Bab II : Persembunyian Gajah
di Sarang Macan
Sang Kaditya 17)
mulai mengintip di ufuk timur. Sudah pagi. Namun sisa-sisa kabut masih
mengambang di atas tanah dusun Kudadu wilayah Pandakan 18).
Sebagian telah berubah wujud menjadi titik-titik embun yang membasahi daun-daun
bawang dan tetumbuhan lain di sawah dan ladang sayur warga desa.
Macan Kuping, sang
kepala dusun Kudadu juga telah bersiap ke ladangnya. Namun ia masih harus
menghabiskan dulu minuman hangat yang disediakan Nyi Wuruh, istrinya. Ia masih
duduk diatas bale-bale depan rumahnya. Beberapa anak dan mantu lelakinya sudah
lebih dulu berangkat ke ladang. Tinggal Hanggoro yang ada di rumah.
Sedari pagi buta tadi
ia keluar rumah. Berbekal sabit ia berjalan bersama-sama teman sebayanya ke
sisi bukit. Lalu pulang dengan sepikul rumput sebagai menu sarapan
sapi-sapinya.
Biasanya ia segera
kembali ke padang untuk menyabit rumput lagi sembari menggiring
kambing-kambingnya. Tapi kebiasannya itu sedikit tertunda. Ibunya menyuruh
lelaki muda itu untuk lebih dulu memperbaiki pawon 19) yang
rubuh diterjang babi peliharaannya yang lepas sore
kemarin.
Entah siapa namanya.
Tapi seisi rumah sudah terbiasa memanggil gadis belia itu Cenil. Mungkin karena
tubuhnya yang mungil ditunjang rona memerah di pipi remajanya yang membuatnya pantas dipanggil
dengan sebutan itu.
“Kakang kok gitu.
Sakit,” keluh Cenil sambil terus mengayak beras dalam tampihannya. Sementara
sang saudara tuanya malah tertawa lebar hingga menampakkan deretan giginya yang
merah lantaran sering mengunyah buah pinang.
“Aduh cantiknya adik
kakang ini. Tapi sayang ya, bulan depan
mau dikawinkan sama Tindas Wuwung,” Hanggoro menggoda adiknya lagi. Mata Cenil
langsung melotot. Sorot matanya tajam menatap sang kakak.
“Siapa yang mau kawin
sama Kakang Tindas,” meski marah, namun kecantikan itu tetap tak bisa
disembunyikan.
“Kamu”
“Aku emoh,” ujarnya
ketus.
“Ya harus mau. Sedari
kecil, Bapa sudah menjodohkan kamu sama si Tindas,” sengaja ia membuat adiknya
marah. Hanggoro memang suka menggoda Cenil.
“Kakang saja yang kawin sama Kakang
Tindas,” ia lemparkan sebiji kerikil dari tampihan berasnya pada Hanggoro. Ia
pun berlalu masuk ke dapur untuk menanak nasi pagi itu.
Hanggoro
menyusulnya. Cenil melengos, sementara Hanggoro senyam-senyum kecil sambil
sesekali melirik ke arah adiknya. Lalu iapun disibukkan membenahi pawon yang rusak.
*********************************
“Uwak
Kuping.....Uwak Kuping.....,” Likur Sawo berteriak sambil berlari. Kakinya
mantap menapak pematang. Terburu-buru ia menghampiri Macan Kuping di tengah
ladang. Nafasnya terengah, keringat berlelehan dari sekujur tubuhnya.
“Ada apa? Kenapa kamu begitu tergesa.”
“Uwak harus pulang......”
“Kenapa?”
“Sekarang wak..., sekarang,”
“Ada apa,” Macan
Kuping berusaha tetap tenang. Di tepuk-tepuknya pundak kemenakannya itu,
berusaha menenangkannya.
“Ada orang mau
mati....di rumah....banyak....,” ucap Likur. Wajahnya menegang, lututnya
tergetar. Jelas terlihat ia baru saja menyaksikan sesuatu yang menakutkan di
luar batas kemampuannya menahan rasa takut.
Macan Kuping sadar,
ada masalah serius yang terjadi di rumahnya. Buru-buru ia naik ke pematang,
namun ia berusaha tetap tenang agar tak membuat panik warganya yang saat itu
juga turut mendengar dan melihat kepanikan Likur Sawo.
“Pagak dan Sintang,
teruskan pekerjaanmu. Aku pulang dulu,” katanya pada kedua anaknya yang
membantu ia menggarap sawah. “Kalian semua...ayo kerja lagi,” teriaknya pada
orang-orang disana lainnya.
Bergegas ia menapaki
pematang, Likur mengikutinya dari belakang. Begitu sampai di jalan, Macan
Kuping pun mempercepat langkahnya. Ia berjalan cepat, namun Likur sudah hampir
kepayahan mengejar langkah Uwaknya. Ia sudah berlari namun Macan Kuping jauh
berada di depannya.
Lelaki uzur itu
memang bukan orang sembarangan. Sebelum jadi Buyut 20) di Kudadu, ia adalah
salah satu satria yang cukup disegani di Tumapel. Ia masih bocah ingusan saat kerajaan
besar itu diperintah oleh Anusapati, putra pendiri Tumapel, Sri Rajasa Sang Girinathaputra.
Ia adalah saksi
perseteruan yang terjadi berkepanjangan antara putra-putra Sri Rajasa yang
bertahta di Kutaraja, ibukota Tumapel dengan saudara-saudara tiri mereka yang
hanya diberi jabatan sebagai Yuwaraja 21) di Dhaha yang direbut Sri Rajasa dari
tangan penguasa terakhir Kerajaan Panjalu, Sri Kertajaya.
Macan Kuping menjabat
lurah pasukan Kerajaan Tumapel di masa-masa akhir pemerintahan Sri
Jayawisnuwarddhana Sang Mapanji Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana
Kamaleksana atau Wisnuwardhana, putra dari Sang Prabu Anusapati, raja kedua
Tumapel.
Di masa
pemerintahannya itu, Prabu Wisnuwardhana menjadikan Canggu sebagai bandar besar
di hilir Bengawan. Dan pada rentang waktu itulah perseteruan antara keturunan
Sri Rajasa mulai mereda dengan naik tahtanya Sang Narasinghamurti sebagai
penguasa Dhaha.
Bahkan Prabu
Wisnuwardhana juga mengubah nama Kutaraja, ibukota Tumapel menjadi Singhasari. Bahkan hingga beribu-ribu tahun kemudian setelah kematiannya, kerajaan
yang didirikan dan dipimpinnya itu lebih dikenal dengan sebutan Singhasari
daripada Tumapel.
Demi melihat kondisi
negaranya yang semakin aman dan tenteram setelah naik tahtanya Kertanegara,
putra Wisnuwardhana, Macan Kupingpun memutuskan mengundurkan diri dari karier
militernya di kedaton Tumapel dan memilih kembali ke desa Kudadu, tempat ia
dilahirkan.
Jalan yang ditapaki
Macan Kuping adalah belokan terakhir menuju rumahnya, kira-kira tinggal 50
tombak jauhnya, tapi cuping hidungnya sudah mencium bau anyir darah. Sejenak ia
hentikan langkahnya. Dipejamkan matanya. Gelap di depannya, tapi mata hatinya
memancarkan sinar benderang yang membuatnya melihat jauh hingga ke depan
rumahnya yang sepi.
Pandangannya
menerobos hingga masuk menyusuri senthong
22) demi senthong yang
ada di dalam rumahnya. Tak ia lihat apapun yang ganjil disana. Terlihat
cucu-cucunya yang bermain dan ada yang menangis dalam gendongan ibunya.
Terus ia masuk hingga
bagian belakang, kosong. Macan Kupingpun membuka matanya. Tiba-tiba saja ada
yang menghentak jantungnya, meremas hatinya. Darahnya mendesir cepat, cepat dan
makin cepat.
Macan Kuping kembali
memejamkan matanya, kali ini kelopaknya terkatup lebih dalam. Ia tata nafasnya
dan seketika itu rohnya seakan terbang lepas dari wadagnya. Melayanglah ia udara dan meneruskan perjalanan ke dalam
rumahnya.
Ia lihat istrinya,
Nyi Wuruh berjalan bergegas. Di tangannya ada takir berisi tumbukan halus dedaunan yang biasa ia gunakan
untuk mengobati luka. Sedang Cenil
membawa kendi-kendi air minum. Mereka keluar menuju kebun belakang rumah yang
berbatas dengan hutan Pandakan. Ia ikuti langkah kecil istri dan anak ragilnya.
Dan.....
“Ayo
Likur....percepat langkahmu, kita harus cepat sampai rumah,” ia tolehkan
kepalanya. Likur baru saja sampai di sisinya. Ia berdiri membungkuk sambil
memegang perutnya. Kulit mukanya memucat kelelahan, nafasnya memburu. “Nggih....,”
ia angkat kepalanya, tapi Macan Kuping sudah tak ada lagi di depannya. (bersambung)
--------------------------------------
1.
Kaditya
adalah istilah untuk menyebut matahari.
2.
Pandhakan
jaman dulu adalah identik dengan Pandaan sekarang sebagaimana didukung uraian
Piagam Kudadu bertahun 1294 yang dikeluarkan oleh Kertarajasa Jayawardana
berdasarkan pengalamannya saat mengungsi ke Madura.
Prasasti Kudadu yang
berasal dari Gunung Buthak, Trawas Mojokerto menceritakan terima kasih raja
Kertarajasa kepada ketua dusun Kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah
waktu singgah dalam perjalanan ke Madura.
3.
Pawon
adalah istilah yang dipakai oleh orang-orang Jawa pada masa lalu untuk menyebut
kompor berbahan bakar kayu yang dibuat dari susunan batu yang dilapisi dengan
tanah liat.
4.
Buyut
adalah istilah yang dipakai untuk menyebut pemimpin desa.
5.
Yuwaraja
adalah penguasa tertinggi yang ditempatkan di kerajaan-kerajaan bawahan.
Biasanya orang-orang yang menepati posisi ini adalah kerabat dekat raja.
6.
Senthong
adalah istilah yang dipakai sebagai kata ganti ruangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar