V. Di Mojowarno Benih itu Ditumbuhkan
Oleh : Jaludieko
Pramono
Memasuki 1844, gonjang-ganjing melanda komunitas Kristen pribumi di Ngoro. Kegaduhan internal ini dipicu keputusan pimpinan komunitas tersebut, Coenraad Lourens Coolen yang mengusir beberapa jemaatnya.
Pasalnya mereka dipergoki telah dibaptis di GPI Surabaya.
Padahal Coolen dengan tegas melarang jemaatnya dibaptis. Alasannya, sakramen
kudus itu hanya akan membuat jemaat Kristen Jawa akan tercerabut dari akar
budayanya karena mereka telah memiliki nama barat, berpakaian barat dan
berperilaku ala orang Eropa.
Dengan kejadian tersebut, Coolen pun mengancam akan
memberikan sanksi serupa bagi jemaatnya yang ikut-ikutan berkhianat pada
ajarannya. Padahal hampir sebagian besar pengikut jemaat pribumi mula-mula di
tanah Jawa itu ingin dibaptis, termasuk Ditotruno.
Sewaktu beberapa orang temannya, sesama tokoh penting Ngoro, sibuk kasak-kusuk di belakang Coolen soal baptisan, Ditotruno tetap tenang. Begitu pula ketika rekan-rekannya itu – yang kemudian diikuti oleh sejumlah warga desa – memutuskan untuk dibaptiskan, ia tetap tenang dan tidak mengikuti jejak mereka.
Ia paham betul akan resiko pengusiran yang bakal
dilakukan Coolen. Dan sebagai bekas prajurit Pangeran Diponegoro, Ditotruno
memiliki perhitungan politis yang jauh lebih matang daripada teman-temannya.
Ia tahu, teman-temannya yang membelot telah mendapat
induk semang baru di daerah Sidokare, Sidoarjo. Namun baginya, hal tersebut
tidak memiliki nilai tambah karena hanya berpindah dari satu tuan kepada
majikan lainnya. Ia ingin membuka hutan dan lahan sendiri sehingga tidak
tergantung pada kepemimpinan orang lain.
Kebetulan tidak jauh dari Ngoro ada suatu daerah yang
bernama hutan Kracil. Ia pun menyampaikan keinginannya pada Coolen. Ia juga
memohon agar Coolen bersedia mengurusi segala syarat-syarat yang diperlukan
bagi perizinan pembabatan hutan itu.
Sebagai seorang ‘buronan’ politik, Ditotruno tentu segan
untuk berurusan secara langsung dengan pemerintah. Lagi pula ia tidak pandai
berbahasa Melayu, yang saat itu merupakan bahasa pergaulan umum yang dipakai.
Ada ahli sejarah yang menduga adanya hubungan kekerabatan
antara Ditotruno dengan Coolen yang memungkinkan salah satu perwira dalam
perang Jawa itu bersikap lebih terbuka dalam hal tersebut.
Permohonan itupun dikabulkan. Tak perlu berlama-lama,
Ditotruno bersama Karolus Wiryoguno dan puluhan penduduk Ngoro berangkat menuju hutan Kracil. Bersama-sama mereka
membuka hutan tersebut.
Lalu sesuai rencana, Ditotruno, Wiryoguno yang kemudian
dibantu Eliasar Kunto, pimpinan pelarian dari Sidokare menjadikannya sebagai
areal pertanian. Dan yang pasti pemukiman warga pun tumbuh di sekitarnya hingga
akhirnya berdirilah tiga desa sekaligus diatas lahan bekas hutan tersebut pada
1845.
Yakni Mojowarno yang dipimpin Ditotruno, Mojowangi yang
dipimpin Eliasar Kunto dan Mojoroto dengan pimpinannya Karolus Wiryoguno. Di desa-desa
baru itu, mereka meneruskan pengajaran Collen, yakni Kristen Kejawen pada
warganya masing-masing.
Saat Bandul Berubah
Arah
Tahun-tahun berikutnya membawa sebuah angin perubahan yang
begitu keras. Kekecewaan yang semakin dalam terhadap Coolen membuat semakin
banyak para penganut Kristen Jawa yang bermigrasi keluar dari Ngoro.
Sebagian dari mereka mengikuti senior mereka, Yakobus
Singotruno yang membuka lahan pertanian dan pasamuwan baru di Sidokare.
Sedangkan sebagian lainnya pilih mencari ‘suaka’ ke Mojowarno dan menjadi
jemaat Ditotruno, Wiryoguno atau Kunto. Sedangkan yang lainnya menyebar ke
daerah-daerah di sekitar Ngoro dan berbaur dengan penduduk muslim atau penganut
kejawen murni.
Mendengar keberhasilan rekan-rekannya dan didorong
kekecewaan pada Johanes Emde, orang-orang buangan yang masih tersisa di
Sidokare memutuskan hijrah ke Mojowarno, tak terkecuali Kiai Paulus Tosari dan
Kiai Yakobus Singotruno pada 1850.
Eksodus besar-besaran ini membuat desa-desa baru itupun
makin hidup. Dan dalam perkembangan berikutnya, sejarah perkembangan
kekristenan pribumi di Jawa Timur telah berpindah ke Desa Mojowarno dan
desa-desa baru di sekitarnya. Jadi catatan-catatan sejarah yang ada pada
periode ini lebih banyak menyoroti Mojowarno ketimbang Ngoro atau Sidokare.
Beberapa hal yang pasti adalah bahwa Desa Mojowarno
menjadi pusat kekristenan pribumi dan merupakan blueprint bagi keberadaan
desa-desa Kristen di Jawa Timur. Diantaranya desa Swaru (1857), Peniwen (1880),
Wonorejo (1884) dan
desa-desa lainnya. Desa-desa Kristen ini memiliki
kesamaan, yaitu penduduknya adalah masyarakat petani.
Masuknya Si Kulit
Pucat
Perkembangan komunitas Kristen pribumi di Mojowarno
menjadi perhatian Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) saat mereka berhasil
menginjak Surabaya di tahun 1849 setelah sukses mengantongi izin dari
pemerintah Kolonial Belanda untuk melakukan aktifitas Pekabaran Injil di Jawa.
Dan adalah J.E. Jellesma yang dipanggil untuk memenuhi
tugas tersebut. Pendeta Belanda itu ditempatkan di Surabaya. Sejak menginjakkan
kaki di Surabaya misionaris yang pernah ditugaskan di Seram, Maluku itu
terobsesi untuk mengembangkan jala pelayanannya di daerah pedalaman, terutama
ke Mojowarno.
Surat permohonan izin pelayanan pun dilayangkan ke
pemerintah kolonial Belanda. Dan baru dalam tahun 1851 izin tersebut diberikan.
Tak mau menunggu terlalu lama, saat itupun Jelesma langsung berangkat ke
Mojowarno.
Langkah pertama yang dilakukan disana adalah menetapkan
komunitas komunitas Kristen pribumi disana sebagai jemaat yang ia gembalakan
sendiri. Jelesma juga membaptis semua warga Mojowarno, termasuk sang pemimpin
yang kemudian bernama Abisai Ditotruno.
Hal lain yang dilakukannya adalah pemisahan kekuasaan
sosial-religius. Ditotruno tetap sebagai kepala desa sedangkan tanggung jawab
atas persekutuan jemaat diserahkan pada Paulus Tosari sebagai guru Injil.
Pada tahun itu juga,
Jellesma mendirikan Kweekschool, salah satu jenjang pendidikan resmi
untuk menjadi guru pada zaman Hindia Belanda dengan pengantar Bahasa Belanda pada
1850. Namun delapan tahun kemudian sekolah tersebut terpaksa ditutup dan baru
dibuka kembali pada 1900.
Bagian penting yang digarap Jellesma adalah membentuk
sekaligus mengkonsolidasi jemaat-jemaat Kristen Jawa yang letaknya berjauhan.
Untuk itu, ia kerap berbagi tugas dengan Paulus Tosari karena sering bepergian
untuk mengunjungi ke berbagai wilayah di Jawa Timur.
Tahun 1858 pendeta Jellesma wafat di usia 41 tahun.
Pimpinan gereja Mojowarno pun diserahkan pada Tosari. Selama karir pelayanannya
di Mojowarno, Jellesma telah membaptis 2.500 orang Jawa, mendirikan sekolah,
menerbitkan buku-buku rohani dari cerita Alkitab, mengumpulkan satu bundel
nyanyian rohani dan mendirikan denominasi Gereja Kristen Jawa Wetan.
Jellesma telah mempersatukan kedua aliran kekristenan
yang masih muda itu di pulau Jawa, yaitu aliran Barat dan aliran Jawa asli.
Aliran Barat menghambat perkembangan Gereja sehingga Gereja menjadi lemah,
sedangkan aliran Jawa bertumbuh dengan liarnya sehingga lenyaplah
kekristenannya yang sejati. Sebenarnya Jellesma telah meletakkan dasar yang
baik bagi Gereja Kristen serta Gereja Jawa yang sejati.
Atas usahanya pula, dibukalah di Mojowarno sebuah sekolah
penginjil yang pertama di Jawa. Mereka yang sudah memperoleh didikan ditugaskan
untuk memelihara jemaat-jemaat yang masih muda, serta mengadakan kunjungan
sampai ke Jawa Utara dan Jawa Tengah guna menyebarkan Injil Kristus. Tidaklah
sedikit manfaat daripada usaha-usaha mereka bagi Gereja Jawa yang masih amat
muda itu.
Sinar yang Kian
Benderang
Sebagai pusat pengembangan Kristen Jawa, gereja Mojowarno
bergerak semakin maju. Gedung gereja dengan arsitektur Eropa nan megah pun
dibangun dan diresmikan pada 3 Maret 1881.
NZG juga mendirikan rumah sakit pada 6 Juni 1894 yang
diberinama Zendings Ziekenhuis te Mojowarno sebagai bagian penting yang
dihasilkan oleh badan misi pekabaran injil ini.
Semenjak itu, orang Kristen Jawa dari kelas wong cilik
dapat mengenal pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam pengertian Barat modern.
Keberadaan dukun modern (para dokter dan mantri) dengan obat-obatan yang modern
pula, mulai menggantikan kebiasaan penduduk di desa-desa Kristen untuk pergi ke
tabib tradisional.
Dengan begitu, sedikit demi sedikit kepercayaan
masyarakat Jawa terhadap keberadaan para roh gaib – yang dianggap sebagai
sumber dari penyakit yang mereka derita – dan takhayul, juga mulai berkurang.
Sementara itu dalam hal keagamaan, kekristenan Jawa di
Mojowarno ini berbeda dengan kekristenan ala Coolen yang dikembangkan di Ngoro.
Pola-pola kekristenan Barat lebih mewarnai persekutuaan ini.
Pdt. Brumund, seorang pendeta GPI Surabaya yang bertugas
antara tahun 1840-1863 mengatakan bahwa, “Kehidupan gerejani jemaat Mojowarno
sepenuhnya mengikuti model Barat. Ia melukiskan kebaktian di gereja dan
memperlihatkan bahwa kebaktian gereja Nederland ditiru tanpa perbedaan sedikit
jugapun”.
Di masa kemerdekaan, gereja ini juga menjadi saksi
sejarah namun tetap berada pada trek kemajuan. Dewasa ini jumlah jemaatnya
sudah mencapai 3 ribu orang. Dengan sejarah yang begitu panjang, tak heran umat
Kristen di beberapa desa wilayah Mojowarno menjadi mayoritas.
Di Mojoroto dan Mojodukuh, 90% penduduknya adalah
Kristen. Sedangkan 60 persen penduduk Mojowangi juga Kristen. Sedangkan di desa
Mojowarno sendiri yang Kristen sekitar 40 persen dari jumlah total warga.
Angka terendah dalam
sejarah perkembangan GKJW Jemaat Mojowarno adalah saat terjadi perang bumi
hangus antara Belanda dan Jepang. Perang membuat banyak warga yang meninggal,
luka-luka dan sebagian ada yang mengungsi ke tempat yang lebih aman sehingga
gereja mulai surut anggotanya. Sedangkan angka tertingggi dalam sejarah perkembangan
GKJW Jemaat Mojowarno adalah ketika pemerintah mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan warganya beragama hal ini sebagai akibat dari dilarangnya partai
komunis tumbuh di Indonesia. Warga mulai berbondong-bondong masuk kedalam
gereja untuk menerima sakramen baptis, sehingga terjadi peningkatan anggota
yang cukup banyak.* (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar