Dibuka Portugis, Dihadang Belanda
Sejarah mencatat, keberadaan
gedung gereja di tanah Jawa sudah ada sejak akhir abad ke 17, yakni pada 1676 di
Jakarta. Gereja berikutnya dibangun di Semarang pada 1753 dan di Surabaya pada
1785.
Di Jakarta, gereja tua
tersebut ada di daerah Tugu yang sekarang bernama GPIB Tugu. Selain itu juga
ada GPIB Sion yang berada di Jl. Pangeran Jayakarta. Gereja yang awalnya
bernama Portugeesche Buitenkerk itu dibangun pada 1693 dan dipakai ibadah
pertama kali oleh orang-orang Portugis pada 1695.
Di Semarang, gereja tertua
ada di kawasan kota lama. Warga setempat menyebutnya mengenalnya dengan istilah
gereja Blenduk karena beratapkan kubah besar bersegi delapan. Gereja ini awalnya
bernama Nederlandsch Indische Kerk atau Koepelkerk. Kini bangunan yang berada
di Jl Letjend. Suprapto 32 tersebut bernama GPIB Imanuel.
Sementara itu gereja pertama
di Surabaya justru tak terlacak lagi keberadaannya. Gereja tertua yang masih
berdiri di kota pahlawan adalah gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria di
Jalan Kepanjen yang dibangun pada 1815
oleh Pastor Hendricus Waanders.
Jemaat gereja-gereja
tersebut adalah orang-orang Eropa yang datang ke Indonesia. Karena itu
keberadaannya hanya di sekitar kawasan pesisir yang menjadi pusat kegiatan orang-orang
Eropa di ketiga kota besar tersebut. Aktifitas disana hanyalah sebatas tempat
ibadah saja setiap hari Minggu dan sama sekali tidak ada gerakan penginjilan
pada warga pribumi.
Pada masa ‘pemerintahan
sementara’ Inggris di tahun 1811 – 1815, barulah dilakukan upaya pekabaran Injil yang pertama di Jawa. Ini
terjadi atas inisiatif Gubernur Raffles sendiri, dan tenaga-tenaga yang diutus
bukannya berasal dari Gereja melainkan dari perhimpunan-perhimpunan Pekabaran
Injil Inggris.
Salah satu utusan pekabaran
Injil yang datang ke Jawa adalah Gottlob Brückner. Penginjil dari London
Missionary Society diterima Raffles pada 26 Mei 1814 dan kemudian menjadi
pimpinan sidang jemaat di gereja Blenduk Semarang. Selama berada di Indonesia,
Brückner telah menterjemahkan Kitab Penjanjian Baru dalam bahasa Jawa.
Peluang ini juga ditangkap
Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), sebuah organisasi pengabaran Injil
yang berpusat di Rotterdam-Belanda untuk mengirimkan orangnya ke tanah Jawa.
Namun saat Belanda kembali
menancapkan kukunya di tanah Jawa, aktivitas para misionaris ini justru
dihambat. Mereka khawatir aksi para pengabar Injil tersebut bakal menimbulkan
gangguan keamanan di Jawa.
Pemerintah Belanda malah
menuding NZG sebagai salah satu biang meletusnya perang Diponegoro pada 1825 –
1830. Menurut mereka, ‘Kristenisasi’ itu telah memicu sentimen negatif penduduk
pribumi yang mayoritas muslim.
Seusai perang yang memakan
banyak korban jiwa dan harta, Pemerintah Kolonial Belanda memberangus habis upaya
pekabaran Injil di Jawa. Pada 1831, mereka menyita traktat atau selebaran serta
Kitab Perjanjian Baru bahasa Jawa terjemahan Brückner dari tangan para misionaris.
Bahkan Jean Chrétien baron
Baud, Gubernur Jenderal Belanda ke 44 (1834-1836) menyatakan akan berusaha
keras mencegah terjadinya gangguan keamanan di Jawa yang timbul sebagai akibat
tindakan keterlaluan yang dilakukan oleh para misionaris.
Akibatnya pulau Jawa pun
tertutup bagi pekabaran Injil. Lantaran itu para misionaris utusan NZG terpaksa
dialihkan tugasnya ke pulau-pulau lain di sisi timur Indonesia sungguhpun
sebenarnya mereka diuntukkan bagi pulau Jawa.
Pemerintah saat itu hanya
mengijinkan Johann Friedrich Carl Gericke, seorang ahli bahasa utusan
Nederlandsch Bijbelgenootschap yang mendapatkan misi khusus menerjemahkan
seluruh Alkitab ke dalam bahasa Jawa. Tugas itupun dituntaskannya pada 1854.
Tahun 1842 diangkat Uskup
pertama, Mgr. Yac De Groof yang tiba di Batavia, namun terjadi ketegangan soal
kompentensi antara Uskup dan Gubernur Jenderal Belanda yang saat itu dijabat P.
Merkus (1841 – 1844).
Ia menghendaki segala
perilaku Pastor berada dalam pengawasan dan bertindak atas perintah pemerintah
kolonial. Akibatnya, De Groof ditarik pulang ke Belanda setelah bertugas selama
9 bulan di Batavia.
Kemudian pada 1854Pemerintah
Belanda dan Vatikan membuat perjanjian yang disebut ‘Nota der Punten’ yang
mencantumkan bahwa rohaniwan yang didatangkan ke Hindia Belanda ditentukan oleh
gereja, tapi tak seorangpun boleh memasuki Hindia Belanda tanpa surat izin dari
Belanda. Surat izin ini dinamakan ‘Radikal‘.
Namun dalam aturan pasal 123
itu disebutkan : “Para guru agama Kristen, imam, pendeta harus mempunyai izin
khusus yang diberikan oleh dan atas nama Gubernur Jenderal, supaya boleh
melakukan pekerjaan mereka di salah satu daerah tertentu di Hindia Belanda.
Izin tersebut dapat dicabut jika ternyata membawa kerugian atau syarat-syarat
lain yang tidak dipenuhi“.*(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar