Oleh : Jaludieko Pramono
Ketika mendengar istilah Protestan,maka yang pertama kali
terbersit di otak saya adalah ‘protes’ sebagai kata dasarnya. Dan saat istilah
itu dikaitkan dengan kata Kristen, maka munculnya sebuah pengertian dangkal di
kepala saya tentang sekelompok penganut keimanan dalam kekristenan yang timbul
karena adanya aksi protes itu tadi.
Penalaran sederhana itu seakan mendapat pembenaran
setelah sekedar mengetahui latar belakang sejarah yang mengisahkan tentang
gerakan sekelompok biarawan di Jerman pada tahun 1517 yang dimotori Martin
Luther.
Dalam perkembangan berikutnya, aksi protes terhadap
kebijakan-kebijakan gereja pada saat itu melahirkan denominasi baru di kelompok
penganut ajaran Kristus yang disebut sebagai kaum protestan.
Gerakan tersebut sebenarnya juga bukan yang pertama. Pada pertengahan abad ke-12 aksi semacam itu sudah muncul di Perancis yang dihembuskan Peter Waldo. Lalu di awal tahun 1400, Jan Hust atau Yohanes Hust memimpin aksi protes serupa di kawasan Bohemia (daerah di Eropa Tengah yang meliputi Jerman, Austria, Polandia, Ceko dan Slovakia).
Namun gerakan keduanya patah di tengah jalan saat gereja
memvonis aksi mereka sebagai pengajaran sesat sehingga Jan Hust pun dihukum
mati. Pun demikian dengan nasib Waldo yang dikucilkan.
Namun hal ini tidak berlaku bagi Martin Luther. Walaupun
idenya itu merupakan sesuatu yang kontroversial, tetapi ia mendapat dukungan
kuat dari masyarakat dan sebagian kaum bangsawan Jerman yang sudah merasa
jengah dengan terlalu dalamnya intervensi gereja terhadap kewenangan mereka.
Ucapan-ucapan Martin Luther justru menjadi kobaran api
yang menyebar dengan sangat cepat ke sebagian besar kawasan Eropa. Dialah yang
berhasil meledakkan dinamit pembaharuan dalam tubuh kekristenan yang kemudian
diteruskan oleh John Calvin, Zwingli, John Knox dan lain-lain.
Konsekuensi yang paling kentara dari gerakan pembaharuan
ini adalah terbentuknya pelbagai macam
sekte Protestan di kawasan Eropa, khususnya Jerman, Perancis, Inggris dan
Belanda beberapa tahun kemudian.
Tapi pengetahuan yang hampir saja menjadi pemahaman itu
mendadak buyar ketika saya ngobrol dengan seorang teman menjelang pelaksanaan Pemilu
Legislatif pada 2009 lalu.
Teman yang nggak perlu saya sebutkan namanya itu
memberikan pencerahan bahwa kata dasar protestan adalah pro-testan. Ini
merupakan kata serapan dari bahasa Yunani - pro testarum-
atau jika dibahasa-inggriskan menjadi pro testament yang bermakna dukungan
untuk kembali pada kemurnian Injil.
Dijelaskannya, semangat dari munculnya gerakan ini adalah
upaya pemurnian kembali konsep keimanan Kristen dan tata kelola institusi
gereja yang diselewengkan oleh oknum-oknum imam.
Ia tak menampik adanya kisah sejarah tentang 95 dalil
yang dipakukan Martin Luther di pintu Gereja Wittenberg Jerman untuk
menunjukkan kesalahan-kesalahan yang harus diperbaiki gereja.
Menurut teman saya itu tadi, hakekat dari semua item
penyimpangan tersebut adalah lantaran menempelnya gereja sebagai sebuah
institusi keimanan dengan politik pemerintahan sipil saat itu.
Sehingga gereja
pun memiliki otoritas yang cukup besar untuk mengintrusi politik tata Negara
yang dipegang para raja atau penguasa wilayah sejenisnya yang diwujudkan dengan
kewenangannya dalam keputusan tentang pajak, agraria bahkan pernyataan perang.
Gerakan Pro-testan ini pun disebutnya sebagai aksi
puritan untuk mengembalikan peran gereja sebagai penanggungjawab pembinaan
rohani umat berdasarkan ajaran Kristus. Sedangkan urusan politik pemerintahan
diserahkan sepenuhnya pada pihak lain di luar institusi gereja.
"Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu
berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada
Allah!," begitu katanya mengutip pengajaran Kristus sebagaimana tersurat
dalam Injil Matius 22 : 21 ; Markus 12 : 17 dan Injil Lukas 20 : 25.
Hanya saja, ia mewanti-wanti jangan sampai hal ini
dimaknai sebagai bentuk sikap gereja yang anti politik. Justru sebaliknya, ia
menilai, gereja dan umat Kristen harus sadar dan paham politik. Pasalnya tak
ada satupun dari hajat hidup masyarakat, termasuk jemaat Kristen, yang lepas
dari pengaruh politik.
Pemahaman itulah yang kemudian menjadi landasan berpikir,
bersikap dan bertindak bagi gereja terhadap kebijakan para pemimpin bangsa.
“Naikkanlah selalu syafaat bagi para pemangku politik bangsa agar mereka diberi
hikmat surgawi supaya bisa mensejahterakan rakyatnya. Inilah bentuk upaya yang
harus dilakukan umat Kristen seperti yang diperintahkan Tuhan dalam Yeremia 29
: 7,” katanya lagi.
Upaya lain yang bisa dilakukan gereja di dunia politik
adalah mempersiapkan umat yang memiliki talenta dan panggilan khusus dari Tuhan
untuk terjun ke dunia politik praktis di pemerintahan.
Tujuannya, agar nantinya orang-orang itu benar-benar
menjadi politisi yang memiliki karakter Kristus sehingga mampu jadi alatNya
untuk menyampaikan kabar keselamatan bagi setiap orang.
Diharuskannya pula untuk selalu memonitor dan tak
segan-segan memberi nasehat dan mendoakan umat yang memiliki kekuasaan politik
pemerintahan itu agar tetap berada di rel kebenaran Allah sebagaimana
digariskan dalam Alkitab.
Iapun menyebut nama Daud, Salomo dan tokoh-tokoh Alkitab
lainnya yang justru jatuh dalam dosa saat mereka mendapat kepercayaan dari
Tuhan untuk melayaniNya melalui khazanah politik pemerintahan.
“Cukup sampai disitu saja areal pergerakan gereja secara
institusional di ranah politik. Tapi untuk personnya tidak terbatas karena
semuanya sangat tergantung dari panggilan Tuhan yang sifatnya individu per
individu.”
Dengan begitu maka gereja tetap berada di garis
kemurniannya sebagai lembaga pembina kerohanian umat agar siap diterjunkan ke
berbagai ranah sebagai pengerja di ladang penuaian jiwa-jiwa sesuai talenta dan
panggilannya masing-masing. Baik di sektor bisnis, olahraga, sosial,
pendidikan, profesional, seni dan budaya bahkan politik.
Sebaliknya gereja harus mewaspadai adanya gerakan yang
dilakukan orang-orang di internalnya, baik jemaat maupun mereka yang menduduki
posisi imam sekalipun, yang berusaha menjadikan lembaga gereja dan jemaat
sebagai alat politiknya.
Karena kelompok orang semacam itu tidak akan segan-segan
bahkan sangat fasih menggunakan ayat-ayat dalam Alkitab sebagai dalil pembenar
dari perilaku politiknya, baik yang dilakukan secara terbuka maupun terselubung.
Sebelum mengakhiri obrolan ini, teman saya tadi
mengatakan, “baca Matius 4 ayat 1 – 11,” dan sayapun sibuk membuka-buka halaman
Alkitabku.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar