“Sudah kau perhatikan semuanya, Pagon,”
tanya Dyah Wijaya. Pria kekar itu menganggukan kepalanya, mantap. Tak ada suara
yang keluar dari bibirnya yang merah menghitam itu.
“Lalu dimana gustimu
berada,” mencecar tanyanya. Pagon tak menjawab. Hanya
sorot tajam matanya yang ia arahkan pada kerumunan prajurit yang tengah
berdiang di depan empat tenda berukuran lebih kecil diantara ratusan kemah
lainnya di tengah-tengah padang luas yang telah rapi dibabat sebelumnya.
“Dimana !,” meski
pelan namun suara itu serasa menghentak. Senopati utama Tumapel itupun menunjuk ke tenda bertirai kulit kambing berwarna
merah belang yang diannya telah padam.
Anak Lembu Tal itupun
menghela nafas panjangnya. Sepertinya semua persis dengan perkiraannya. Pasukan
Gegelang itu tak mau ambil resiko dalam menjaga kedua putri Kertanegara.
Mereka menempatkan
keduanya dalam posisi yang rapat terjaga. Terpisah dari putri sesembahan
lainnya. Tersendiri diantara kemah-kemah peristirahatan para ksatria utama.
Itupun masih dalam pengawasan puluhan prajurit terpilih yang tak pernah lena
berjaga sepanjang malam.
Tolehan kepalanya
bergerak seiring langkah kakinya yang mengayun angin. Dyah Wijaya melesat
menuju tenda sang putri Sutawan. Lembu Sora di sisi kiri dan Pagon mengapit
kanan. Bayangnya laksana trisula muka yang tajam mengkilat.
Hanya dalam beberapa
kedipan mata saja, dua puluh prajurit penjaga terpental ke segala arah.
Pendiangan jadi hampir padam tertimpa tubuh-tubuh kekar bersimbah darah.
Kayu, arang dan bara
terlontar menyebar, membakar tenda-tenda di sekitarnya. Sontak para arya utama
Dhaha berhamburan menyambut serangan mendadak itu.
Seketika itu bende ditabuh bertalu-talu. Suaranya mengagetkan seisi
perkubuhan. Buru-buru siaga pasukan meski hanya dengan meraih senjata
sebisanya. Segera mereka berkumpul ke tengah, mengepung Gajah Pagon,
Lembu Suro dan Dyah Wijaya yang bersiap dengan keris terhunus berlelehan darah
musuhnya.
“Benar khan kataku,
Paman. Mereka pasti akan datang. Kakangmbok Puspawati dan Pusparasmi adalah
umpan yang manis untuk memancing si bodoh ini masuk perangkap kita,” cibir
Ardharaja.
“Pengkhianat kau
Ardharaja. Tangan ini yang akan menarik keluar hatimu yang busuk itu. Bangsat,”
kian erat jemari Sanggramawijaya menggenggam keris pusaka peninggalan kakeknya,
Mahisa Campaka Sang Narasinghamurti.
**********************************
Darahnya menggelegak karena amarah dan
dendam. Masih terbayang di matanya, saat ia dan Ardharaja menjadi sepasang
pedang kembar bagi Kertanegara untuk membela kehormatan Tumapel dari serangan
pasukan Gegelang.
Sanggramawijaya
sempat menaruh hormat pada Ardharaja. Meski ia adalah anak kandung Jayakatwang,
namun ia tetap dengan gagah berani memimpin pasukan Sri Kertanegara, ayah dari
istrinya.
Kehebatan keduanya
begitu luar biasa. Ratusan pasukan Gegelang di bawah komando Jaran Guyang yang
menyerang dari sisi utara dihantam di Kedung Peluk. Banyak diantara mereka yang
berguguran. Sedangkan yang mundur dikejar sampai di desa Lemah Batang dan
Kapulungan.
Pertempuran hebat
kembali terjadi, namun sepasang rajawali Tumapel itu lagi-lagi mampu memukul
mundur pasukan Jayakatwang hingga ke desa Rabutcarat.
Namun tanpa dinyana,
ternyata disanalah ladang pembantaian bagi pasukan Tumapel. Mereka dihantam
dari dua arah setelah ratusan darah baru pasukan Dhaha mengombak datang dari
desa Hanyiru di sisi Timur.
Wadyabala Tumapel
kewalahan. Lelah dan putus asa menghinggapi sebagian pasukan. Tak ada pilihan
selain mundur sejenak ke desa Kapulungan untuk menyusun siasat.
Saat itulah, siasat
pengkhianatan Ardharaja dijalankan. Ia dan beberapa orang anggota pasukannya
tiba-tiba menusuk dari belakang. Pasukan Tumapel pun tercerai-berai. Mereka
saling tikam dan baku tusuk.
Sedangkan dari arah
depan, kiri dan kanan, berbuih-buih pasukan Gegelang yang didatangkan dari desa
Kurawan dan Kembangsari beringas menghantam tanpa ampun.
Sanggramawijaya
mengamuk sekuat tenaga. Keris pusakanya disabetkan ke kiri dan ke kanan.
Ditusukkan ke depan dan ke belakang hingga puluhan pasukan dan satria Dhaha
bertumbangan berkalang tanah.
Tapi usahanya seakan
sia-sia. Sebagian besar pasukannya mati. Yang tersisa memilih lari berhamburan
tak tentu arah. Sebersit kesadaran muncul disaat genting. Ia tak boleh mati
dulu. Amarah harus sejenak diredam. Perjuangan akan diteruskan nanti,
setelah menghimpun kembali kekuatan yang ada.
Sangrama Wijaya
berlari cepat meniti angin. Di belakangnya, sembilan orang
lainnya mengikuti. Sempat ia melirik. Dari sudut matanya terlihat sosok Lembu Sora,
Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahisa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan,
Wirota Wiragati dan Pamandana.
Mereka melesat cepat
menuju keraton Tumapel di Singhasari. Tapi langkah mereka terhenti selemparan
batu dari kutaraja, demi dilihatnya kibaran panji-panji Gegelang berwarna merah
dan putih dari Pura Kadityan yang
telah porak-poranda.
Api berkobar
dimana-mana. Jerit tangis anak-anak dan perempuan membahana saat mereka
digiring bala tentara Dhaha pimpinan Patih Kebo Mundarang.
Darah belia
Sangramawijaya kembali menggelegak. Mukanya memerah. Ia cabut keris pusaka dari
warangkanya. Ia akan menyerbu, tapi langkahnya tercekat gerakan Lembu Sora yang
langsung menghadang di depan.
“Ampun Pangeran.
Bukan saya meragukan kedigdayaan Pangeran. Tapi kita bak segerombolan laron
yang menerobos bara api jika nekad masuk keraton. Mereka terlalu banyak,” Lembu
Sora coba membujuk sesembahannya.
“Bagaimana
dengan Gusti Sri Kertanegara....” pandangan Sanggrama Wijaya nanar menatap ke
depan.
“Ampun Pangeran. Baru
saja kami dengar laporan dari pasukan yang tersisa. Gusti Prabu sudah berpulang
ke jinalaya 14).
Pun demikian dengan Empu Arganata,” timpa Nambi, kepala pasukan telik sandi Singhasari. Nada suaranya pelan, kepalanya
tertunduk dalam.
Seluruh tulang
Sanggramawijaya luruh. Ia terduduk bersimpuh di atas tanah. Sejenak matanya ia
pejamkan. Duka mendalam menggelayuti hatinya laksana mendung gelap yang
memayungi langit Tumapel.
Ingin rasanya ia
mengutuki takdirnya. Kenapa harus dirinya yang jadi saksi atas keruntuhan
Tumapel yang beribukota di Singhasari itu. Kerajaan penguasa Nusantara yang
dilahirkan Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra, 70 tahun silam.
“Istriku.......”
tanyanya bergumam.
Tak ada yang bicara.
Para ksatria utama Singhasari itu beku membisu. Sampai akhirnya gelegar suara Gajah Pagon
yang terdengar. “Paduka Dyah Ayu Dewi Gayatri dan Tribhuwaneswari selamat.
Mereka ditawan sebagai putri boyongan.”
Jemari
Sanggramawijaya terkepal erat. “Bangsat Jayakatwang. Bajingan Ardharaja. Kebo
Mundarang keparat. Tak akan kubiarkan mereka menyentuh kulit kekasihku.”
Tiba-tiba kepalanya mendongak. Gemertak giginya keras terdengar. Wajahnya kaku.
Hampir saja Dyah
Wijaya tiwikrama 15) kalau
saja lengan kekarnya tak dijamah Nambi. “Sabar pangeran. Kita atur dulu siasat
untuk merebut kembali paduka putri. Mundur bukan berarti kalah, seperti jemparing 16) yang harus
ditarik ke belakang untuk melepaskan anak panahnya. Jika saatnya telah tiba,
kita rebut kembali kejayaan itu. Nanti, saat tiba titi mangsane.....” (bersambung)
-----------------------------------------
1.
jinalaya
adalah istilah untuk menyebut alam kematian atau akherat.
2.
Tiwikrama
adalah istilah yang dipakai untuk menyebut suatu kondisi kemarahan yang
terbendung hingga memiliki kekuatan ekstra untuk meluapkannya.
Istilah ini sendiri mengacu pada kemampuan
titisan Wisnu yang mampu berubah wujud menjadi raksasa yang amat besar saat
kemarahannya memuncak.
3.
Jemparing
adalah istilah untuk menyebut busur panah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar