Dirikan Pilar Pendidikan dan Sosial
Ditulis ulang oleh Jaludieko Pramono dari berbagai sumber
Memasuki awal abad ke-20, strategi penginjilan di Jawa mulai berpindah haluan. Tak lagi secara langsung namun
melalui pendirian
lembaga-lembaga pelayanan masyarakat seperti sekolah,
rumah sakit, rumah yatim piatu, dan beberapa kegiatan sosial lainnya.
Manuver di sektor bidang pendidikan dan
sosial itu ternyata terbukti lebih
bisa diterima dan sanggup memikat hati orang-orang Jawa di masa
itu untuk mengenal pribadi, kasih dan karunia Kristus.
Strategi ini disebut pre-evangelisation, yaitu suatu
usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya mau menerima
ajaran ke-Kristen-an. Meski
membutuhkan biaya yang relatif lebih besar dan waktu yang lebih lama, Kristenisasi lewat pendidikan ini terbukti lebih berhasil ketimbang sebelumnya.
Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Frans van
Lith di Muntilan, Jawa Tengah. Ia mendirikan sekolah
dan bangunan gereja di desa kecil bernama Semampir.
Mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah
guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan
guru-guru kepala pada 1906.
Teman van Lith, Hoevenaars, juga menempuh cara serupa.
Dia membangun berbagai sekolah di Mendut dan mengumpulkan para murid yang masih
belia. Semua guru sekolah tersebut beragama Katolik, namun para muridnya
seluruhnya berasal dari keluarga-keluarga Muslim.
Para alumnus sekolah-sekolah Muntilan dan Mendut
itu kebanyakan menjadi guru pada jejaring sekolah-sekolah dasar Katolik yang
dikembangkan dengan cepat di berbagai kota dan kampung di Jawa.
Para guru itu kemudian berupaya menghasilkan
jemaat-jemaat Katolik baru. Dengan demikian, sekolah yang dibangun oleh Frans
van Lith maupun Hoevenaars adalah sekolah kader.
Sebuah ungkapan penting dari Frans van Lith:
“Tujuan kita adalah memberi pendidikan yang tinggi kepada
pemuda-pemuda Jawa sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik dalam
masyarakat. Kepada mereka kita memberikan pendidikan Kristiani, dan bila mereka
nanti tersebar di seluruh Pulau Jawa, kita akan menanti tumbuh dan mekarnya
benih-benih yang kita sebar.”
Untuk mendapatkan dukungan pemerintah Belanda, Pastor van Lith harus pergi ke
Bogor menemui Gubernur Jenderal van Idenburg. Kerja kerasnya
berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima
kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima
status disamakan dari pemerintah Belanda.
Lulusan sekolah ini juga diberi hak yang sama
dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri.
Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat pada umumnya, saat itu merupakan suatu
yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah
milik pemerintahan penjajah Belanda.
Buku “van Lith” menceritakan bahwa
sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai
daerah. Mereka datang
dengan
satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh
sebuah pekerjaan yang lebih baik.”
Van
Lith memang sangat menekankan pentingnya misi penyebaran injil melalui pilar pendidikan. Bahkan, ia
berpendapat, masa depan Gereja di Indonesia akan ditentukan oleh
sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun
yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui
kegagalan.”
Dan salah satu siswanya yang kemudian
namanya tercatat dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa adalah Albertus Soegijapranata SJ,
Uskup pribumi pertama di Indonesia yang ditahbiskan oleh Paus Pius XII pada 4 Agustus 1940.
Strategi budaya
Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa
pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya lokal. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam
akivitas belajar mengajar disamping bahasa Belanda.
Van Lith sendiri disebut-sebut sebagai tokoh pendorong
kebangkitan nasionalis Jawa Katolik. Ia dikenal sangat fasih
menggunakan bahasa
Jawa halus dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan priyayi-priyayi
Jawa yang berpengaruh di Keraton Jogja dan
Pakualaman.
Romo Van Lith, begitu ia biasa
dipanggil, juga menjadi pendukung kemerdekaan bangsa Indonesia dari Belanda
sehingga bisa menduduki
tempat terhormat diantara bangsa-bangsa
lain di dunia.
Kebijakan dan teladan ini membuat gerakan penginjilan di
Jawa, terutama Jawa Tengah melaju cepat. Karel Steenbrink, seorang penginjil muda dari ordo Jesuit mengatakan, ”Barangkali
tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana pastor pribumi
dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”
Wilayah pelayanan pun kian diperluas ke daerah
sekitarnya. Diantaranya ke Salatiga dan Ungaran.
Sebuah sekolah guru kembali didirikan di kawasan Tingkir
– Ambarawa pada 1908. Dan di tahun 1930,
sekolah
‘Sabda Mulya’ dibuka di
Ungaran untuk menelurkan guru-guru Injil.
Ke sisi barat, layar dikembangkan menuju daerah Kendal,
Pekalongan hingga Tegal. Sedangkan ke arah
Timur pekabaran Injil menyasar kawasan Purwodadi, Blora dan
Bojonegoro. Sedangkan ke Selatan, nama Tuhan diperdengarkan hingga
ke batas pantai Gunung Kidul dan Cilacap.
Ladang yang sangat luas ini digarap oleh enam
lembaga misionaris baik dari Belanda dan juga Inggris. Namun kontribusi terbesar justru hadir dari para penginjil lokal, yakni
para jemaat yang dikembangkan oleh Kiai Ibrahim Tunggul Wulung dan juga Kiai
Sadrach.
Rintangan terbesar yang dihadapi para penginjil saat itu
adalah otoritas
penguasa setempat. Pemerintah Kolonial Belanda secara
tegas mencegah
lembaga-lembaga Pekabaran Injil untuk memberitakan firman Tuhan di pulau Jawa.
Tujuannya agar jangan sampai timbul kerusuhan akibatnya banyaknya orang-orang Jawa yang menjadi pengikut Kristus.
Pasalnya hal itu justru akan menjadi isu sensitif yang dikhawatirkan akan
memicu perlawanan para priyayi dan ulama terhadap pemerintah kolonial.
Sementara itu, para pemimpin pribumi yakni para lurah dan
bupati terus berupaya merintangi terbentuknya komunitas-komunitas Kristen. Sebab para penganut Kristen itu tidak lagi bersedia datang pada
penghulu yang resmi untuk meneguhkan pernikahan mereka. Ini
berarti berkurangnya pemasukan ke dalam kas desa dan
sebagainya.
Karena itu orang-orang Jawa Kristen tersebut lebih
suka bedol deso dan mendirikan pemukiman-pemukiman baru yang eksklusif supaya dapat
menghindari gangguan dari para bupati dan lurah itu.
Fakta menunjukkan, semakin dihambat gerakan pekabaran
Injil di tanah Jawa justru semakin merambat. Semakin hari kian bertambah jumlah
orang-orang Jawa yang menerima Tuhan Yesus dan dibaptis.
Sebagian besar diantara mereka adalah
orang-orang awam dari kelompok abangan atau kejawen. Sedangkan para santri dan priyayi yang bertobat biasanya
akan menjadi pemimpin di komunitas
orang Jawa Kristen ini.
Pada 1925 musik Jawa pertama kali masuk dalam
gereja-gereja sebagai lagu ibadah. Perintis masuknya
lagu gereja dengan gamelan Jawa tersebut adalah C.Hardjosoebrata,
dengan karangannya antara lain: Atur Roncen, Sri Yesus Mustikeng Manis dan O
Kawula Punika.*(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar