Geliat Para Pembangkang
Oleh
: Jaludieko Pramono
Coenraad
Lourens Coolen bergeming. Tuan tanah, pemimpin rakyat sekaligus pasamuwan
Kristen Jawa di Ngoro itu tak mau mengubah keputusannya, meski koleganya di
Surabaya, Johannes Emde telah memohonkan pengampunan.
Hatinya
terlanjur sakit. Pemimpin umat yang dipanggil Kiai Kolem itu merasa dikhianati.
Karena itu ia tetap tak mau menerima kembali jemaatnya yang dianggap
membangkang perintahnya, yakni menerima sakramen pembaptisan di GPI Surabaya.
Dalam
pengajarannya, Coolen memang tidak memperbolehkan jemaatnya dibaptis.
Alasannya, ia khawatir, usai dibaptis dan mendapatkan nama baptis, orang-orang
Kristen Jawa itu akan menjadi sombong, bertingkah laku dan berbusana seperti layaknya
orang Eropa dan meninggalkan akar budayanya.
Kini
justru Emde yang kebingungan. Orang Jerman yang telah lama tinggal di Surabaya
itu merasa harus ikut bertanggungjawab atas nasib Singotruno dan teman-temannya.
Ia coba menghubungi seorang tuan tanah di Sidokare Sidoarjo, Meneer W. Gunsch agar
mau menampung orang-orang buangan tersebut.
Gayung
pun bersambut. Kebetulan ia memang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk
perkebunan sewaannya di Sidokare. Saat ini lokasinya kira-kira berada di sisi barat
Stasiun Kota Sidoarjo.
Kala
itu, pada 1844, sebagian besar daerah Sidokare yang masuk dalam wilayah
administratif Karesidenan Surabaya masih berupa hutan belantara yang terkenal
angker. Hanya sebagian kecil lainnya yang sudah diupayakan menjadi lahan
pertanian dan perkebunan tebu.
Maka
sejak saat itu, orang-orang buangan Ngoro dibawah kepemimpinan Yakobus
Singotruno itu bedol deso ke Sidokare.
Mereka tinggal, bekerja dan mendirikan persekutuan Kristen yang dipimpin oleh
Singotruno sendiri di sekitar areal persil yang disewa Gunsch dari pemerintah
colonial Belanda.
Mereka
hidup berdampingan dengan orang-orang yang lebih dulu tinggal disitu. Pekerjaan
mereka bertani dan membuat tembikar. Namun mereka bukan Kristen.
Persekutuan
Kristen yang dipimpin Singotruno berada di bawah kontrol NZG. Rencananya,
nantinya di tempat itu akan dibangun jemaat sekaligus gedung gereja yang akan
menjadi role models gereja Jawa.
Pengorganisasian, doktrin serta tata ibadahnya disesuaikan dengan gereja-gereja
Protestan Eropa seperti di Surabaya, Semarang, Jakarta, Tugu dan juga Depok.
Sidokare
menjadi permata baru yang sinarnya benderang di kalangan orang-orang Kristen
Jawa yang dibangun dan dikembangkan Coolen. Bak paku besi yang terseret besi
magnet, sedikit demi sedikit umat orang Ngoro pun boyongan ke Sidokare hingga
terbangunlah persekutuan baru dikalangan buruh tani dan jumlahnya konon pernah
mencapai 200 orang.
Setidaknya
hal itu tercatat dalam buku Tumbuh, Dewasa, Bertanggungjawab. Suatu Studi
mengenai Pertumbuhan Greja Kristen Jawi Wetan Menuju ke Kedewasaan dan
Kemerdekaan ±1835-1935 yang ditulis Nortier di tahun 1935.
Dalam
buku itu disebutkan NZG berharap kelompok jemaat Kristen Jawa tersebut mampu
hidup menurut aturan moral yang ketat yang sepenuhnya berbeda dengan konsep
yang dikembangkan Coolen di Ngoro.
Untuk
itu, tuan tanah asal Swiss itu memberikan pendidikan ala barat pada buruh-buruh
tani yang dipekerjakannya, terutama bagi para petobat Kristen meski masih
bersifat non formal.
Perubahan yang
Mengecewakan
Meski
berada dibawah kendali NZG, Kiai Singotruno sebagai pengajar Injil sekaligus
pemimpin kebaktian rutin tetap mempertahankan tata ibadah Kristen Jawa
sebagaimana diajarkan oleh gurunya di Ngoro.
Kondisi
ini membuat para misionaris Belanda di Surabaya gerah. Mereka kurang setuju
dengan jemaat Kristen Sidokare yang melaksanakan kebaktian tanpa pendeta serta
masih bernuansa Kejawen.
Hal
ini disikapi secara radikal dan kaku oleh Emde yang memang beraliran ‘Kristen
Londo’. Ia berpendapat bahwa seorang Kristen Jawa harus mengalami pengalihan
budaya agar bisa menjadi Kristen sejati.
Maka
iapun menerapkan aturan-aturan yang wajib ditaati oleh seluruh jemaat di
Sidokare. Dalam komunitas yang ia dirikan itu orang Kristen jawa diharuskan
meninggalkan kejawaan mereka untuk kemudian hidup sebagai ‘orang-orang barat’.
Aturan
itu dirumuskannya dalam 10 perintah, yakni :
1)
Potonglah rambutmu pendek-pendek.
2)
Jangan memakai ikat kepala di gereja.
3)
Jangan mendengarkan gamelan.
4)
Jangan menonton wayang.
5)
Jangan melakukan khitanan.
6)
Jangan menyelenggarakan selamatan.
7)
Jangan menyanyikan tembang Jawa.
8)
Jangan merawat pekuburan.
9)
Jangan menaburkan bunga di makam.
10)
Jangan membiarkan anak-anakmu bermain permainan Jawa.
Sejak
saat itu tak ada lagi blangkon dan keris dan berganti dengan pakaian ala Eropa.
Syahdunya suara gending-gending sudah tak lagi bisa mereka nikmati. Apalagi
gagahnya suluk yang keluar dari bibir para dalang.
Kini
mereka telah berubah menjadi pribadi yang berbeda. Petani yang sederhana di
hari-hari kerja yang tiba-tiba bermetaformosis menjadi Londo ireng saat hari
kebaktian tiba. ‘Londo wurung, Jawa tanggung’.
Aturan
radikal itu menimbulkan benih-benih kekecewaan di hati para jemaat Kiai
Singotruno. Ada seberkas penyesalan yang terbit atas keputusan mereka
meninggalkan Ngoro dan teduhnya pengajaran Coolen. Tapi nasi sudah menjadi
bubur.
Seiring
perjalanan waktu, makin banyak diantara mereka yang sudah tak mampu lagi bertahan. Kerinduan akan akar budayanya yang
dicabut secara paksa oleh Emde mendorong mereka untuk segera hengkang.
Apalagi
telah terdengar di telinga mereka bahwa sebagian teman mereka di Ngoro sudah
mulai membuka alas Kracil untuk dijadikan pemukiman dan lahan pertanian baru
yang kemudian menjadi desa Mojowarno.
Dibawah
komando Eliasar Kunto, mereka kemudian memilih Mojowarno sebagai ‘tanah
harapan’ baru, sebab Kiai Coolen di Ngoro sudah tak mau lagi menerima orang Kristen
Jawa yang telah dibaptis. Apalagi dengan penampilan baru mereka saat ini yang
sudah ‘ilang jawane’.
Sedikit
demi sedikit, jemaat Sidokare pun mulai terkikis. Meski begitu Kiai Singotruno
yang dibantu Kiai Paulus Tosari memilih untuk tetap bertahan di Sidokare
bersama orang buangan Ngoro lainnya.
Akhirnya
pertahanan para pembangkang itu jebol juga tatkala Gunsch juga mulai
ikut-ikutan mencabuti akar budaya mereka. Menjelang pergantian tahun 1849,
Gunsch mendesak bahkan sedikit memaksa Singotruno dan kawan-kawan untuk
mencabut kaki mereka dari lembut dinginnya tanah sawah.
Ia
mengarahkan orang-orangnya itu menjadi pedagang. Sedang sebagian lainnya
dimintanya belajar menjadi tukang tembikar, tukang kayu, tukang batu dan lain
sebagainya.
Perintah
itu dipatuhi meski sebelumnya harus bersitegang dulu dengan sang tuan tanah. Perubahan
mata pencaharian ini ternyata tidak semudah omongan Meener Gunsch. Banyak diantara
mereka yang kemudian tidak mendapat hasil yang diharapkan.
Dalam
bukunya Nortier mencatat, pada saat itu terkuaklah motivasi asli Gunsch yang tidak
pernah sepenuhnya membantu mereka dengan sukarela. Namun ada sebuah niat untuk
memanfaatkan orang-orang buangan itu untuk meraih keuntungan pribadinya.
Kristen Bukan Eropa
Kesadaran
baru kembali timbul. Bahwa sekalipun telah menjadi Kristen, mereka tidak harus
berganti profesi apalagi sampai membuang budaya leluhur yang telah menyatu
dalam darah dan dagingnya melalui pekerjaan, busana, seni maupun bahasa.
Bagaimana
pun mereka adalah Wong Jowo sekalipun telah mempercaya Yesus sebagai Tuhan dan
Juru Selamatnya. Mereka bukan Belanda, Jerman, Rusia atau kelompok orang Eropa
lainnya. Bukan pula Arab, Tionghoa dan orang timur jauh yang punya budaya dan
keyakinannya sendiri.
Sikap
itu sama persis dengan pandangan Inspektur NZG di Jawa, Pdt. J.E Jellesma. Baginya,
petobat Jawa harus tetap berada pada roh kejawaannya saat menjalankan ajaran
Kristus dalam kehidupannya sehari-hari.
Menurutnya,
petobat-petobat Jawa adalah orang yang paling tepat untuk menjalankan misi
pekabaran Injil di tanahnya sendiri. Aktifitas penginjilan yang mereka lakukan
bisa mengeliminir gesekan kepentingan dengan pemerintah kolonial maupun
sentimen negatif kaum pribumi yang beragama Islam maupun penganut aliran
kejawen.
Lantaran
itulah, sejak kedatangannya di Surabaya pada 1849, ia mendidik beberapa pemuda
Jawa untuk menjadi penginjil. Selain itu ia menyuruh 4 orang pemuda Kristen
potensial dari Sidokare untuk pergi ke jemaat-jemaat yang tersebar itu. Aktifitas
mereka dibiayai oleh ‘Perkumpulan Pembantu Pekabaran Injil’ di Surabaya.
Gara-gara
pandangannya itu, Jellesma harus bersitegang dengan kelompok ‘Kesalihan
Surabaya’ yang diikuti Emde dan juga Gunsch. Keduanya bahkan melarang Jellesma
menginjakkan kaki ke Sidokare apalagi menemui anggota jemaat.
Bisul
ketegangan ini akhirnya meledak juga di tahun 1850. Tekad Kiai Singotruno dan
Kiai Paulus Tosari sudah semakin bulat untuk meninggalkan Sidokare. Bukan hanya
berdua, mereka membawa serta orang-orang Ngoro yang tersisa beserta
petobat-petobat baru.
Persil
Sidokare yang riuh rendah dengan aktivitas perkebunan dan nyanyian pujian bagi
Tuhan itu kembali sepi seperti sedia kala. Semuanya hilang tak berbekas,
tinggal kisah masa lalunya saja yang masih tersisa.
Mereka yang Terserak
Pertengahan
abad ke 19 adalah masa keemasan industri gula di Sidoarjo seiring munculnya Sistem
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Johannes van
den Bosch pada tahun 1830.
Dan
Sidoarjo adalah daerah yang potensial untuk pembudidayaan tanaman tebu sebagai
bahan utama industri gula. Karenanya lahan-lahan persawahan yang ada sebagian
besar diubah menjadi kebun-kebun tebu. Pun demikian dengan pepohonan hutan yang
dibabat agar tanahnya bisa dipakai untuk menanam lahan perkebunan baru.
Di
masa itu, Sidoarjo pun riuh dengan pembangunan pabrik-pabrik gula di berbagai
sudut daerahnya. Sejarah mencatat ada sekitar 10 pabrik tebu yang pernah
berdiri di Sidoarjo. Mulai dari Ketegan – Taman, Sruni – Gedangan, Buduran,
Candi, Tulangan, Krembung, Wonoayu, Krian hingga Watu Tulis – Prambon.
Ada
yang menyebut, industri gula di sioarjo pada masa itu merupakan yang paling
potensial dari industri serupa di Nusantara. Pasalnya hanya Sidoarjo yang
memiliki pabrik gula sebanyak itu setelah pabrik-pabrik gula di kawasan Batavia
dan sekitarnya runtuh satu persatu.
Bukan
hanya itu, pemerintah kolonial juga membangun jaringan rel kereta api yang
menghubungkan Surabaya dengan lokasi pabrik-pabrik gula itu. Bantalan besi itu
juga ditanam disekitar ladang perkebunan untuk memudahkan mengangkut hasil
panen.
Geliat
ekonomi itu tentu saja membutuhkan banyak sumber daya manusia sebagai tenaga
kerjanya. Dan hal itulah yang kemudian menjadikan alasan bagi sebagian jemaat
Sidokare untuk meneruskan langkahnya menuju Mojowarno.
Sebagian
dari mereka memilih untuk menuntaskan perjalanannya di desa Wonomlati. Disana
mereka bekerja sebagai buruh tani di perkebunan-perkebunan tebu atau di pabrik
gula Kremboong yang didirikan N.V. Cooy dan Coster Van Voor Hout pada tahun
1847.
Selain
itu, diantara mereka ada pula yang tertarik untuk membantu proses produksi di Pabrik
Gula Toelangan yang didirikan pada 1850 oleh N.V. Matsechappy Tot
Exploitatie de Suiker Ondernamingen
Kremboong en Toelangan.
Tersedianya
lapangan kerja membuat mereka nyaman disana hingga akhirnya mereka yang
terserak itu kembali diikat dalam sebuah persekutuan warga Kristen Jawa yang
berpusat di Wonomlati atau biasa disebut Mlaten.
Pasamuwan
itu kemudian diorganisasi menjadi sebuah gereja setelah adanya petobat-petobat
baru yang dibaptiskan pada 1875. Dan lantaran jumlah jemaatnya semakin besar,
merekapun mendirikan tempat ibadah permanen pada 1883.
Tempat
ibadah yang saat ini bernama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Mlaten itu sudah
mengalami beberapa kali pemugaran. Terakhir pada 1996 lalu. Bangunan aslinya
sudah tak ada lagi kecuali sebatang kayu jati yang jadi blandar.
Sumber
sejarah lainnya menyebutkan, sebagian jemaat keluaran Sidokare itu ada yang
berhenti di desa Bogem di wilayah kecamatan Balongbendo saat ini. Anak cucu dan
keturunan merekalah yang kemudian membidani pendirian GKJW Luwung pada 1923.
Gereja
asri itu berdiri di tengah pemukiman penduduk yang majemuk. Setiap minggunya
gereja ini menjadi tempat ibadah bagi 125 keluarga Kristen Jawa yang menetap di
Luwung, Desa Sumokembangsri, Sunggatblijo, Ciro, Bureng serta desa-desa lainnya
di wilayah kecamatan Krian, Balongbendo, Tarik dan Wringinanom-Gresik.
Sementara
mereka yang teguh pada tujuan awalnya juga menggapai masa depan yang gemilang
di Mojowarno. Setelah membantu membuka hutan, akhirnya Kyai Singotruno ditetapkan
menjadi pemimpin di desa Mojotengah. Sedangkan Paulus Tosari menjadi guru Injil
di Gereja Mojowarno.*(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar