Tapi kemarahan itu tak lagi bisa dibendung,
demi ditatapnya wajah pongah Ardharaja yang berdiri bersanding dengan Kebo
Mundarang. Keris pusakanya seakan mendesis meminta nyawa.
“Bangsat.................”
Sanggrama Wijaya
menghantam. Tapi Ardharaja memilih surut ke belakang hingga keris pusaka itupun
menghujam tameng pasukan yang terbelah lalu merobek dada hingga punggungnya.
Dyah Wijaya kalap. Gajah Pagon pun
membabi buta. Lengan besarnya laksana gada raksasa yang menghantam tanpa iba
meremukkan dada dan kepala pasukan Dhaha. Sementara pedang di tangan kanannya seperti tersusupi Bathara
Yamadipati yang tanpa ampun mencabut nyawa.
Lembu Sora tak kalah
ganas. Sepasang pedangnya diputar laksana baling-baling pencabut nyawa. Ia
merangsek maju menuju langkah mundur Kebo Mundarang.
Dan benar perkiraannya. Ia melihat Kebo Mundarang dan Gagak Pangguhan setengah berlari sembari menyeret tangan Tribuwaneswari dengan diiringi sebagian pasukan bersenjata tombak.
Sedang Dewi Gayatri
erat dalam genggaman Klabang Wungu yang menjaga bersama Ardharaja, Sura Tiggya dan
puluhan prajurit lainnya. Mereka berlari ke arah yang berbeda.
Semangat Lembu Sora
laksana dipompa. Ia percepat putaran pedangnya menebas tubuh-tubuh hangat di
depannya. “Mati kau Mundarang....” teriak Sora. Kedua pedangnya diarahkan ke
depan. Tepat membidik punggung dan pangkal leher Kebo Mundarang.
Gagal. Pedang itu
justru menembus empat tubuh prajurit sekaligus. Mereka langsung rubuh saat
gagangnya kembali dibetot ke belakang. Bersamaan dengan itu, Gagak Pangguhan
menyambutnya.
Bersenjatakan dua
trisula di tangan kanan dan kirinya, Gagak Pangguhan berusaha menghambat
langkah Sora. Ia juga menangkis hantaman pedang besar arya Dhaha lainnya yang mengarah ke kepalanya.
Tapi Sora memang
pilih tanding. Bukannya terdesak, ia malah melukai lengan kanan Gagak
Pangguhan. Dan hampir saja menebas lengan Mundarang. Tapi patih Gegelang itu
dapat menghindar, meski akhirnya ia harus roboh terjengkang setelah dadanya
terhantam kaki kiri Sora.
Namun ia tetap tak
mau melepaskan pegangan tangannya pada lengan Tribhuwaneswari.
Akibatnya putri sulung Sri Kertanegara itu
ikut terjerembab. Kulit pualamnya terkotori tanah memerah. Bahkan lengan
kanannya terluka. Darah mengucur dari kulit yang tercabik pangkal ilalang yang
terkepras tajam.
Lembu Sora tak
menyia-nyiakan kesempatan itu. Kembali ia ayunkan pedangnya ke arah lengan
Mundarang. Tak ada pilihan, Mundarang menarik tangannya. Pedang itupun keras
menyobek tanah. Hampir saja sisi tajamnya memotong ujung telunjuk putri
junjungannya.
Tribhuwana terpekik
ngeri. Ia menjerit-jerit ketakutan. Apalagi saat tubuh Lembu Sora terdorong
beberapa langkah setelah punggungnya terpukul tangan kiri Gagak Pangguhan.
Untung, Sanggramawijaya
yang berhasil lepas dari keroyokan prajurit Dhaha langsung merengkuh tubuh
lemah Tribuwaeswari. Langsung dipanggulnya kekasih tercintanya itu di pundak
kirinya.
“Lari Pangeran !”
pekik Lembu Suro sambil terus berusaha menangkis serangan Gagak Pangguhan dan Kebo
Mundarang yang kini bahu-membahu mengeroyoknya.
Sanggramawijaya tak
berpikir panjang. Cepat ia langkahkah kakinya ke kulon. Tangan kirinya erat
memeluk kekasihnya, sedangkan keris di tangan kanannya terus menari-nari
menggores tubuh pasukan Gegelang yang berusaha menghadang.
Sora kian terdesak.
Karena bukan lagi dua orang lawannya.
Beberapa tentara Dhaha ikut mengeroyoknya. Pagon pun
sama. Ia yang berusaha merebut Dewi Gayatri harus menghadapi Klabang Wungu dan Sura
Tiggya sekaligus. Bahkan seakan tak ingin kehilangan satu-satunya putri
tawanannya, Jaran Guyang dan Jangkung Angilo ikut-ikutan mengeroyoknya.
Begitu melihat Lembu
Tumangtang serta Santar berlari ke arahnya, Lembu Sora pun ciut nyali. Ia
bergerak mundur ke arah Pagon. Lalu cepat ia putar
badannya. Lalu segera berlari menjauhi para satria Dhaha yang terus
mengejarnya.
Gajah Pagon
pun mengambil langkah yang sama. Cepat ia berlari mengikuti ayunan kaki temannya itu meninggalkan
areal perkemahan menuju sisi hutan yang gelap.
Sempat mereka melihat
Medang Dangdi yang bertarung sendiri menghadapi Kuda Paksa
dan Pakis Jingga yang tadi berusaha mengejar Sanggramawijaya. Di sekitarnya
bertebaran tubuh-tubuh tak bernyawa pasukan Dhaha.
Melihat lawannya
kabur, Kebo Mundarang dan arya utama Gegelang berusaha mengejar. Untung hujan
anak panah yang dilepaskan bersamaan oleh Pamandana, Nambi, Banyak Kapuk dan
Kebo Kapetengan berhasil menahan langkah mereka. Sementara itu Mahisa Wagal dan
Wirota Wiragati bergabung dengan Medang Dangdi untuk menumpas pasukan Dhaha
yang lolos dari hujan anak panah.
Sejenak semuanya
berjalan sesuai rencana. Dan kini saatnya menarik diri dari gelanggang
pertarungan. Wirogati yang ada di tengah menolehkan kepala pada kedua sahabat
di kiri dan kanannya. Ia memberi isyarat dan dalam satu anggukan kepala
ketiganya berkelebat bersama masuk ke dalam hutan.
Tak dinyana. Sebuah
lembing yang dilempar Sura Tiggya melesat cepat ke udara dan mendarat
tepat di paha kiri Gajah Pagon yang tengah berlari. “Ahh.....,” jerit pria
legam berbadan kekar itu. Sontak tubuhnya terjerembab.
Medang Dangdi meraih
lengan kiri Pagon. Ia seret tubuh Pagon. Wirogati pun berlaku serupa. Berdua
mereka bahu-membahu menolong sahabatnya, berlari menerobos belukar hutan sambil
menghindari hujan panah api, menjauhi pekikan bunyi bende yang bertalu-talu dan
teriakan pasukan Gegelang yang marah. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar