Macan Kuping menjatuhkan tubuhnya ke tanah.
Tangan terunjuk hingga ke atas dahinya, kepalanya menunduk dalam menatap tanah
basah yang dipijaknya. Ia haturkan sembahnya beberapa langkah di depan
Sanggramawijaya.
Kedatangan
Macan Kuping yang tak diketahui itu mengagetkan para arya utama Singhasari.
Lembu Sora langsung bangkit dari rebahannya dan berdiri tegap di depan Sangramawijaya
dan Tribhuaneswari yang duduk bersanding
di tunggakan pohon kelapa.
Yang
lainnya pun mengikuti. Mereka membungkus rapat sang pangeran Singhasari itu.
Matanya tajam menatap Macan Kuping tanpa bicara. Siap tarung meski darah masih
mengucur dari sekujur tubuh mereka.
Macan
Kuping tak bergerak. Nyi Wuruh buru-buru mengikuti jejak suaminya, bersimpuh
menyembah. Pun demikian yang dilakukan Cenil, meski mereka sama sekali tak tahu
siapa yang ada di hadapannya.
“Terimalah
permohonan ampun dan sembah sujud kami. Duh pangeran,
terlalu berharga kami untuk mendapat kunjungan seperti ini. Bertitahlah, apapun
akan kami lakukan meski harus nyawa hamba yang paduka inginkan,” nada bicaranya
begitu tegas. Sama seperti saat ia masih mengenakan ageman pasukan khusus kerajaan.
Tiba-tiba
saja Medang Dangdi maju selangkah. Ia jatuhkan tubuhnya di depan lelaki tua
itu. “Sungguh dewata begitu agung. Ia yang menuntun kami menuju rumahmu. Pamanda Macan Kuping terimalah hormatku,” ujarnya.
“Macan,
angkat kepalamu, ku terima sembahmu,” penuh prabawa Dyah
Wijaya berkata. Macan Kuping mengangkat
kepalanya tanpa menggerakkan badannya dan segera Lembu Sora, Nambi, Wirogati dan
arya lainnya mengambil sikap hormat. Sedang Gajah Pagon kembali terduduk.
“Cepat
Macan, aku tak butuh basa-basi ini. Tolonglah Pagon. Ia terluka parah,” pinta
Sanggramawijaya yang sama sekali tak terlihat seperti pewaris
tahta. Ikatan rambutnya terlepas, terurai hingga separo bidang punggungnya.
Tanpa
kata Macan meraih kaki Pagon. Mata tombak itu masih tertancap disana, meski
batangnya sudah dipatahkan. Sekali hentak ia dorong tombak itu hingga keluar
menembus paha yang telah membiru bersemu ungu.
“Ahh.......”
Pagon terpekik keras. Ia lepaskan rasa sakit itu melalui teriakan yang menggema
hingga menakuti tekukur, kepodang dan burung-burung hutan. Berhamburan mereka
terbang dari sarangnya di pucuk-pucuk pepohonan pinus, kluwek, kapuk dan
trembesi.
Tumbukan
dedauan yang dibawa Nyi Wuruh ditutupkan pada lubang mengangah di kaki Gajah
Pagon. Ia tutup dengan lembaran suruh merah dan diikat dengan tali gedebog pisang.
Gajah
Pagon meringis, apalagi saat pangkal pahanya diikat erat tali pilinan gedebog
pisang kering. “Tombak ini beracun. Dan racunnya sudah menyebar hampir ke
seluruh tubuhmu,” ucap Macan Kuping tanpa ekspresi.
Sejenak
semuanya terdiam. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka masing-masing.
Keheningan itu terpecah saat terdengar suara Sanggramawijaya, “Macan, aku dan
semuanya akan menyeberang ke Madura. Aku akan menemui kakeknda
Arya Wiraraja di Songeneb 23)”.
“Hamba akan
menugaskan warga untuk mengantar paduka pangeran ke Rembang. Mereka juga yang
akan mempersiapkan perahu untuk paduka menuju Songeneb. Tapi...,” agak
ragu-ragu Macan Kuping meneruskan perkataannya.
“Kamu
mau bilang apa. Bicara Macan,” perintah Sanggrama Wijaya. Nada bicaranya tegas
penuh wibawa.
“Paduka
akan menempuh perjalanan panjang. Butuh sehari berkuda untuk sampai di Rembang.
Paduka juga harus berlayar sekitar tiga hari dua
malam
sebelum sampai ke Songeneb. Sampai disana kira-kira sehari semalam lagi harus
berjalan kaki menuju Batu Putih di sebelah utara bukit kapur yang tandus. Saya
persiapkan bekal untuk Paduka,” nada bicaranya pelan dan terkesan hati-hati.
“Aku tahu kamu
menyembunyikan sesuatu Macan. Kenapa kamu tidak berterus terang,” selidik
Sanggramawijaya. Matanya tajam menatap lawan bicaranya. Sedang yang
diajak bicara terus menunduk.
“Ampun Paduka
Pangeran.....,” keluh rasanya ludah yang ia telan. Sementara yang lain seakan
tak sabar menunggu. “Bicaralah Macan,” tegas Dyah Wijaya lagi.
“Sekali lagi ampun Paduka. Bukan hamba meragukan
kedigdayaan Senapati Pagon. Tapi hamba khawatir.....” ia hentikan lagi
bicaranya.
Meski tak terucap,
Sanggramawijaya mengerti maksudnya. Iapun menatap Gajah Pagon yang langsung
tertunduk. Lalu bergantian ia tatap mata semua aryanya. Tak ada ekspresi apapun.
Semuanya mematung, bisu.
“Kalau begitu biarlah
Pagon tinggal di rumahmu dulu. Rawatlah ia hingga sembuh. Setelah itu bolehlah
ia menyusulku ke Songeneb atau tunggu satu diantara kami yang akan menjemputnya
kemari,” sabdanya.
“Ampun paduka
Pangeran. Untuk yang itu, hamba tak bisa,” balas Macan Kuping yang mengagetkan
bak sambaran petir di puncak pohon ndaru.
Semua mata langsung tertuju para pria yang tetap tegap di usia tuanya. Masih
jelas terlihat sisa-sisa kekekaran tubuhnya di balik kulitnya yang telah
keriput. (bersambung)
1.
Songeneb
Adalah nama kadipaten di ujung timur pulau Madura. Nama ini diambil dari bahasa
Jawa Kuno yang berarti lembah yang tenang. Penggunaan nama itu muncul dari
surat keputusan Raja Tumapel, Kertanagara saat menempatkan salah satu
pejabatnya, Arya Wiraraja sebagai Adipati di Songeneb pada 31 Oktober 1269.
Baru pada awal abad ke 18, Pemerintah
Kolonial Belanda mengubah nama Songeneb menjadi Sumenep karena nama baru itu
lebih mudah pengucapannya dalam lafal Belanda serta untuk politik budaya yakni
penggantian nama demi menancapkan pengaruh Belanda seperti yang dilakukannya di
Batavia dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar