakwahkan konsep Jihad (perang suci).
Para pemberontak itu berasal dari Samentara, Taman dan Damarsi. Sementara
pengikut dari kota lain tidak ikut.
Ketika Wedana Gedangan menerima informasi
tentang konsentrasi massa di Keboan Pasar (sekarang desa Keboan Sikep), ia
langsung mendatangi mereka dengan membawa anggota Polisi yang bersenjata.
Tetapi karena jumlah yang kalah banyak, akhirnya Wedana dan Mantri Polisi
tertawan.
Melihat kejadian itu pemerintah kolonial di
Sidoarjo mengerahkan kekuatan militer untuk menindas pemberontakan. Melihat
barisan tentara, pemberontak yang berjumlah tiga ratus orang itu bukannya
takut. Mereka maju membuat provokasi dengan menari gaya pencak silat sambil
menggenggam keris.
Tentara mulai memuntahkan pelor panas ke arah
pemberontak. Pertempuran itu berjalan singkat. Tetapi menelan cukup banyak
korban jiwa. Tiga puluh tiga pemberontak mati terbunuh, tiga puluh tujuh
lainnya terluka termasuk Kiai Hasan Mukmin.
Walaupun terluka, tetapi Kiai Hasan Mukmin
berhasil melarikan diri kerumahnya. Namun tak lama kemudian tentara Belanda
mengepung dan membakar rumah itu setelah membunuh Kiai Hasan Mukmin. Pemberontakan
Gedangan padam bersama kematian sang Kiai. (bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar