Benih Iman di Tlatah Surabaya
Oleh : Jaludieko
Pramono
Desa
Wiung Surabaya sekitar tahun 1826-1827, Kyai Dasimah membolak-balik buku tipis
yang diterimanya dari Pak Midah. Lalu modin desa Wiung itu mencoba membaca
kalimat pertama, “Purwane Ewanggelion saking Yesus Kristus, Putrane Allah……”,
(Inilah permulaan tentang Injil Yesus Kristus, Anak Allah).
Dahinya
mengernyit, sebelah alisnya ikut terangkat pertanda ada rasa heran yang
berkecamuk di benaknya. Lalu iapun meneruskan membaca kalimat selanjutnya
dengan suara agak keras supaya kenalan yang membawakan buku itu bisa ikut
mendengarkan.
Dan
setelah hampir selembar, Kyai Dasimah pun mengatakan bahwa ia sama sekali tak
mengerti dengan makna yang tersirat dari suratan kalimat yang baru saja
dibacanya itu. Dan iapun meminta agar Pak Midah bersedia meminjamkan buku
tersebut padanya selama beberapa hari ke depan.
Permintaan
itupun disanggupi. Namun Pak Midah meminta pada rekannya itu untuk menjelaskan
makna buku tersebut jika ia telah mengetahuinya. Akhirnya keduanya pun sepakat.
Namun sebelum pulang, Kyai Dasimah lebih dulu bertanya, darimana Pak Midah
mendapatkan buku tersebut.
Lalu
orang Madura penjual sarung keris di pasar Wonokromo, Surabaya itu pun
berkisah. Buku itu ia dapatkan dari seseorang yang tak dikenalnya. Perempuan
Jawa. Awalnya ia mengaku menolak pemberian itu. Tapi si wanita bersikeras
sehingga iapun menerima. Hanya sampai disitu kisah Pak Midah.
Sebenarnya
wanita itu adalah istri Johannes Emde, seorang Jerman yang datang ke Indonesia
sebagai tentara bayaran VOC. Namun setelah menikahi warga pribumi, iapun
berhenti dan memilih menjadi tukang servis arloji.
Pria
kelahiran Arolsen, Jerman pada tahun 1774 adalah seorang Kristen yang taat. Di
Surabaya ia berjemaat di GPI Surabaya. Sebenarnya ia ingin mengabdikan dirinya
dalam kegiatan pekabaran Injil di bumi Hindia Belanda.
Tapi
pembatasan yang dilakukan pemerintah kolonial membuat semangatnya sedikit
meredup. Meski begitu Emde tetap berusaha untuk menyampaikan kabar baik tentang
Kristus pada kaum bumi putera.
Caranya
dengan membuat traktat-traktat berbahasa Jawa tentang kekristenan. Selebaran tersebut
ditempelkan di tempat-tempat umum seperti pasar, mesjid, perkampungan, dan
lain-lain. Dengan begitu, Emde berharap akan ada orang-orang Jawa yang
membacanya dan mengalami pertobatan.
Usahanya
itu mendapat dukungan dari teman-temannya, terutama peranakan Eropa di
Surabaya. Mereka membentuk perkumpulan Kristen yang dipimpin Emde. Namanya
‘Kesalehan Surabaya’. Komunitas ini berobsesi melakukan penyebaran agama
Kristen di Jawa.
Gagasan
ini terwujud setelah pertemuannya dengan Joseph Kam (1769-1833), seorang
misionaris yang tengah dalam perjalanan ke Maluku pada tahun 1814 singgah di
Surabaya selama enam bulan.
Bersama
beberapa orang jemaat lainnya dan juga dengan dibantu oleh istri dan
anak-anaknya, mulailah ia secara rutin mengadakan pertemuan-pertemuan kecil di rumahnya,
di warga kampung Bonangan, Ngagel.
Selain
menelaah Alkitab, dalam pertemuan-pertemuan tersebut juga didiskusikan cara
menyiasati larangan pemerintah kolonial Belanda dalam upaya mengenalkan Injil pada
orang-orang Jawa.
Cukup
banyak kaum peranakan bahkan Eropa Totok yang tertarik dengan misi kelompok
yang berada di luar organisasi zending itu. Salah satunya adalah seorang
pemilik perkebunan berkebangsaan Swiss bernama Gunsch yang memiliki tanah
persil di Sidokare.
Ia
juga sempat berkenalan dengan Coenraad Lourens Coolen, seorang sinder blandhong
atau pengawas penebangan kayu di Wirosobo atau Mojoagung saat ini. Rupanya
setelah bertukar pikiran sejenak, Coolen pun tertarik dengan misi dan visi
Emde.
Gerakan
itulah yang dilakukan Coolen saat ia membuka hutan Ngoro, Jombang dan
menjadikannya sebagai lahan pertanian sekaligus perkampungan bagi para
pekerjanya. Meski tidak dibekali ilmu teologi yang memadai, namun pria
peranakan Belanda itu berani menyampaikan kabar keselamatan itu pada
orang-orang Jawa yang sebagian besar beragama Islam dan penganut aliran
kejawen.
Ngangsu Kaweruh ke
Ngoro
Kyai
Dasimah membawa buku itu ke surau dekat rumahnya. Disana ia membahas isi buku
tipis itu dengan beberapa temannya. Mereka bergantian membaca kata demi kata
yang tertulis disana.
Namun
hingga semuanya terbaca, tak juga mereka menangkap maknanya. Yang timbul justru
keheranan karena di buku itu disebutkan tentang Allah yang memiliki Anak
bernama Yesus Kristus.
Pada
suatu hari, salah seorang penduduk Wiung yang bernama Sadimah menghadiri acara
pernikahan di Desa Wonokitri. Saat pembacaan doa, Pak Sadimah mendengar satu
nama yang selama ini pernah ia dengar saat berdiskusi dengan Kyai Dasimah.
Ia
mendengar si pendoa menyebut nama Yesus Kristus Gusti Kawula. Segera ia hampiri
pemimpin doa dan menanyakan dari mana doa itu berasal. Ternyata orang itu
pernah beberapa bulan tinggal dan bekerja di Ngoro. Dan dari situlah ia
mendapatkan doa itu.
Informasi
tersebut langsung ia sampaikan pada Kyai Dasimah. Dan demi menuntaskan
keingintahuannya, merekapun sepakat untuk pergi ke Ngoro. Tentu saja buku itu
mereka bawa serta.
Disana
mereka bertemu Coolen yang dipanggil pengikutnya dengan sebutan Kyai Kolem.
Mereka utarakan maksud kedatangannya yang segera mendapat sambutan gembira dari
sang tuan rumah.
Dengan
tekun Kyai Kolem menyingkap makna yang tersurat dalam buku itu pada orang-orang
Wiung. Ia menjelaskan buku tersebut adalah Kitab Markus yang telah
diterjemahkan Gottlob Brückner dalam bahasa Jawa.
Selama
beberapa hari tinggal di Ngoro, Kyai Dasimah dan teman-temannya ngelmu Kristen. Termasuk menghafalkan seluruh
rapalan, gaiban, dan pepujan yang diajarkan Kyai Kolem dan mengikuti seluruh
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pasamuwan Kristen Jawa di Ngoro.
Hasil
akhir pembelajaran itu, mereka mengaku percaya pada Ketuhanan Yesus. Tak ada
baptisan. Cukup dengan mencatat nama-nama dalam buku daftar anggota jemaat
pasamuwan Kristen Jawa Ngoro.
Setelah
dirasa cukup, mereka pun kembali ke Wiung. Ilmu yang mereka dapatkan di Ngoro
mereka praktekkan di desa asalnya. Mereka sampaikan pula ajaran itu pada
orang-orang di sekitarnya, termasuk pada Pak Midah.
Benih
iman Kekristenan telah disebar, tertanam, bertumbuh dan berbuah. Dan dari
Wiunglah terbentuk sebuah persekutuan Kristen pribumi di tlatah Surabaya untuk
pertama kalinya.
Memang
tak ada persinggungan langsung antara komunitas kelompok ini dengan Johannes
Emde. Tapi berawal dari usahanyalah Injil dikabarkan dan diterima kaum pribumi
di Jawa. Pada 1859, Johannes Emde menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya dikuburkan
di salah satu pemakaman Kristen di Surabaya.*(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar