Di
beranda sebuah rumah, seorang bapa tengah duduk santai ditemani putrinya yang
masih belia. Sang anak memandang bapanya itu dengan seksama. Dilihatnya ada
beberapa helai rambut yang mulai memutih dan sudah terlihat kerutan di wajah.
Ia
hampiri sang bapa, lalu duduk di pangkuannya. “Rambut bapak kok putih. Wajah
bapak juga berkerut-kerut. Kenapa?” tanyanya.
Sang
bapa memeluk anaknya erat-erat. Ia cium pipi yang masih merona merah itu lalu
berkata, “Sebab aku laki-laki,” katanya sembari memberikan seulas senyum
termanis untuk putrinya itu.
Kini,
sang anak yang mengerutkan keningnya, “aku tidak mengerti.”
Bapanya
membelai rambut panjang anaknya, “nggak apa-apa. Nanti kamu pasti akan
mengerti.”
Si
anak melompat dari atas pangkuan bapanya. Rasa penasaran yang memenuhi hati dan
pikiran mendorong ia untuk mendatangi ibunya. “Ma kenapa rambut bapak putih dan
wajahnya jadi keriput.....,” tanya ia pada ibunya.
Dengan
tatapan heran, ia pandang putrinya yang menunjukkan wajah memelas seakan
memohon sebuah jawaban yang diharapkan bisa memuaskan dahaga keingintahuannya.
Diusapnya
rambut di kepala anaknya itu. Sembari memegang kedua bahu muda di hadapannya,
si ibu berkata,
“memangnya kenapa. Bapak nggak apa-apa koq. Ya memang seperti
itulah lelaki yang sudah dewasa,” jawabnya.
Gadis
kecil itu menghela nafas panjang. Ada rasa jengkel dalam hatinya karena tak
mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Lalu ia kembali ke beranda, tempat ia
bisa bermain bersama bapanya.
Dan
pertanyaan itu terlupa dari benaknya. Hingga beberapa tahun kemudian, saat ia
mulai beranjak remaja dilihatnya semakin banyak kerutan di wajah bapanya. Pun
demikian dengan helai-helai uban yang kian banyak. Bahu yang kekar itu juga
mulai turun. Apalagi saat sang bapa terbatuk-batuk hingga punggungnya makin
terlihat terbungkuk-bungkuk.
Ia
khawatir bapanya sakit. Ingin sekali rasanya ia tanyakan kenapa bisa begitu.
Namun masih terlintas jelas di benaknya jawaban bapa dan ibunya beberapa saat
silam.
Tak
ingin terombang-ambing oleh rasa penasarannya, iapun membuka laptopnya. Ia buka
beberapa situs internet dan mulai membaca dengan seksama setiap kata yang
tertulis disana.
“...dengan
berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi
tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan
kembali menjadi debu." (kejadian 3 : 19)
Ia
termenung, telah ia temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sarat
memenuhi kepalanya tentang bapanya. Tentang jawaban bapanya yang selalu
mengatakan, “karena aku adalah laki-laki.”
Ia
tahu, Tuhan telah memberikan bahu yang kekar dan berotot agar bapanya mampu membanting
tulang menghidupi seluruh keluarganya & kegagahannya harus cukup kuat pula
untuk melindungi seluruh keluarganya.
Ada
sisa keperkasaan & mental baja yang terbaca dari bahu terbungkuk sang bapa.
Kekuatan dari Allah yang membuat dirinya pantang menyerah, merelakan kulitnya
tersengat panasnya matahari, atau badannya yang basah kuyup kedinginan karena
tersiram hujan serta hembusan angin.
Tapi
kegagahan itu semakin mengendur seiring bertambahnya waktu dan terus begitu
hingga ia kembali menjadi debu.
Dibacanya
kalimat berikutnya yang tertulis Ulangan 6 : 7, “......haruslah engkau
mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila
engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau
berbaring dan apabila engkau bangun.”
Kerut-kerut
di wajah bapanya jelas terbayang di depan mata sang gadis. Itulah tanda bahwa
ia sudah memakai hikmat dan pengetahuan yang Tuhan berikan untuk melakukan
tanggung jawabnya mendidik anak istrinya sesuai dengan ajaran Firman Allah.
Di
Amsal 16 : 31 ia membaca, “Rambut putih adalah mahkota yang indah, yang didapat
pada jalan kebenaran.” Gadis itu tertunduk mengingat uban di kepala bapanya.
Ya....,
Tuhan juga telah memberikan makrifat dan kebijaksanaan agar bapanya mampu mencintai
& mengasihi keluarganya dalam kondisi & situasi apapun juga, walaupun
tak jarang anak-anaknya melukai perasaannya dan melukai hatinya.
Perasaannya
itu pula yang telah memberikan perlindungan rasa aman pada saat anak dan
istrinya tertidur lelap. Sentuhan perasaan itulah yang juga memberikan rasa
nyaman dalam pelukan bapa.
Bahu
yang terbungkuk, rambut yang memutih dan wajah nan penuh kerutan adalah wujud kesabaran,
ketekunan serta keuletan yang telah dilakukan sang bapa dalam usahanya merawat
& membimbing seluruh anggota keluarga tanpa keluh kesah. Walaupun di setiap
tapak perjalanan hidupnya penuh keletihan dan kesakitan yang kerap
menyerangnya.
&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&&
Ia
berdiri dari kursi belajar dan melangkah keluar kamarnya. Ia hampiri bapanya yang
sedang berdoa di biliknya. Sebenarnya ia berniat menunggu hingga bapanya
selesai berdoa namun ia tak mampu menahan gejolak hatinya. Ia berlutut dekat
bapanya. Ia pegang tangan yang mulai menjelang rentah itu lalu lirih berkata,
“Pak, aku mengerti dan bisa merasakan bebanmu.”
Bapa
membuka matanya. Tenang nada suaranya saat berkata, ”bebanku tak berarti
apa-apa dibanding kasih Bapa kita di Surga.” Dan sang gadispun memeluk bapanya.
“Seperti
bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang
takut akan Dia.”(Mazmur 103 : 13)
Diambil dari Tabloid House of Glory Sidoarjo Edisi Paskah
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar