AIR merupakan sumber
daya alam yang memiliki arti penting bagi kehidupan manusia serta makhluk hidup
lainnya. Ada macam-macam pendekatan yang dilakukan para ahli dan pemerintah
untuk mengatasi masalah air. Ada yang menggunakan pendekatan ilmu hidrologi,
hidrolika, ekohidrolika dan sosiohidrolika.
Namun Kepala Program Studi Ilmu Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Dr Setyo S Moersidik memiliki
konsep tersendiri dalam hal pemanfaatan, pengolahan serta pelestarian sumber
daya air.
Konsep baru itu ia beri nama Etnohidrolika yang berusaha mengungkap upaya
pemanfaatan, pengelolaan air, serta upaya pelestariannya dari perspektif budaya
yang berkembang di suatu daerah.
Pengembangan ilmu etnohidrolika yang
melibatkan pakar lingkungan, ahli sejarah, dan akademisi tata kota itu
merupakan salah satu riset unggulan UI pada tahun 2009 lalu.
Adhisa Putra, kandidat doktor ilmu lingkungan
UI, menyatakan dalam kacamata ilmu lingkungan, nilai-nilai, pengetahuan, dan
tradisi yang terangkum dalam suatu produk budaya dapat memiliki arti penting
untuk menjaga kelestarian suatu ekosistem.
Misalnya suatu produk budaya yang masih
tersimpan di dalam folklore di Indonesia justru berfungsi menjaga keberlanjutan
sumber daya air. Folklore berasal dari kata folk dan lore. Folk berarti
kolektif, dapat pula berarti rakyat, sedangkan lore artinya tradisi.
Jadi folklore (folklor) adalah salah satu
bentuk tradisi rakyat. Tradisi itu diwariskan dengan lisan secara turun-temurun
sehingga menjadi sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi
pendukungnya.
Di dalam folklor sering kali terdapat mitos
atau serangkaian keyakinan yang dianggap sakral, berbasis pada prasangka. Mitos
itu kerap berada di luar batas rasionalitas manusia dan sulit dibuktikan
kebenarannya.
Namun, beberapa ilmuwan yang tergabung dalam
penelitian etnohidrolika UI mengemukakan mitos itu seharusnya diletakkan pada
kegunaan, bukan kebenaran. Fungsi mitos mentransformasikan kenyataan apakah itu
baik atau buruk menjadi yang seharusnya terjadi.
Terkait adanya mitos di suatu daerah yang
memiliki sumber daya air, menurut Setyo, dapat mendorong masyarakat di
sekitarnya lebih bijak dalam memanfaatkan air. Hal itu berlaku tidak hanya pada
masyarakat perdesaan, tapi juga masyarakat perkotaan.
Sejatinya, mitos bekerja hanya untuk
mengesahkan kenyataan menurut pembuat mitos tanpa orang menyadarinya. Pasalnya,
apabila mereka mengetahui, mitos tidak akan ada artinya.
Contoh mitos yang berkembang di masyarakat
sekitar Situ Mangga Bolong, Jagakarsa, Jakarta Selatan, adalah cerita rakyat si
Japet. Konon, si Japet adalah seorang buronan yang diyakini masyarakat
bersembunyi di dalam air di Situ atau Danau Mangga Bolong.
Beberapa penduduk yang tinggal di sekitar
situ memberi kesaksian bahwa si Japet berwujud buaya, biawak, belut, ular, dan
ikan. Kebanyakan penduduk menyepakati bahwa buronan itu adalah makhluk halus
yang menghuni dan menjaga danau itu.
Karena mitos itu pulalah penduduk sekitar
tidak berani sembarangan menggunakan air situ, sehingga Situ Mangga Belong,
meskipun lokasinya di Jakarta, relatif masih terjaga kelestariannya hingga saat
ini.
Selain mitos si Japet yang seram, ada juga
folklore tentang pelestarian sungai Tanang yang disakralkan masyarakat Bukit
Tinggi, Sumatra Barat. Dalam mitos yang diceritakan secara turun-temurun, Syech
Bahdad sebagai pemuka agama pernah meningalkan pesan agar masyarakat mensyukuri
nikmat dengan tidak menggunakan air melebihi kebutuhan. Kisah rakyat itu
menitipkan sumber daya air sebagai ‘pusako tinggi’.
Dua kisah tersebut hanyalah secuil cerita
rakyat yang hingga saat ini masih tetap lestari di etnisitas tertentu. Meski
kebenaran cerita itu masih perlu pembuktian lebih lanjut, cerita itu berhasil
mempengaruhi perilaku masyarakat setempat dalam menjaga kelestarian sumber daya
air.
Setyo mengatakan, tidak dimungkiri
etnohidrolika dapat menguraikan permasalahan sumber daya air secara lebih utuh.
Pasalnya, ilmu etnohidrolika mencakup keseluruhan ilmu tentang sumber daya air seperti
hidrologi, hidrolika, ekohidrolika, dan sosiohidrolika.
Tidak menutup kemungkinan etnohidrolika dapat
memberikan manfaat untuk mentranformasi cerita rakyat secara empiris bagi
masyarakat modern. Pasalnya, salah satu ciri masyarakat modern dalam memercayai
sesuatu adalah harus dapat dibuktikan secara ilmiah.
Sedangkan bagi masyarakat tradisional, mereka
telah memiliki dasar pengetahuan tentang upaya pelestarian sumber daya air yang
selama ini dilakukan secara turun-temurun.
Artinya, jika semua cabang ilmu bisa
diintegrasikan, termasuk juga dengan kepercayaan tradisional masyarakat
setempat, bukan tidak mungkin semua lapisan masyarakat bakal sadar lingkungan.
Pelestarian Air
Dengan Budaya
Sejarah
kebudayaan yang juga tercermin dalam ajaran semua agama, menempatkan air
sebagai simbol kehidupan dan kesucian. Air adalah berkat bagi manusia, yang
menuntut pertanggungjawaban terhadap keberlangsungan kehidupan di masa
mendatang.
Kesadaran ini pula yang terlihat dalam
kearifan lokal nenek moyang masyarakat Indonesia melalui berbagai ritual yang
menghargai alam semesta, termasuk air.
Setiap
mata air dipelihara dengan cara kultural. Pepohonan di sekitarnya tidak
ditebang. Lokasinya disakralkan. Alirannya dibuatkan jalan berupa parit-parit
kecil puluhan kilometer panjangnya menyusuri tebing tinggi dan curam.
Beberapa contoh yang ada diantaranya yang
dilakukan penduduk di sekitar lereng Gunung Merapi. Hal serupa juga dilakukan
warga Desa Traji, Kecamatan Parakan Kabupaten Temanggung.
Kearifan lokal warga desa Sumbermujur
kecamatan Candipuro, Lumajang terhadap sumber mata airnya juga layak disimak
dan dijadikan contoh menjaga kelestarian sumber mata air.
Warga di lereng Gunung Semeru itu begitu
ketat menjaga kelestarian hutan bambu seluas 13 hektar yang didalamnya
menyim-pan mata air yang tak henti-hentinya melahirkan sumber kehidupan bagi
warga setempat.
Sebagaimana dikutip dari Kompas (20/12/09)
debit air yang dihasilkan sumber tersebut mencapai 800 liter per detiknya
sehingga mampu mengairi 891 hektar sawah di empat desa di kecamatan Candipuro.
Dan sudah pasti kebutuhan air bersih untuk ribuan warga desa tersebut juga
mampu dipenuhi sumber air tersebut sepanjang tahun.
Sayangnya, tak semua orang memiliki kearifan
terhadap lingkungan seperti itu. Bahkan seiring dengan dinamika jaman,
penghargaan terhadap air tampaknya semakin terpinggirkan. Kesadaran
tersebut digerus oleh paradigma yang diletakkan sebagai landasan pembangunan
dalam segala aspek di negeri ini.
(Luddy Eko Pramono,
Buku Cintai Tanahmu : Kasihi Airmu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar