Dari Ngoro, Kristus Dikumandangkan
Oleh : Jaludieko
Pramono
Ngoro
adalah sebuah wilayah yang kini berada di Kabupaten Jombang. Konon, di masa
kejayaan Majapahit, tempat ini sudah berkembang menjadi desa yang cukup ramai.
Namun seiring dengan runtuhnya permata nusantara itu, Ngoro pun ditinggalkan
penduduknya yang menjadi daerah kosong yang tak berpenghuni.
Berabad kemudian, Ngoro kembali menjadi hutan
belantara. Sebuah kawasan pedalaman yang sepi dan menakutkan hingga tak
tersentuh program pembangunan pemerintah kolonial Belanda waktu itu.
Tapi penilaian itu tak berlaku bagi Coenraad
Lourens Coolen, seorang sinder blandhong atau pengawas penebangan kayu di
Wirosobo atau Mojoagung pada saat ini. Menurutnya, Ngoro adalah kawasan yang
potensial untuk kawasan pertanian karena tanahnya yang subur dan kaya akan air.
Meskipun bernama Eropa, namun Coolen justru
sangat ‘njawani’. Nama itu didapatkan
dari ayahnya, seorang imigran Belanda di Rusia yang kemudian menginjakkan kaki
di Indonesia sebagai tentara bayaran VOC. Sedangkan ibunya adalah seorang
ningrat Mataram. Coolen sendiri dilahirkan di Ungaran tahun 1785.
Ia bukan Kristen yang taat, apalagi seorang
yang memang terdidik dan terlatih di bidang ini. Menariknya, justru dari Coolen
lah orang-orang Jawa pertama kali mengenal Kristus, hingga akhirnya kekristenan
menyebar ke seluruh Jawadwipa.
Babat Alas
Kisahnya
bermula saat ia membuka hutan Ngoro usai mendapatkan ijin dari pemerintah
Kolonial Belanda. Dalam surat resmi yang terbit pada 3 Juli 1827, Coolen diberi
hak pengelolaan lahan seluas 2.000 bau (1.420 ha) dengan waktu kontrak selama
30 tahun. Untuk itu ia diwajibkan membayar uang sewa tanah sebesar 2.000 gulden.
Tak berapa lama, hutan Ngoro pun berubah
wujud menjadi ladang-ladang pertanian yang dikelola Coolen. Pekerjanya adalah
kerabat istrinya dan pendatang dari Wirosobo, daerah pinggiran sungai Brantas,
Kediri bahkan Madura.
Usai perang Jawa, penduduk Ngoro pun
bertambah dengan kedatangan bekas prajurit dan perwira pasukan Diponegoro yang
melarikan diri dan bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.
Philip van Akkeren dalam bukunya yang
berjudul Dewi Sri dan Kristus: Sebuah Kajian tentang Gereja Pribumi di Jawa
Timur, mencatat : “sampai dengan tahun 1834 saja, di Ngoro telah ada 101 orang
pria dan 122 orang perempuan, 28 orang pemuda yang berusia di atas 15 tahun,
serta 12 buah pedukuhan (desa kecil)”.
Orang-orang inilah yang menjadi sasaran
penginjilan Coolen yang dimulai sejak 1835. Ia memposisikan dirinya sebagai guru
Injil yang menggunakan media-media yang akrab dengan dunia masyarakat Jawa. Antara
lain tembang, wayang, gamelan dan berbagai ritual dalam pertanian.
Misalnya, saat memulai masa bercocok tanam Coolen
menancapkan mata bajak ke dalam tanah sambil menyanyikan tembang pujian
tradisional yang ditujukan kepada Gunung Semeru, Dewi Sri, dan – sebagai
tambahan dari Coolen – Yesus. Tembang tersebut beserta terjemahan bebasnya,
adalah demikian:
Oh, Gunung Semeru
kang winarni, tetunggule Pulo Jawi.
Tinetepna anggen kula
tani, singkal kang kinarya pembikake siti, sitine kagawe pera.
Buntutan kinarya
pangukuh, cacadan kang anggendoli.
Raden Pancurat kang
duwe kwasa.
Pecut penjeplake
rajakaya.
Jaka galeng kang den
borehi,
mbok rondha garu kang
ngasta.
Yaiku karemane mbok
Sri Sadono.
Kaidenan Gusti Yesus
kang luwih kwasa.
Oh,
Gunung Semeru yang indah engkau adalah yang tertinggi di Pulau Jawa.
Inilah
kidung persembahan kami.
Berkatilah
kiranya pekerjaan kami sebagai petani,
berkati
pula bajak untuk membelah dan membalikkan tanah kami,
sehingga
tanah kami menjadi gembur.
Berkatilah
mata bajak yang menggaruk tanah kami,
berkati
juga gagang kayunya, yang kepadanya kami berpegang erat.
Oh,
Sang Air pemberi kehidupan, kiranya Engkau membasahi tanah kami.
Kiranya
bunyi pecut kami berdesing dengan keras, agar memacu lembu.
Tanggul
dan pematang telah kami siapkan,
begitupun
garu yang akan meratakan tanah kami.
Kesemuanya
(kesuburan) itulah yang menyenangkan hati Dewi Sri.
Dan
itu semua adalah berkat kuasa Tuhan Yesus yang tiada tara.
Setelah Coolen melakukan prosesi ini penduduk
mengikuti hal yang sama, yaitu membajak sambil menaikkan tembang secara
bersama-sama. Dengan itu mereka secara tidak langsung telah diperkenalkan
dengan Kristus, walaupun hanya sepintas saja.
Tak hanya itu, setiap sore dia mengajak
orang-orang tua untuk berdiskusi mengenai ilmu Jawa di pendopo rumahnya.
Apabila perundingan sudah pada puncaknya, oleh Coolen pembicaraan tersebut
dibelokkan ke Injil Kristus.
Olehnya diterangkan, bahwa Injil Kristus berada
di atas segala ilmu. Diceritakan pula tentang kedatangan Yesus Kristus ke dunia
untuk menyelamatkan orang-orang berdosa. Lama-kelamaan orang-orang yang ingin
mendengarkan ceritanya semakin banyak, sehingga bangsal Coolen setiap sore
penuh sesak (Purwaningsih, 2006:8).
Masyarakat Ngoro memahami agama Kristen
sebagai sebuah ilmu baru yang memberikan rasa aman, nyaman, penuh damai
sejahtera sekaligus menjanjikan keselamatan di dunia dan akhirat.
Ibadah Ala Coolen
Seiring
dengan bergulirnya waktu, jumlah pengikut ilmu Kristen tersebut semakin banyak.
Jika sebelumnya, kumpulan tersebut hanya sebatas ‘perguruan’, berikutnya
berkembang menjadi persekutuan.
Karena itu Collen mendirikan sebuah rumah
ibadah yang disebutnya sebagai masjid Kristen yang memiliki imam, pekerja,
peraturan-peraturan, ritual dan tentu saja jemaat. Disana ia menggelar
kebaktian-kebaktian setiap hari Minggu pagi.
Coolen bergerak sendiri diluar control
misionaris NZG di Surabaya. Lembaga Pekabaran Injil itu bahkan tak mengira
adanya kelompok jemaat Kristen di Ngoro yang dipimpin seorang indo yang berani
mengajarkan doktrin Kristen tanpa memiliki pemahaman teologi yang memadai.
Bahkan materi pengajarannya pun Coolen
melakukan dengan pola inkulturasi, yakni dengan mengawinkan dogma-dogma Kristen
dengan ritual-ritual kejawen yang ditekuninya.
Dalam tata ibadahnya, Coolen mengajar
jemaatnya untuk mengucapkan doktrin-doktrin Kristen dalam bentuk rapalan
(mantra) yang bermaterikan Pengakuan Iman Rasuli (rapal pengendelan), Doa Bapa Kami (Rapal Pujian) dan 10 Perintah Allah (Rapal Sedasa Prekawis).
Rapalan itu dibacakan secara bergantian
antara dirinya sebagai pemimpin ibadah dengan jemaat. Ia tak peduli apakah jemaat
memahami kata-kata yang diucapkannya. Yang penting adalah bagaimana kata-kata tersebut
diucapkan dengan nada dan irama tertentu atau juga secara berbisik sehingga
seakan-akan memiliki daya magis.
Imam : Sun angandel
Allah Sawiji
Umat : La ilah ha il
‘llah, Yesus Kristus ya Rohullah
Imam : Kang
nglangkungi kwasanipun
Umat : La ilah ha il
‘llah, Yesus Kristus ya Rohullah
Imam :Kang weged
nyipta langit lan bumi
Umat : La ilah ha il
‘llah, Yesus Kristus ya Rohullah
Begitulah
seterusnya hingga seluruh Pengandelan selesai dibacakan. Kemudian dzikiran
dilanjutkan dengan mengucapkan kencengan secara bersama-sama; “La Yesus, la
Kristus, la Yesus, la Kristus, la Yesus, la Kristus……”, dan seterusnya. Hal ini
dilakukan sambil menggoyang-goyangkan badan dan mengangguk-angguk layaknya dzikir
yang dilakukan oleh umat Muslim.
Setelah
kencengan dianggap cukup, maka bersama-sama mengucapkan gaiban, yang kutipannya
sebagai berikut :
Giranga padha atinira
sadaya.
Rohing Allah
pinanjing mring manungsa.
Ginawe kurban,
kurbane alam donya.
Minangka tebusane
wong duraka merga bapakira Adam lan Kawa.
O, Allah, tobata
duraka kawula.
Kasapuran Gusti Yesus
kang kwasa.
Margane sapura awak
duraka,
kaidenan Gusti Yesus
kang luwih kwasa.
Bergembiralah
hatimu semua.
(Karena)
Roh Allah masuk ke dalam manusia.
(Dia)
dijadikan kurban, kurban bagi dunia.
Sebagai
tebusannya orang berdosa, lantaran bapak kita, Adam dan Hawa.
O,
Allah, ampunilah dosa kami.
Pengampunan
dari Tuhan Yesus yang berkuasa.
Dosa
kami diampuni,
oleh
karena karunia Tuhan Yesus yang berkuasa.
Setelah itu Coolen membaca Kitab Suci dan
diterangkan dengan singkat sekali. Selanjutnya bersama-sama menyanyikan
pepujan, yakni tembang yang syair dan iramanya dibuat sendiri oleh Coolen.
Usainya kebaktian di gereja tidak berarti
kegiatan keagamaan berakhir. Setelah itu para jemaat berkumpul di pendopo rumah
Coolen. Di sini, mereka mendengarkan khotbah. Pada kesempatan itu biasanya Coolen
menyentuh masalah-masalah etika kehidupan masyarakat sebagai suatu persekutuan
Kristen.
Selanjutnya seluruh rangkaian ibadah ditutup
dengan hiburan berupa pementasan wayang yang memainkan cerita-cerita dari Kitab
Suci maupun dari kisah-kisah yang umum dikenal dalam dunia pewayangan.
Konsepsi yang
Meruntuhkan
Coolen
memiliki konsepsi yang berbeda terkait doktrin Kristen yang diajarkannya.
Menurutnya, kekristenan Jawa tak perlu sama dengan ‘Kristen Londo’. Kristen
Jawa memiliki sistem organisasi, tata ritual, maupun ajaran yang kesemuanya
berdiri atas kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan sudah dikenal baik di dalam
religiusitas masyarakat Jawa pada saat itu.
Salah satu bentuknya, Coolen tidak
mengizinkan jemaatnya dibaptis dan mengadakan perjamuan kudus. Ia khawatir,
usai dibaptis dan biasanya mendapatkan nama baptis, orang-orang Kristen Jawa
akan menjadi sombong, berbusana serta bertingkah laku seperti layaknya orang
Eropa dan meninggalkan akar budayanya.
Hal itu tersirat dalam surat yang ia kirimkan
pada temannya, seorang jemaat GPI Surabaya yang bernama Johannes Emde. “Keselamatan
jiwa tidak tergantung dari baptis. Orang Kristen Jawa harus tetap menjadi orang
Jawa. Baptis tidak perlu diberikan kepada mereka, agar mereka tidak merasa
menjadi Belanda, dan meninggalkan kejawaan mereka. Mereka harus mempertahankan
identitas sebagai orang Jawa”.
Konsepsi inilah yang ditolak oleh pengikut
Coolen. Sebagian dari mereka memilih untuk dibaptis di GPI Surabaya secara
diam-diam pada 25 September 1844. ‘Pelanggaran’ ini membuat Coolen marah dan
mengusir mereka yang dianggap mengkhianati ajarannya dari tanah Ngoro.
Tapi gelombang ‘pengkhianatan’ itu terus
berlanjut hingga semakin banyak pula orang-orang yang terusir. Akibatnya keadaan
Coolen dan Persekutuan Ngoro semakin menyedihkan.
Orang-orang Kristen yang tersisa di Ngoro
hanya tinggal beberapa orang saja. Terhadap mereka ini pun Coolen masih menaruh
curiga dan rasa tidak percaya. Karena sikap ‘paranoid’ Coolen itu, jemaat yang
tersisa akhirnya memutuskan untuk hengkang menuju Desa Tebel dan Mundusewu yang
tidak beberapa jauh dari Ngoro.
Fenomena itu membuat wibawa Coolen semakin
merosot. Ia seperti raja tanpa tahta. Menjelang akhir masa kontrak tanahnya,
Coolen pun menyadari kesalahannya dan menginjinkan jemaatnya yang masih setia
di Ngoro untuk dibaptis.
Akhirnya pada tahun 1853, dari tiga kali
pelaksanaan sakramen baptisan, sebanyak 381 orang Kristen dibaptiskan di Ngoro.
Kali ini Coolen meminta agar mereka yang telah dibaptis tidak perlu pergi dari
Desa Ngoro yang sudah sepi penduduk itu.
Tahun 1854, kontrak Coolen atas tanah Ngoro
berakhir. Ia pun menjadi seorang warga biasa yang tidak lagi memiliki kekuasaan
atas penduduk Ngoro serta jemaat yang dibangunnya. Coolen wafat pada usia 88
tahun serta dimakamkan di Ngoro pada tanggal 2 Juli 1873.
Oleh NZG jemaat persekutuan Ngoro yang
semakin menyusut itu akhirnya digabung dengan Persekutuan Kertorejo (desa
tetangga Ngoro) yang memang memiliki jemaat yang jauh lebih banyak. Dengan
demikian, sejak saat itu, Persekutuan Ngoro menjadi ‘pos PI’-nya Persekutuan
Kertorejo.
Selama kurang lebih sekitar dua puluh tahun
semenjak kematian Coolen, kelompok ini masih mempertahankan kelangsungan ‘ilmu
Kristen’-nya Coolen. Namun, lama-kelamaan kelompok ini tidak bertahan juga.
Semenjak itu, kekristenan yang Coolen ajarkan
sudah tidak ada yang mempraktikkan lagi. Tikar digantikan oleh kursi. Rapalan
diganti dengan katekisasi doktrin Kristen Barat dan olah batin berubah menjadi
olah nalar.
Harmonisasi nada-nada pentatonik yang biasa
terdengar dari dzikiran, tembang-tembang gaiban dan pepujan, juga sudah berganti
dengan lagu-lagu rohani Eropa yang menggunakan nada-nada diatonik.
Sang Pemula
Coolen
memang tidak pernah belajar teologi. Ia juga tidak meninggalkan catatan apapun
mengenai pemikiran-pemikiran teologisnya. Begitu juga halnya dengan
ajaran-ajaran yang ia tanamkan dalam persekutuan Ngoro tak pernah dituliskan.
Namun ia harus tetap diakui sebagai orang yang pertama kali menancapkan
panji-panji Kristus di jiwa warga bumiputera.
Terlepas dari kontroversi ajarannya, Coolen
telah berhasil menanamkan Injil di tanah Jawa dengan cara memberinya wujud
lokal. Baik Berkat tangan Coolen, orang Jawa tidak menganggap Injil sebagai
sesuatu yang asing, sehingga kabar tentang Kristus dapat diterima dan dimaknai
secara alamiah.
Akibat pendekatan Coolen kepada kebudayaan
Jawa, beberapa komunitas Kristen yang dipimpin para penginjil Jawa bermunculan.
Diantara orang-orang Kristen Jawa itu adalah Yakobus Singotruno yang menjadi
salah satu pendiri kelompok jemaat di Sidokare, Sidoarjo. Sebagian diantara
jemaat Ngoro yang sempat bergabung di Sidokare juga mendirikan gereja yang kini
dikenal dengan nama GKJW Mlaten-Krembung.
Ada pula nama Kiai Abisai Ditotruno dan
Paulus Tosari yang mbabat alas Kracil dan kemudian mendirikan jemaat di
Mojowarno, Jombang yang hingga kini masih eksis dengan GKJW Mojowarno yang
melegenda.
Dari situ kekristenan terus berkembang.
Orang-orang Mojowarno melakukan perpindahan demi perpindahan hingga membuat
kekristenan pribumi menyebar ke seluruh pelosok Jawa Timur.
Ada yang babat alas di kaki Gunung Kawi, jadi
Desa Peniwen, di Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang. Ada pula Desa Suwaru,
Sitiarjo, Rowotrate, Tambakasri, kemudian Pujiharjo dan Tempursari yang juga
berada di Malang.
Di kawasan Tempursari, Kabupaten Lumajang,
desa-desa nasrani ala GKJW dibuka pada 1900-an, yaitu Tunjungrejo. Di Kabupaten
Jember ada kampung Sidomulyo, Sidoreno, Sidorejo, dan Rejoagung. Di kawasan
Banyuwangi dan Situbondo ada Desa Purwodadi, Purwosari, Tulungrejo, Wonorejo,
dan Ranurejo.
Di Jombang muncul pedukuhan Kristiani lain:
Kertorejo dan Bongsorejo. Di Mojokerto ada Segaran (Dlangu). Di Sidoarjo ada kampung
dan pasamuwan Sidokare yang kemudian pindah ke kawasan Luwung, Kecamatan
Balongbendo, dan sebagian di Desa Wonomlati, Kecamatan Krembung. Karena itu, di
Sidoarjo ada dua gereja tua, yakni GKJW Mlaten dan GKJW Luwung.
Para leluhur GKJW juga babat alas di Maron
(Blitar), Tumpuk (Tulungagung), Segaran, Sindurejo, Sidorejo, Sambirejo,
Tunglur, Jatiwringin, Wonoasri (Kediri), Aditoya (Nganjuk), Ketanggung, dan
Wotgalih (Ngawi).*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar