Pahitnya Gula
Lantaran Cultuurstelsel
Ditulis
kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Jejak
langkah pergulaan di Jawa, termasuk di Sidoarjo sangat erat kaitannya dengan
sistem cultuurstelsel atau tanam paksa, yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif
dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras
dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan
negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Kebijakan tersebut diberlakukan sebagai upaya
menutup defisit kronis perekonomian Kerajaan Belanda yang memburuk setelah
berakhirnya perang melawan Perancis di
Waterloo, 15 km arah Selatan dari ibukota Belgia, Brussel pada 18 Juni 1815.
Kekalahan Napoleon Bonaparte itu mengakhir
kekuasaan dan karier militernya. Bahkan ia harus diasingkan ke pulau St. Helena
hingga meninggal dunia sebagai orang buangan pada 5 Mei 1821.
Selain masalah itu, Pemerintah Kolonial
Belanda juga harus menguras pundi-pundi hartanya untuk membiayai perang besar
melawan Pangeran Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830. Keuangan mereka
juga semakin kering akibat bertempur melawan Belgia di awal tahun 1830.
Bukan hanya keuangan Kerajaan, bahkan
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang saat itu di bawah kendali Gubernur Jenderal
Van der Capellen harus menanggung hutang sebesar 20 juta gulden pada firma
Palmer and Co.
Penggagas Cuulturstelsel, Johannes Graaf Van Den Bosch dalam lukisan karya Raden Saleh. |
Di kedua daerah itu, termasuk Sidoarjo
pemerintah kolonial Belanda mewajibkan seluruh lahan pertanian wajib ditanami
tanaman laku ekspor, yakni kopi, tebu dan nila.
Padahal konsep dasar sistem itu sendiri hanya
mewajibkan setiap pemilik lahan menyerahkan 20% dari luasan tanah kebun atau
sawahnya pada pemerintah kolonial Belanda untuk ditanami komoditas-komoditas
yang laku di pasar internasional seperti tebu, nila, kopi, teh dan tembakau.
Hasil tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan secara sepihak dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Penyimpangan lain dari konsep dasar kebijakan
tanam paksa ini adalah tanah yang sudah diserahkan pada pemerintah kolonial
dibebaskan dari beban pajak. Namun faktanya pemilik-pemilik lahan tersebut
tetap diwajibkan membayar pajak tanah.
Bagi penduduk desa yang tidak memiliki tanah diwajibkan
mengganti beban pajak yang harus mereka bayar dengan menjadi pekerja paksa
selama setahun penuh di perkebunan-perkebunan milik pemerintah, padahal
aturannya hanya 66 hari atau 15% dari jumlah hari selama setahun.
Di masa itu para pria dari keluarga-keluarga
miskin di seluruh tanah Jawa, termasuk Sidoarjo, dikirim ke berbagai areal
perkebunan yang jauh dari kampung halaman mereka. Disana mereka harus bekerja
sangat keras tanpa dibayar sepeserpun ditambah perilaku represif dari para
mandor-mandor perkebunan.
Rakyat yang tak punya lahan diwajibkan kerja paksa membangun sarana dan prasarana transportasi serti jalan dan rel kereta api untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda |
Banyak diantara mereka yang sakit bahkan harus
meregang nyawa. Sementara yang lain memilih untuk menjadi pelarian dengan
resiko dipenjara dan mendapat siksaan yang lebih kejam saat tertangkap. Tak
banyak diantara mereka yang bisa kembali ke rumah dan keluarganya. Sebagian
besar dari mereka lenyap begitu saja tanpa ada keterangan apapun.
Tidak hanya secara individual, tetapi
kelembagaan desa juga diberi beban yang cukup berat. Mereka dipaksa membayar sewa
tanah kepada pemerintah, yang diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama
desa yang bersangkutan.
Van
den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam
komoditi ekspor ke Eropa. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu
melunasi utang pajak tanahnya.
Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi
ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan
menerima kelebihannya, namun metode itu sama sekali tak pernah dilakukan.
Sebaliknya, jika kurang, desa tersebut mesti
membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain misalnya dengan menyerahkan hewan-hewan
ternak seperti kerbau dan sapi yang dipakai dalam proses produksi gula di
pabrik-pabrik pemerintah maupun swasta.
Bagi masyarakat, cultuurstelsel merupakan kerja
rodi kaum pribumi, perampasan tanah-tanah rakyat untuk perluasan kebun tebu.
Ada banyak kisah dramatis dibalik pemberlakuan sistem ini, baik yang nyata
terjadi maupun yang menjadi sumber inspirasi karya-karya sastra nasional. Salah
satunya adalah Novel Tetralogi karya Pramudya Ananta Toer yang mengambil
setting Pabrik Gula Toelangan di tahun 1829.
Namun disisi lain, sistem ini berhasil memakmurkan
dan mensejahterakan Kerajaan dan juga pemerintah kolonial Belanda. Butir-butir
gula putih kristal dari tanah Jawa yang dijual Pemerintah Kolonial ke pasar
internasional mampu mengalirkan keuntungan antara 280.780 sampai 453.656 gulden
per tahunnya ke negeri Belanda. Atas jasanya sebagai penggagas cultuurstelsel,
Raja Belanda menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada 25 Desember
1839.
Lori tradisional yang membawa hasil panenan dari kebun menuju pabrik gula. (Foto: koleksi Tropen Museum) |
Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah
muncul berbagai kritik dari para politikus golongan Liberal yang dikomandoi Baron
W.R. van Hoevell melalui Tweede Kamer atau Majelis Rendah Negeri Belanda.
Sebenarnya mereka juga tidak sepenuhnya
menentang kebijakan tersebut karena telah ikut merasakan dampak positifnya.
Namun mereka menekankan pentingnya memberikan kompensasi-kompensasi tertentu
bagi masyarakat Jawa yang telah menolong mereka keluar dari krisis keuangan
yang parah. Misalnya dengan memberikan akses pendidikan dan sarana kesehatan
bagi kaum bumiputera.
Konsep politik etis yang diwacanakan itupun
sebenarnya juga bukan semata-mata menyasar orang-orang Hindia Belanda namun
lebih pada kepentingan mereka sendiri. Dimana dengan mencetak tenaga lokal yang
terdidik, mereka tidak perlu sampai mendatangkan orang-orang Belanda ke
Indonesia untuk bidang-bidang pekerjaan yang dianggap sepele. Misalnya tenaga
administrasi ringan untuk pabrik dan kantor pemerintahan atau tenaga pendukung
di bidang medis.
Setelah berupaya sejak tahun 1848, sistem cultuurstelsel
akhirnya benar-benar dihentikan dengan dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU
Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan
Indonesia.
Pabrik tebu yang memperkaya Pemerintah Kolonial Belanda, namun memiskinkan rakyat Indonesia. (Foto: Koleksi Troppen Museum) |
Menurut sejarawan Merle Ricklefs dalam
Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), melalui cuulturestetsel pemerintah
kolonial ikut serta meningkatkan produksi gula dengan ujicoba membudidayakan
tebu yang tahan hama. Areal penanaman tebu makin bertambah luas dan teknologi
industri gula juga semakin maju.
Lima belas tahun setelah tanam paksa
berakhir, tepatnya pada 1885, produksi gula mencapai 380 Juta ton. Sepuluh
tahun setelahnya lagi, pada 1895, sudah mencapai 581,6 juta ton. Saat
pergantian abad ke 20, produksi gula mencapai 744,3 juta ton.
“Industri gula ini juga meningkat labanya
dengan memotong upah dan juga harga sewa tanah kepada petani,” tulis Ricklefs.
Ia menyimpulkan, "Para pengusaha industri ini meningkat (kekayaannya),
tapi para petani tetap nestapa.” (bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar