Kisah Tragis Mandor
Tebu Yang Baik Hati
Ditulis
kembali oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Selain
itu ada juga kisah kepahlawan yang lain yang berlatar belakang industrialisasi
gula, yakni perjuangan Sakera. Hanya saja setting peristiwa ini bukan di
Sidoarjo, namun di Pasuruan.
Tidak ada dokumentasi tulisan yang otentik
tentang sosok dan perjuangan sang tokoh. Kisah yang mengemuka di masyarakat itu hanya berasal dari sejarah lisan yang rentan diselewengkan oleh pihak-pihak
lain untuk mengedepankan kepentingannya.
Berdasarkan kisah tutur, nama aslinya adalah Sadiman.
Sakera adalah nama panggilannya sehari-hari yang maknanya adalah orang yang
memiliki banyak teman karena suka menolong sesama.
Ia lahir dari keluarga ningrat keturunan
Madura di Kelurahan Raci, Kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada abad 19
ketika Belanda menerapkan sistem tanam paksa dan industrialisasi gula di tanah
Jawa. Meski begitu karena karakternya yang rendah hati, ia tak mau menggunakan
gelar kebangsawanannya dan lebih nyaman dengan panggilan sakerah saja.
Sebagai orang yang berasal dari kalangan
orang terpandang di lingkungannya, Sakerah mendapat kesempatan bekerja sebagai
mandor di perkebunan tebu milik Pabrik Gula Kancil Mas Bangil.
Meski kerap digambarkan berpenampilan sangar
dengan kumis lebat dan udeng di kepala, namun ia memiliki hati yang penuh belas
kasihan dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja perkebunan.
Ada kisah yang mengatakan, bahwa ia pernah
bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa yang menyebabkan
pemerintah kolonial Belanda menderita kerugian yang sangat besar.
Kisah perlawanan Sakera bermula ketika pabrik
gula tersebut membutuhkan tambahan lahan-lahan baru untuk memperluas areal
perkebunan tebu milik mereka demi menambah kapasitas produksi di musim giling
berikutnya. Karena kepentingan itu, orang Belanda pemimpin pabrik gula itu berniat
membeli atau menyewa lahan perkebunan milik dengan harga semurah-murahnya.
Dengan cara licik pimpinan pabrik membujuk carik
di Kampung Rembang agar menyediakan areal perkebunan baru yang cukup luas bagi
perusahaan dalam jangka waktu singkat.
Jika berhasil, sang perangkat desa diiming-imingi
harta benda dalam jumlah yang besat. Nafsu untuk mendapatkan kekayaan yang
berlimpah membuat si carik bersedia memenuhi keinginan tersebut.
Iapun menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mengintimidasi masyarakat pemilik untuk menyerahkan lahan pertaniannya untuk
dikelola pihak pabrik gula. Sakera yang melihat penyimpangan tersebut berusaha
tampil sebagai pembela rakyat sehingga berkali kali upaya carik Rembang itu
gagal.
Permasalahan itupun dilaporkan ke pemilik
pabrik gula yang langsung disikapi dengan mengutus bawahannya untuk membunuh
Sakera. Namun bukannya berhasil memenuhi order majikannya, sang bawahan beserta
anak buahnya justru mati terbunuh di tangan sakera.
Akibat kejadian tersebut Sakera menjadi
buronan polisi pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya berhasil ditangkap
saat ia mengunjungi rumah ibunya. Ia memilih menyerah karena polisi Belanda dan
juga Carik Rembang mengancam akan membunuh ibunya jika terus melakukan
perlawanan.
Ia pun dihukum dan dikurung di penjara
Bangil. Selama di rumah tahanan Sakera kerap mendapat siksaan yang kejam. Tapi
kepedihan akibat luka di tubuhnya tak senyeri kesedihan hatinya saat mendengar
praktek penindasan yang dilakukan oleh orang-orang Eropa yang didukung oleh
kaum pribumi yang berkhianat demi harta dan status sosial iapun memutuskan
melarikan diri.
Begitu berhasil lolos dari kungkungan tembok
penjara, Sakera bertindak tegas dengan menghukum mati Carik Rembang beserta para
petinggi perkebunan yang telah memeras rakyat. Bahkan para petugas polisi pun
tak luput dari tebasan clurit saat berusaha menangkapnya.
Karena kehabisan akal menangkap Sakera,
akhirnya Polisi Belanda meminta bantuan teman seperguruan Sakera untuk menangkap
buronan tersebut. Dan upaya itupun berhasil dilakukan. Sakera tertangkap
kembali dan diadili.
Dengan cara digantung seperti ini Sakera dihukum mati di dalam penjara Bangil, pasuruan. |
Sebagai hukumannya, Government Bangil memutuskan
menggantung Sakera hingga mati. Pak Sakera gugur digantung di penjara Bangil.
Dia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari, daerah paling selatan Kota
Bangil.
Selanjutnya, Belanda memiliki kepentingan
untuk mengaburkan kisah tersebut agar jangan sampai mengobarkan semangat juang
masyarakat yang bersimpati dengan perjuangan Sakera. Maka diciptakan cerita
baru yang menampilkan Sakera sebagai sosok yang bengis dan berangasan.
Dan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya
sama sekali tak ada hubungannya dengan heroisme kebangsaan namun dilatar
belakangi dendam karena adanya perselingkuhan yang dilakukan istrinya dengan
keponakan Sakera. Karena itulah Sakera sangat pantas dihukum mati karena
tindakannya telah mengganggu ketertiban umum dan menyebabkan kematian orang
lain.
Makam Sakera di bekacak, Bangil |
Agar cerita rekayasa itu bisa cepat diketahui
dan mampu membentuk opini publik secara meluas maka penyebarannya dilakukan
melalui pementasan-pementasan ludruk, kesenian tradisional warga Jawa Timur
yang dilakukan oleh orang-orang suruhan pemerintah kolonial Belanda.
Strategi itu ternyata cukup jitu. Karena
kisah itu kemudian diduplikasi sepenuhnya oleh kelompok-kelompok ludruk yang
lain hingga masyarakat awampun mengenal Sakera sebagai buronan dan bukan orang
yang telah mengorbankan jiwa raganya demi membela kepentingan rakyat terhadap
perilaku menyimpang pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan pribadi atas
penerapan sistem tanam paksa. (bersambung)
Sanggar
Puspa Kinasih-Sukodono Sidoarjo, medio 2018
Ijin share ya..
BalasHapus