“Hamba sudah mendengar jika paduka tengah
dikejar-kejar pasukan Gegelang. Dan mereka pasti sedang menuju kemari. Jika
mereka temukan Senopati Pagon disini, mereka
akan membakar habis desa kami dan membunuh semua pria dan membawa pergi
anak-anak gadis kami. Sekali lagi mohon ampun Paduka,” ucapnya lagi.
Gajah Pagon memaksa
bangkit dari tidurnya. Ia menyembah junjungannya. “Ampun Pangeran. Sebaiknya
pangeran, Gusti Ayu dan semuanya
berangkat ke Songeneb sekarang. Saya akan kembali masuk hutan untuk menerjang
orang-orang Dhaha keparat itu,” kepalanya diangkat.
Ia pandang wajah
junjungannya. Darah kembali mengucur dari lubang kakinya. Warnanya merah
kehitaman. “Hamba siap mati demi keselamatan Pangeran dan rakyat Tumapel,”
tandas Gajah Pagon.
Ia coba untuk
berdiri, tapi tiba-tiba tubuhnya terhuyung ke belakang. Cepat Medang Dangdi
menahannya, “perkenankan hamba mendampingi Kakang Pagon Pangeran. Percayalah,
kami tidak akan mati sia-sia”.
Ia balik tubuhnya.
Dipandanginya rerumbutan hutan di depannya. Ia pun tahu, saat ini para satria
pilih tanding dari Dhaha tengah berlari menerobos hutan itu untuk mengejarnya.
Ia pejamkan matanya.
Mata hatinya melihat desa Kudadu yang tenteram akan berubah jadi karang abang 24).
Perempuan dan anak-anak menjerit berlarian. Sedang tubuh-tubuh lelaki
bergelimpangan di jalan, di sawah, di ladang. Berserak dimana-mana.
Padi, kubis dan
sayuran lain akan tertimbun bangkai. Beningnya sungai akan memercikkan darah
yang anyir baunya. Tanah desa yang coklat akan berubah memerah.
Sanggramawijaya
membuka matanya. Bayang kengerian masih merona di wajahnya. Kebijaksanaannya
pasti tak akan membiarkan rakyatnya menjadi korban demi keselamatan
dirinya. Tapi ia juga tak akan melepas abdi-abdi setianya menyabung nyawa
mereka.
Terngiang di
ingatannya ucapan Nambi kala ia hendak nekad menyerbu sendiri keraton
Singhasari yang telah berada dalam kekuasaan pasukan Gegelang. “Aku harus tetap
hidup untuk menegakkan kembali panji-panji Singhasari yang dirobohkan
Jayakatwang. Nanti, jika saat yang ditentukan Dewata telah tiba,” ucapnya dalam
hati. Tangannya terkepal keras.
Ia balikkan tubuhnya
lagi. “Macan,” mantap nadanya. Yang dipanggil buru-buru menghaturkan sembah.
“Sembunyikan Pagon dalam gubug di tengah ladang. Biarkan ia disana hingga aman.
Rawatlah lukanya. Dan tunggu sampai aku kembali kesini,” sabdanya.
Macan Kuping kembali
menghaturkan sembah. Ia raih potongan tombak penuh darah. Ia arahkan ujungnya
ke tanah. Dan sekali hentak, tombak itu amblas hingga ke pusat bumi.
“Sekarang, siapkan
keberangkatanku,” perintah Dyah Wijaya.
“Hamba mohon diri.
Sambil menunggu, kiranya paduka berkenan makan dan minum dulu untuk menyegarkan
kembali badan paduka,” Macan Kuping beringsut ke belakang.
Ia berjalan pelan
menuju pohon kelapa. Ia tengadahkan kepalanya. Butir-butir yang ada di atas
sudah matang dan siap dipetik. Ia hentakkan kakinya ke tanah. Dan buah-buah
nyiur itupun berjatuhan di sekitar tempatnya
berdiri.
Cenil dan Nyi Wuruh
bergegas berdiri. Mereka bantu Macan Kuping membawa kelapa-kelapa muda itu
untuk disuguhkan pada para tamunya. Macan Kuping memungut degan itu dari tanah.
Dicobloskannya jari telunjuk kanannya ke pangkal buah. Hingga berlubang. Begitu
ia lakukan pada semuanya. Setelah itu buru-buru ia berlalu.
Rasa haus yang tak
tertahankan membuat Dyah Wijaya dan para arya utama Singhasari tak sabar lagi.
Mereka tenggak air kelapa muda itu hingga habis tak bersisa. Tapi buah kelapa
itu justru terasa kian berat.
Sora yang
kelaparan memukul buah kelapa itu dengan tangannya. Ingin rasanya ia korek buah
kelapa itu untuk sekedar mengganjal perutnya yang kosong. ‘Brakkk’. Alangkah
terkejutnya ia, ternyata tak ia dapati buah yang menempel di kulit kelapa itu. Isinya berganti dengan nasi.
Lalu semua arya
melakukan hal serupa. Pun demikian dengan Dyah Wijaya. Isinya
sama. Nasi, putih bersih warnanya, lagi gurih rasanya
seperti nasi yang baru diolah dengan rempah-rempah.
“Makanlah cepat, kita
harus segera berangkat,” ucap Dyah Wijaya setelah memberikan makanannya pada
kekasihnya. Dan ia mengambil buah degan yang masih utuh dari tangan halus itu. (bersambung)
--------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar