Bab I : Merebut Sang
Putri
Tiga bayangan hitam berkelebat cepat mengiris
areal perkemahan pasukan Gegelang yang diatur rapi pada sebidang tanah rata di
Buntak. Gerak bayangan itu berhenti beberapa depa 1) dari batas lor perkubuhan.
Saat itu malam begitu
pekat. Sang candra serasa malas tunaikan tugasnya. Rasanya sudah jengah ia
melihat pertumpahan darah yang tak kunjung usai di tlatah Jawa. Sudah beberapa
hari, ia dan sang surya bergantian menjadi saksi pembantaian prajurit-prajurit
perkasa. Tubuh-tubuh rubuh bersimbah ludira lantaran anak panah, pedang, kapak,
trisula muka, tombak dan gadah lawannya.
Yang terluka langsung
ditikam tanpa rasa iba. Tak mau mereka repot membawa tawanan pulang.
Bunuh...bunuh...dan bunuh. Begitu saja teriakan sang prawira yang memimpin
gerak laju para bala tamtamanya.
Bau anyir pun
menyeruak tajam. Meluas panjang dari Kedung Peluk, Lemah Batang ke Kapulungan
hingga Rabutcarat. Kengerian berlanjut di Hanyiru, Kurawan, Kembangsari hingga
akhirnya tertambat di Buntak.
Tak terbilang
banyaknya lelaki yang meregang nyawa. Yang selamat memilih kabur tak tentu
arah. Entah dari bala tentara Tumapel 2) maupun
pasukan dari kerajaan Gegelang.3)
Namun akhirnya
pasukan Gegelang dibawah pimpinan Patih Kebo Mundarang dan Dyah Ardharaja 4)
lah yang jadi jawaranya. Panji-panjinya tegak berkibar di atas reruntuhan pura
kadityan Singhasari 5). Diatas tubuh kaku Sang Kertanegara 6), Mahapatih Kebo Anengah, Panji Angragani, Wirakreti dan Empu Raganata.
Pun demikian dengan
para putri puspaingkaputren 9). Mereka diboyong sebagai ratna sutawan 10) untuk
dipersembahkan pada junjungannya. Diantara mereka termasuk Tribuwaneswari dan
Dewi Gayatri, istri-istri sang pewaris tahta Tumapel, Dyah Nararya
Sangramawijaya. 11)
Satu hal yang malam
itu membuncah di dada cucu Narasinghamurti.12)
Ia memang kalah perang. Mertuanya tewas, pasukannya mati atau semburat. Tahta
warisannya pun telah hancur lebur. Tapi tak ikhlas ia jika kedua tambatan
jiwanya harus memanggul status yang menghinakan, ratna sutawan.
Lebih tak rela lagi
jika keduanya harus sujud menyembah di kaki Jayakatwang dan Ardharaja. Bapa dan
anak durjana yang tega berkhianat pada junjungannya,Prabu Kertanegara yang
digdaya.
Mereka menusuk dari
belakang. Menyerbu kala istana tengah dalam pesta pora pernikahan Dyah Sangramawijaya
dengan kedua putri Kertanegara. Saat sebagian kawula Tumapel sedang mabuk oleh
tuak. Sementara kekuatan utama negara justru tengah berjuang di Swarnadwipa
untuk menghadang laju kepongahan Khubilai Khan, Kaisar Mongol.
Amarah dan dendam
anak Lembu Tal itu membuncah laksana kobaran api yang ditimpa biji-biji jarak
kering. Karena itu ia putuskan untuk turun gelanggang sendiri merebut kedua
mutiaranya dari tangan-tangan kotor pasukan Gegelang di perkemahannya.
Meski dikenal sebagai
satria yang cura, dira dan deraka,13)
namun Sang Dyah Wijaya tak mau ceroboh apalagi bertindak bodoh. Bukan perkara
mudah sendirian menerobos perkemahan yang berisi ratusan pasukan Gegelang untuk
membebaskan belahan hatinya.
Apalagi, para satria
utama Dhaha juga ikut ada disana. Dyah Ardharaja, Patih Kebo Mundarang, Jaran
Guyang, Jangkung Angilo, Sura Tiggya, Kuda Paksa dan Pakis Jingga. Selain itu
ada juga Lembu Tumangtang, Santar dan Gagak Pangguhan serta Mantri Segara Winotan.
Untuk mengatasi
semuanya, Dyah Wijaya meminta dua orang arya
kepercayaannya, Gajah Pagon dan Lembu Sora menemaninya. Dan bayangan ketiga lelaki perkasa itulah yang berkelebatan dalam
kepekatan ratri di perkubuhan pasukan Gegelang. Di belakangnya, beberapa arya Tumapel lainnya mengikuti mereka. (bersambung)
Catatan kaki
1.
Depa
: 1 Depa diambil dari ukuran panjang
kedua tangan yang direntangkan, dihitung dari mulai ujung jari salah satu
tangan sampai ke ujung jari tangan lainnya yang kira-kira sepanjang 1,8 meter.
2.
Tumapel
merupakan kerajaan yang didirikan pada tahun 1222 oleh Sri Rajasa Sang Amurwabhumi
atau Rangga Rajasa yang kemudian menjadi raja pertama. Kerajaan yang
diperkirakan berlokasi di Kabupaten Malang-Jawa Timur ini beribukota di
Kutaraja.
Raja terakhir, Kertanagara, kemudian
mengganti nama ibukota kerajaannya menjadi Singhasari atau Singasari atau
Singosari yang kemudian justru jauh lebih dikenal daripada nama Tumapel
sendiri.
Kerajaan ini runtuh pada tahun 1292 usai
diserbu pasukan dari Gegelang di tengah-tengah pesta pernikahan putri Raja
Kertanagara dengan Dyah Wijaya.
3.
Gegelang
atau Gelang-Gelang atau Glangglang adalah kerajaan yang diperkirakan berlokasi
di dusun Ngrawan, Desa Dolopo, Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun.
Hingga saat ini baru Prasasti Mula Manurung
bertarikh 1255 M sebagai bukti sejarah tertua yang menyebut nama kerajaan
tersebut. Diperkirakan kerajaan tersebut sudah berdiri jauh sebelumnya. Hanya
saja keterbatasan sumber sejarah yang ada membuat kisah tentang kerajaan
tersebut masih belum banyak terungkap.
4.
Dyah
Ardharaja adalah putra dari Jayakatwang dan Narrarya Turukbali, penguasa
Kerajaan Gegelang. Dalam prasasti Kudadu ia juga disebutkan sebagai menantu
Raja Tumapel yang terakhir, yakni Kertanegara.
5.
Singhasari
adalah nama ibukota kerajaan Tumapel di masa pemerintahan Raja Kertanegara.
6.
Kertanegara
adalah raja terakhir Tumapel. Ia disebut sebagai raja yang memiliki ambisi
besar untuk memperluas wilayah kerajaannya hingga ke luar pulau Jawa.
Kertanagara adalah putera Wisnuwardhana raja
Singhasari di tahun 1248-1268 sedangkan ibunya bernama Waning Hyun. Berdasarkan
prasasti Mula Malurung, Kertanagara sempat dinobatkan sebagai yuwaraja di
Kadiri tahun 1254 dan baru di tahun 1268 ia naik tahta kerajaan Tumapel
menggantikan ayahnya.
Istri Kertanagara bernama Sri Bajradewi. Dari
perkawinan mereka lahir beberapa orang putri, yakni Tribhuwaneswari,
Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Menurut Prasasti Kudadu,
putri-putrinya itu menikah dengan Raden Wijaya putra Lembu Tal, dan Ardharaja
putra Jayakatwang.
Kertanagara meninggal dunia pada tahun 1292 M
akibat pemberontakan Jayakatwang yang merupakan sepupu, yang juga ipar, sekaligus besannya sendiri.
7.
Ranggah Rajasa Sang
Girinathaputra adalah Abhiseka atau nama penobatan pendiri
kerajaan Tumapel setelah menaklukkan kerajaan Kediri. Kitab Pararaton
mengidentifikasinya dengan sebutan Ken Arok dengan segala latar belakang
buruknya.
Namun ada sumber lain yang menyebutkan ia
adalah putra dari Rakyan Ginantaka, juga cucu Rakyan Wirandhaka selaku Senapati
Sarwajala Kerajaan Kediri di masa Pemerintahan Sri Maharaja Rakay I Hino Sri
Aryeswara Madhusudhana Watarirajaya Kameswara, atau yang dikenal dengan nama
Prabu Kameswara I.
Ia melakukan pemberontakan pada Raja Kediri
yang dinilai telah melakukan perbuatan menyimpang atas dorongan para Brahmana.
Untuk itu ia membangun kekuatan pasukan di wilayah Tumapel sebelum melakukan
penyerangan ke Dhaha.
Kemenangan besar dalam peperangan terakhir di
Ganter memunahkan kejayaan Dhaha. Rangga Rajasa kemudian mendirikan kerajaan
Tumapel di tahun 1222 yang beribukota di Kutaraja. Sedangkan Dhaha dijadikan
kerajaan bawahan.
8.
Dyah
Jayakatwang juga sering disebut dengan nama Jayakatong, Aji Katong, atau
Jayakatyeng atau Haji Katang menurut penulisan kronik China. Ia adalah suami
dari Narrarya Turuk Bali yang diangkat sebagai ratu di Gegelang.
Jika ditilik dari silsilahnya, ia adalah
keturunan Erlangga yang membangun kerajaan Panjalu Daha. Kakek buyutnya bernama
Kertajaya, penguasa terakhir Kerajaan Daha sebelum dikalahkan Ranggah Rajasa
pada tahun 1222 M.
Mpu Prapanca dalam Kakawin Nagarakretagama
menulis, setelah peristiwa itu Rangga Rajasa mengangkat putra Kertajaya bernama
Jayasabha sebagai raja di daerah Kadiri. Berikutnya Jayasabha memiliki putra
bernama Sastrajaya yang adalah ayah dari Jayakatwang.
Prasasti Kudadu dan Prasasti
Pucangan/Penanggungan menyebut Jayakatwang sebagai bupati Gegelang saat
menyerang pusat pemerintahan kerajaan Tumapel pada tahun 1292.
Namun kekuasaan yang ia bangun di tanah nenek
moyangnya, Kediri, tidak berlangsung lama setelah diserbu pasukan Majapahit
yang berkolaborasi dengan balatentara Madura dan Mongol pada 1293.
9.
Puspaingkaputren
adalah istilah yang dipakai pengarang untuk menyebut para putri raja.
10. Ratna Sutawan adalah
istilah yang dipakai pengarang untuk menyebut para putri raja yang menjadi
tawanan setelah kerajaannya dikalahkan dalam sebuah perang.
11. Dyah Nararya
Sangramawijaya adalah pendiri Kerajaan Majapahit sekaligus raja pertama
Majapahit yang memerintah pada tahun 1293-1309, bergelar Prabu Kertarajasa
Jayawardana, atau lengkapnya Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa
Jayawardhana.
Istilah ‘Dyah’ merupakan gelar kebangsawanan
yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar "Raden". Istilah
Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra
Hadyan.
Raden Wijaya dalam prasasti Balawi tahun 1305
menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa. Menurut Nagarakretagama,
Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal, putra Narasinghamurti. Kitab Pararaton
menambahkan, Narasinghamurti alias Mahisa Campaka adalah putra Mahisa Wonga
Teleng putra Rangga Rajasa pendiri Kerajaan Tumapel.
12. Narasinghamurti
adalah tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Tumapel. Sejarawan Slamet Muljana
memperkirakan Narashingamurti adalah nama gelar yang dipakai saat ia menjadi
raja di negara bawahan Tumapel. Sedangkan nama aslinya adalah Narajaya.
Dalam Prasasti Mula Manurung yang bertarikh
1255 M, Wisnuwardhana, Raja Tumapel menyebut nama Narajaya sebagai saudara
sepupunya yang diberi posisi sebagai Yuwaraja di Hering.
Kitab Nagarakretagama menyebut ia sebagai
ayah dari Dyah Lembu Tal yang kemudian memperanakkan Dyah Wijaya.
Prasasti Penampihan yang dikeluarkan oleh
Kertanagara (putra Wisnuwardhana) menyebut Narasinghamurti meninggal dunia
tahun 1269.
13. cura, dira dan deraka
adalah kata serapan dari bahasa Sansekerta atau Jawa kuno yang berarti berani,
kokoh dan kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar